Barat di abad 21 adalah realita yang menggelisahkan. Jurgen Habermas, filsuf Jerman ataupun Louis Althusser (1918-1990), filsuf Perancis mempertanyakan moralitas dan peradaban Barat terutama di Eropa. Ketika teknologi sebagai cermin peradaban ada di puncak pencapaian manusia, justru etika dan moral terpuruk. Barat bukan hanya cermin teknologi dunia tapi juga cermin industri pornografi.
Lantas hal yang negatif ini diimpor ke dunia ketiga, yang membuat mereka berada di persimpangan jalan, antara modernitas yang didukung teknologi informasi dan hal-hal yang buruk akibat informasi. Sedikit banyaknya, pengaruh Barat yang buruk itu menjadi tren di Indonesia. Hal yang “modern” selalu diidentikkan dengan Barat, padahal modern itu adalah westerninasi atau pembaratan, bukan modernisasi dalam arti sesungguhnya.
Pembaratan ini menggerus kebijakan-kebijakan lokal, semisal kerukunan, kekompakan, dan gotong royong. Lalu, bagaimana mengembalikan karakter bangsa di tengah-tengah bangsa yang kehilangan jati dirinya. LDII menggagas 6 tabiat luhur (rukun, kompak, kerjasama yang baik, jujur, amanah, dan kerja keras juga berhemat/muzhid mujhid), dimulai dengan meningkatkan kerukunan di antara sesama bangsa Indonesia. “Bangsa ini harus sanggup membebaskan diri dari prasangka buruk, rasa dengki, dan iri antara sesama anggota masyarakat. Bisa kerjasama yang baik bukan sekadar bekerja bersama, untuk membangun karakter bangsa.
- Rukun
- Kompak
Wujud nyata kompak, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW yang diriwayatkan dalam hadits Bukhori: “Orang iman terhadap orang iman yang lain sebagaimana bangunan yang bagian-bagiannya saling memperkuat”. Dengan demikian kekompakan menciptakan sebuah jati diri, kekuatan, dan solidaritas karena dengan kompak kelemahan satu individu bisa ditutupi dengan kelebihan yang lain. Hal ini sangat berguna untuk menyelesaikan suatu program atau menghadapi ancaman dari luar.
- Kerja sama yang baik
Selanjutnya, ada tiga hal yang mesti dimiliki oleh individu untuk membangun integritas bangsa, yakni sifat jujur, amanah, dan bekerja keras. Kejujuran boleh dikata adalah pangkal atau modal dasar membangun integritas. Seorang individu harus mampu jujur terhadap diri sendiri (internal honesty) maupun terhadap orang lain (external honesty).
- Jujur
Jamak yang terjadi di Indonesia adalah, pada saat Pemilu para calon pemimpin berkampanye dengan janji-janji, yang sebenarnya mereka sendiri tak bakal mampu memenuhi janjinya itu. Walhasil, usai memenangi Pemilu, mereka tak akan pernah menepati janjinya, lantaran orientasi berpolitik hanya soal kekuasaan atau posisi belaka. Inilah yang membuat Indonesua berjalan di tempat.
Jujur terhadap orang lain diperlukan untuk menjaga integritas. Juga merupakan syarat terwujudnya keutuhan dan kekompakan kelompok. Tanpa kejujuran terhadap orang lain, mustahil kerukunan, kekompakan, dan kerjasama yang baik bakal terwujud. Semakin tinggi tingkat kejujuran dalam suatu kelompok atau bangsa, maka semakin ringan beban sosial yang ditanggung oleh bangsa, sebaliknya semakin rendahnya tingkat kejujuran menambah beban sosial suatu bangsa.
- Amanah
Sebaliknya, ketidakmampuan mengemban amanah akan menghasilkan energi negatif, yang membuat suatu kelompok atau bangsa selalu ingin berfikir negatif antara satu dengan yang lainnya, yang hasilnya justru membuat menurun kinerja individu atau kelompok. Tingginya tingkat korupsi di Indonesia, salah satu disebabkan ketidakmampuan birokrat untuk jujur dan amanah terhadap tugas yang diembankan pada mereka. Lalu korupsi inilah yang membuat ekonomi berbiaya tinggi, yang hasilnya produk Indonesia kalah bersaiang dari sisi kualitas dan harga, juga investor jeri untuk melakukan investasi di Indonesia, lantaran banyak korupsi dalam bentuk pungutan liar, di luar pungutan yang legal.
- Bekerja Keras & Berhemat (muzhid mujhid)
Budaya kerja keras inilah yang tampak dari orang Jepang dengan semangat bushido, yakni kerja keras dan tekun hingga tercapainya suatu target. Semangat inilah yang juga menyelamatkan bangsa Jepang dari keruntuhan fisik dan moril pasca Perang Dunia II. Demikian pula dengan masyarakat maju di negara Barat, mereka bekerja keras sekaligus merencanakan semuanya dengan matang. Dengan demikian, Barat mencapai peradaban tertinggi dalam hal teknologi sejak revolusi industri di abad 19.
Selanjutnya adalah berhemat. Hemat menjadi bagian penting dari pembangunan integritas, lantaran inilah sikap terampil dalam mengelola pengeluaran. “Ketika budaya konsumerisme menyergap dunia, orang tak lagi memperhatikan fungsi dalam membeli produk, tapi lebih mengutamakan gengsi,” kata Yudi Latief, cendekiawan muslim. Pendekatan ini membuat orang semakin boros lantaran slogan: Anda adalah apa yang Anda pakai. Walhasil status seseorang bukan lagi ditentukan oleh profesi atau kelebihan dalam suatu ketrampilan, tapi diukur dengan apa yang dimiliki.
Repotnya, konsumerisme ini mendorong orang berbuat apa saja untuk memiliki materi, alias brand terkemuka. Mereka tak lagi hanya bekerja keras, tapi juga karena desakan-desakan keinginan dari keluarga, seorang ayah misalnya bisa saja korupsi karena ingin membelikan mobil istrinya.
LDII mengharapkan 6 tabiat luhur ini membantu bangsa Indonesia menemukan karakternya. Untuk menjadi bangsa yang kompetitif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar