Biasanya saya tidak sesensitif seperti ini. Biasanya sih, toleran banget. Legowo. Entah kenapa, tiba – tiba saja saya jadi bete.
Ceritanya, memasuki awal bulan puasa ada edaran untuk shodaqoh ta’jil di masjid dekat rumah. Kegiatan ini rutin tiap tahun menjelang ramadhan. Eh, entah angin dari mana, tiba – tiba istri saya bilang dia nggak usah dimasukkan dalam daftar giliran shodaqoh ta’jil. Alasannya, karena sudah ada jadual shodaqoh di masjid pengajian sendiri. Nanti dobel, begitu kira-kira maksudnya. Alasan yang masuk akal, apalagi dengan nawaitu berhemat.
Setali tiga uang. Hasil musyawarah kelompok memutuskan untuk ramadhan tahun ini tidak pakai acara sedekah makanan, kecuali nanti malam i’tikafan. Alasannya juga sama. Kondisi ekonomi yang kurang kondusif. Begitu kira – kira ilham para pengurus kelompok saat beramrin jamiin. Sami’na wa atho’na.
Nah, tadi malam ketika ikutan ngaji di Masjid Tawakal Jambi, salah seorang mubalighnya mengatakan, ’Kalau di kelompok lain biasanya ada shodaqoh makanan Lurr.” Mengomentari keadaan pengajian yang ’kering’.
Tiga kejadian ini membuat saya menebak – nebak. What’s on? Terlebih lagi jika dicompare dengan dalil di dalam Shohih Bukhory Kitaabu As-Shoum baabu Ajwadu maa kaana an-Nabiyyu yakuunu fii romadhooni, hadist dari Ibnu al-Abbaasi r.a.
Dari Ibnu ‘Abbas RA, ia berkata, “Adalah Nabi SAW orang yang paling dermawan diantara manusia pada kebaikan. Dan beliau paling dermawan pada bulan Ramadlan, ketika Jibril bertemu beliau, dan Jibril AS bertemu beliau pada tiap malam di bulan Ramadlan hingga selesai. Nabi SAW menyimakkan Al-Qur’an kepadanya. Maka apabila Jibril AS menemui beliau, beliau adalah sangat dermawan dalam kebaikan, lebih dermawan dari angin yang terlepas”.
Apakah hadist ini begitu susah untuk dimengerti? Apakah kita masih bingung dengan arti kata dermawan? Padahal hadist ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitaabu al-Fadhooil dan Sunan Nasaa’i di dalam Kitaabu ash-Shoumi serta Musnad Ahmad di dalam Musnad Banii Hasyiim. Keshahihannya tidak diragukan lagi. Kebenarannya haq. Jadi permasalahannya adalah tinggal bagaimana kita meyakininya dan mengamalkannya. Yakin...!
Jika pertimbangan nalar lebih kita utamakan, semisal pola pikir tersebut di atas, rasanya itu kurang pas. Rasanya kita kurang yakin. Belum mantap. Belum merefleksikan kefahaman kita akan pertolongan Allah. Simaklah surat al-Hujurot ayat 15, Allah berfirman : Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.
Jadi, agak malu untuk mengutarakannya. Kontra produktif. Tapi bagaimanapun, apresiasi juga sebagai cobaan bagi peningkatan kefahaman dan keimanan kita. Mungkin dengan begitu kita akan merintis jalan lain untuk mengamalkan kedermawanan di bulan puasa ini. Semua ada barokahnya. Jangan matikan kreativitas. Pupuklah terus keimanan dan kefahaman. Banyak cara yang baik dan benar. Tanpa merusak tatanan dan hirarki yang ada.
Sambil menahan marah, saya bisiki istri saya, ”Amal sholih yang kayak begini, lain kali jangan ditolak. Ayo praktikkan sunnah kedermawanan di bulan Ramadhan. Mau kan? Sekarang cari jalan lain sebagai gantinya.”
”Ya,” jawabnya sambil bersungut – sungut.
Seolah mendapatkan ”perkeling” dari Allah, beberapa waktu yang lalu istri saya cerita lewat telpon. Katanya anak – anak saya tiap sore, menjelang buka - gemruduk - ikut ta’jilan di masjid dekat rumah. Oalah...........!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar