ALASAN : Allah Belum Memberiku Hidayah

Pada akhawat yang tidak berhijab banyak yang berdalih: "Allah belum memberiku hidayah. Sebenarnya aku juga ingin berhijab, tetapi hendak bagaimana jika saat ini Allah belum memberiku hidayah? Do’akanlah aku agar segera mendapat hidayah!”

Ukhti yang berdalih seperti ini telah terperosok dalam kekeliruan yang nyata. Kami ingin bertanya: “bagaimana engkau mengetahui bahwa Allah belum memberimu hidayah?

Jika jawabannya, “Aku tahu”, maka ada satu dari dua kemungkinan:

Pertama: Dia mengetahui ilmu ghaib yang ada di dalam kitab yang tersembunyi (lauhul mahfudz). Dia pasti pula tahu bahwa dirinya termasuk orang-orang yang celaka dan bakal masuk neraka.


Kedua: Ada makhluk lain yang mengabarkan kepadanya tentang nasib dirinya, bahwa dia tidak termasuk wanita yang mendapatkan hidayah. Bisa jadi yang memberi tahu itu malaikat ataupun manusia.

Jika kedua jawaban itu tidak mungkin adanya, bagaimana engkau mengetahui bahwa Allah belum memberimu hidayah? Ini satu masalah.
Masalah lain adalah, Allah telah menerangkan dalam Kitab-Nya, bahwa hidayah itu ada dua macam. Masing-masing adalah hidayah dilalah dan hidayah taufiq.

1. HIDAYAH DILALAH
Ini adalah bimbingan atau petunjuk kepada kebenaran. Dalam hidayah ini, terdapat campur tangan dan usaha manusia, di samping hidayah Allah dan bimbingan Rasul-Nya. Allah telah menunjukkan jalan kebenaran kepada manusia yang mukallaf, juga dia telah menunjukkan jalan kebatilan yang menyimpang dari petunjuk para rasul dan Kitab-Nya. Para rasulpun telah menerangkan jalan ini kepada kaumnya. Begitu pula para da’i. Mereka semua menerangkan jalan ini kepada manusia. Jadi semua ikut ambil bagian dalam hidayah ini.

2. HIDAYAH TAUFIQ
Hidayah ini hanya milik Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya (dalam pemberi hidayah taufiq ini). Ia berupa peneguhan kebenaran dalam hati, penjagaan dari penyimpangan pertolongan agar tetap meniti dan teguh di jalan kebenaran, pendorong kepada kecintaan iman. Pendorong kepada kebencian terhadap kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan.

Hidayah taufiq diberikan kepada orang yang memenuhi panggilan Allah dan mengikuti petunjuk-Nya.
Jenis hidayah ini datang sesudah hidayah dilalah. Sejak awal, dengan tidak pilih kasih, Allah memperlihatkan kebenaran kepada semua manusia. Allah berfirman:
“Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk itu.” (QS. Fushishilat: 17).

Dan untuk itu, Allah menciptakan potensi dalam diri setiap orang mukallaf untuk memilih antara jalan kebenaran dan jalan kebatilan. Jika dia memilih jalan kebenaran menurut kemauannya sendiri maka hidayah taufiq akan datang kepadanya. Allah berfirman:

“Dan orang-orang yang melakukan petunjuk, Allah (akan) menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya.” (QS. Muhammad: 17).

Jika dia memilih kebatilan menurut kemauannya sendiri, maka Allah akan menambahkan kesesatan kepadanya dan Dia mengharamkannya mendapat hidayah taufiq, Allah berfirman:
“Katakanlah: barangsiapa yang berada dalam kesesatan, maka biarlah Dzat yang Maha Pemurah menambahi baginya (kesesatan).” (QS. Maryam: 75).
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran) Allah memalingkan hati mereka.” (QS. Ash Shaf: 5).

3. PERUMPAMAAN HIDAYAH TAUFIQ:
Syaikh Asy Sya’rawi memberikan perumpamaan yang amat mengena tentang hidayah taufiq ini, dan itu merupakan sunnatullah. Beliau mengumpamakan dengan seseorang yang menanyakan suatu alamat. Orang itu pergi ke polisi lalu-lintas untuk menanyakan alamat tersebut. Lalu polisi menyarankan: “anda bisa berjalan lurus sepanjang jalan ini, sampai di perempatan anda belok ke kanan, selanjutnya ada gang, anda belok ke kiri, di situ anda mendapatkan jalan raya. Di seberang jalan raya tersebut akan terlihat gedung dengan pamflet besar, itulah alamat yang anda cari”.

Orang tersebut dihadapkan pada dua pilihan, percaya kepada petunjuk polisi atau mendustakannya. Jika percaya kepada polisi, ia akan segera beranjak mengikuti petunjuk yang diterimanya. Jika berjalan terus sesuai dengan petunjuk polisi, ia akan semakin dekat dengan tempat dan alamat yang ia inginkan.
Jika dia tidak mempercayai saran polisi itu bahkan malah mengumpatnya sebagai pendusta, sehingga ia berjalan menuju arah yang berlawanan, maka semakin jauh dia berjalan, semakin jauh pula kesesatannya. Itulah perumpamaan petunjuk dan kesesatan ( ).

Ini merupakan perumpamaan yang tepat untuk mendekatkan pengertian sunnatullah ini. Siapa yang memilih kebenaran, maka Allah akan menolong dan meneguhkannya, dan siapa yang memilih kebatilan, Allah akan menyesatkannya dan membiarkannya bersama setan yang menyertainya.

4. CARILAH SEBAB-SEBAB HIDAYAH, NISCAYA ANDA MENDAPATKANNYA.
Itulah sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk-Nya. Allah berfirman:
“Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah.” (QS. Al Fathir: 43).

Adapun sunnatullah dalam perubahan nasib, hanya akan terjadi jika manusia memulai dengan mengubah terlebih dahulu dirinya sendiri, lalu mengupayakan sebab-sebab perubahan yang dimaksudnya. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ra’ad: 11).

Maka orang yang menginginkan hidayah, serta menghendaki agar orang lain mendo’akan dirinya agar mendapatkannya, ia harus berusaha keras dengan sebab-sebab yang bisa menghantarkannya mendapat hidayah tersebut.
Dalam hal ini, terdapat teladan yang baik pada diri Maryam, suatu hari, dia amat membutuhkan makanan. Padahal ketika itu, ia dalam kondisi yang sangat lemah seperti yang biasa terjadi pada wanita yang hendak melahirkan. Lalu Allah memerintahkannya untuk melakukan suatu usaha yang orang laki-laki paling kuat sekalipun tidak akan mampu melakukannya. Maryam diminta untuk menggoyang-nggoyangkan pangkal pohon korma, meskipun pangkal pohon korma itu sangat kokoh dan sulit untuk digoyang-goyangkan. Allah berfirman:
“Dan goyanglah pangkal pohon korma itu." (QS. Maryam: 25).

Maryam tidak mungkin mampu menggoyang pangkal pohon korma, sementara dia dalam kondisi yang amat lemah. Itu hanya dimaksudkan sebagai usaha mencari sebab dengan cara meletakkan tangannya di pohon korma. Dengan begitu terpenuhilah hukum kausalitas dan sunnatullah dalam hal perubahan. Maka hasilnya adalah:
“Pohon itu akan menggugurkan buah korma yang masak kepadamu.” (QS. Maryam: 25).

Inilah sunnatullah dalam perubahan. Tidak mungkin orang mukmin terus-menerus di dalam masjid, bahkan meskipun di Masjidil Haram dengan hanya duduk dan beribadah kepada Allah, seraya mengharap rizki dari Allah. Tentu Allah tidak akan mengabulkannya tanpa dia sendiri mencari sebab-sebab rezki tersebut. Langit tak mungkin sekonyong-konyong menurunkan hujan emas dan perak.

Karena itu, wahai ukhti, berusahalah mendapatkan sebab-sebab hidayah, niscaya anda mendapatkan hidayah tersebut dengan izin Allah. Di antara usaha itu adalah berdo’a agar mendapatkan hidayah, memilih teman yang shalihah, selalu membaca, mempelajari dan merenungkan kitab Allah, mengikuti majlis-majlis dzikir dan ceramah agama, membaca buku-buku tentang keimanan dan sebagainya.

Tetapi, sebelum melakukan semua itu, hendaknya terlebih dahulu engkau meninggalkan hal-hal yang bisa menjauhkanmu dari jalan hidayah. Seperti teman yang tidak baik, membaca majalah-majalah yang tidak mendidik, menyaksikan tayangan-tayangan televisi yang membangkitkan perbuatan haram, bepergian tanpa disertai mahram, menjalin hubungan dengan para pemuda (pacaran), dan hal-hal lain yang bertentangan dengan jalan hidayah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar