Datuk dari Jepang? (1942-1944)


Datuk dari Jepang? (1942-1944)


Sepintas foto disamping memperlihatkan foto seorang Angku Datuak dengan pakaian kebesarannya : saluak, kain bugis, baju dan celana dengan sulaman benang emas, lengkap dengan terompah datuak-nya.
Tapi kalau diamati lebih detail ada sedikit yang berbeda dari angku datuak kita ini. Mata sipit, rambut agak gundul, berkumis, muka bulat, kacamata bulat dan perut juga bulat. Tongkrongannya kayak tentara jepang saja. Tunggu dulu, tentara jepang?


Ini ada foto dua serdadu jepang diapit oleh anak-anak gadis minang berpakaian adat.Meskipun pada saat itu belum ada festival uda-uni, kalaulah salah satu gadis-gadis ini mengikuti festival itu sekarang, dijamin minimal juara favorit dapat-lah. Laahh, jadi ngelantur...
Back to basic. Sepertinya tentara jepang yang ditengah mukanya mirip dengan foto datuak tadi ya? Ya kumisnya, ya kacamatanya, ya bulat-bulat tongkrongannya. Ternyata bukan hanya mirip, tapi memang itu foto orang yang sama. Namanya adalah Kenzo Yano. Tapi dia bukan tentara, meskipun pakaiannya kayak tentara --pakai samurai pula. Dia adalah Gubernur Sipil Sumatera Barat sewaktu penjajahan Jepang. Shu-Chokan, bahasa Jepangnya. Mantan Gubernur Prefektur Toyama di Jepang sana. Ia mendarat di Padang pada tanggal 9 Agustus 1942 bersama 68 orang pejabat sipil lainnya.

Gubernur sipil? Ya, waktu penjajahan Jepang di Sumatera Barat ada 2 penguasa. Penguasa militer dibawah pimpinan Jenderal Tanabe berkedudukan di Bukittinggi. Sedangkan Gubernur Sipil ya pak Yano tadi, berkedudukan di Padang. Untuk memperlihatkan betapa pentingnya posisinya, coba perhatikan foto disamping ini. Deretan pejabat penguasa Jepang sedang berpose. Di barisan depan, ditengah-tengah adalah Jenderal yang sangat terkenal yaitu Penguasa Wilayah Selatan, Field Marshall Hisaichi Terauchi yang berkedudukan di Singapura. Disebelah kanan Terauchi adalah Jenderal Tanabe, Panglima Divisi ke-25 yang berkedudukan di Bukittinggi. Di sebelah kiri Terauchi tak lain tak bukan adalah Gubernur Yano. Dari posisi duduknya sudah kelihatan, bukan?
Mungkin karena basic-nya orang sipil maka Gubernur Yano melakukan pendekatan lebih manusiawi kepada rakyat Sumatera Barat dibanding penguasa militer. Dialah yang berprinsip untuk 'merebut hati dan perasaan rakyat' dalam menghadapi sekutu. Dia menghargai kebudayaan Minang, sehingga tak heran dia berpose dengan pakaian datuak tadi. Konon dia sangat menyenangi legenda rakyat Minang yang menyatakan asal-usul orang Minangkabau dari 3 orang bersaudara yang turun dari Gunung Merapi. Seorang menjadi raja di negeri Japang (Jepang), seorang menjadi raja di negeri Rum (Romawi) --yaitu Iskandar Zulkarnain, dan seorang lagi menjadi raja Minangkabau. Dengan legenda ini Gubernur Yano berusaha merebut hati rakyat Minangkabau bahwa sebenarnya 'kitorang basudara'.
Pendekatan yang relatif lunak seperti ini sering membuat penguasa militer gerah. Tapi Pak Gubernur ini jalan terus. Selanjutnya dia mengusulkan kepada penguasa Jepang untuk membentuk suatu laskar sukarela yang isinya orang Indonesia semua. Maksudnya tentu untuk mengambil hati. Laskar inilah nanti yang dikenal diseantero nusantara sebagai 'giyugun' atau Laskar Rakyat. Tak tanggung-tanggung, Gubernur Yano sampai terbang ke Jakarta dan berdiskusi dengan para founding fathers republik ini. Di foto samping terlihat ia bersama Mr. Ali Sosroamidjojo, Mr. M. Yamin, H. Agus Salim, Bung Hatta dan Bung Karno. Coba bayangkan bagaimana hangatnya diskusi yang terjadi kalau pesertanya adalah bapak-bapak itu!
Namun demikian, ternyata militer lebih kuat. Yano dianggap tidak sejalan karena lebih condong kepada mendorong semangat kemerdekaan anak negeri. Gubernur Yano akhirnya meletakkan jabatan pada Maret 1944 dan digantikan oleh Hattori Naoaki. Sebagian orang berpendapat bahwa ia dipaksa untuk mundur. Jawabnya tentu ada pada diri Sang Mantan sendiri...

(Sumber : hermes-ir.lib.hit-u.ac.jp --Akira Oki, Social Change in West Sumatera Village 1908-1945; wikipedia; googlebooks -- Audrey R. Kahin,Rebellion to Integration )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar