Salah satu teman saya yang berasal dari Bali pernah bercerita, kalau di desa tempat asalnya sana, masih berlaku hukum adat yang ketat. Jika ada salah satu anggotanya berbuat durjana seperti ketahuan korupsi, maka dia akan mendapat sanksi social. Tidak dikurung atau dijebloskan dalam penjara. Juga tidak diproses layaknya di pengadilan. Cukup dengan dikucilkan saja. Jika punya hajat, tak ada yang mau datang. Hanya keluar dari rumahnya ke jalan atau gang depan rumahnya, kemudian menghadap tenda/rumah tempat hajatan, menghormat dan balik kanan masuk lagi ke dalam rumah. Alias tidak mau mendatangi kondangan. Kalau sampai meninggal tak ada yang mau ngurus. Kecuali sanak familinya saja.
Ternyata hal ini cukup ampuh. Kalau tidak kerasan dia akan pergi, jika tak mau pergi dia mohon pengampunan dan meninggalkan kelakuan jeleknya. Jadilah desa itu terisi orang - orang yang baik saja. Kehidupan yang bersahaja, damai dan penuh kealamian.
Negeri ini sedang dan sudah lama dilanda penyakit kronis yang bernama korupsi. Norma, hukum dan tatanan sudah berantakan sebab hantaman dahsyat godam koruptor. Sejak bergulir reformasi banyak tuntutan untuk membersihkan praktek korupsi ini. Beberapa langkah sudah dilakukan untuk menindak tegas para pelakunya. Mulai dari perangkat lunak maupun perangkat kerasnya. Dari undang – undang sampai KPKnya. Semua bertujuan dan dimaksudkan untuk mengenyahkan korupsi ini. Tapi yang timbul malah korupsi jenis baru. Modusnya menggurita. Virusnya malah meraja - lela. Petinggi KPK pun terindikasi kena suap juga. Dan praktek korupsi ini tidak dijalankan sendiri, melainkan dilakukan dengan berjamaah. Jadi kalau jelek banyak temannya. Alamat akan susah ngukumnya. Begitu kira – kira jalan pikirannya. Sudah begitu jika sudah terendus kasusnya, ramai – ramai mendadak sakit. Entah pura – pura atau beneran, yang jelas menjadi penghuni rumah sakit sebelum menjadi pesakitan beneran di penjara. Kalau masih sehat, biasanya pergi umrah ke tanah suci. Bertobat atau mau minta pertolongan, semua jadi semu. Konon katanya Allah pun mau disuap kalau bisa, biar memberikan pertolongan atas kasusnya. Atau kabur sekalian ke negeri antah – berantah dengan menyuap petugas – petugas yang ada. Dan bangsa ini seakan semakin kehilangan jati diri. Semakin lama semakin tidak bernurani. Padahal mereka adalah orang – orang beragama. Orang – orang yang membawa panji – panji agama di punggungnya.
Dalam situasi seperti ini, memang serba salah. Sistem yang amburadul, menusia yang tak bernurani, nafsu akan harta dunia yang menggila merupakan campuran sempurna merek jaman yang jelek. Jaman sarr. Bahkan sering orang berandai – andai, kalau anda di posisi Gayus apa yang akan anda lakukan? Korupsi atau tidak? Dan dengan berkelakar, banyak yang bilang mungkin sama juga dengan dia sekarang. Bedanya saya tak ada kesempatan saat ini seperti dia. Nah, sama bukan? Beruntunglah kita yang jauh dari lingkaran jebakan kekuasaan dan kesempatan untuk korupsi. Toh ujung – ujungnya sama. Artinya masyarakat kita memang sudah terkontaminasi. Sudah penuh dengan polutan yang berasal dari budaya korupsi. Patah tumbuh hilang berganti. Saling silih. Ketika si A di jabatan itu korup, biasanya setelah diganti dengan si B juga sama saja. Dan masyarakat kita, masih menghormat pada orang – orang yang asusila seperti ini. Tak peduli bagaimana dan seperti apa dia. Asal menguntungkan hubungan pun berjalan. Karena kaya dan suka sedekah dijadikan pengurus masjid. Karena rumah mewah dan perhatian disebutlah dermawan. Padahal usut punya usut ternyata duit dari jalan yang tidak benar. Mengambil hak orang lain. Nah, bagaimana sanksi social seperti cerita teman Bali saya bisa dilaksanakan? Butuh ikatan dan keterpaduan yang kuat.
Sebagai bandingan, tengoklah cerita tiga sahabat yang tertinggal (ngeri) dalam perang Tabuk jaman Nabi SAW dulu. Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayah dan Muroroh bin Rabi’ merasakan betapa beratnya menghadapi sanksi social karenanya. Dalam 40 hari mereka tak ada yang ngajak bicara. Debleg. Bumi terasa sempit. Rupek. Klojotan. Tak ada yang mau menerima. Sampai mengikat diri di tiang masjid pun tak ada yang peduli. Padahal mereka hanya sedikit “korupsi waktu”, sehingga tertinggal dari pasukan. Akhirnya terbukti bahwa mereka memang tidak sengaja tertinggal. Mengklarifikasi diri dengan cara bertobat, sebab tak ada tempat kembali hanya kepadaNya. Hal ini digambarkan Allah dalam Surat Taubah 118. Allah berfirman, “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah merasakan sempit pada diri mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat pindah melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka kembali bertaubat. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
Model – model seperti inilah yang perlu dilakukan untuk mengenyahkan hantu korupsi di negeri ini. Penjara bukanlah jeruji di balik tembok lembaga pemasyarakatan. Justru kita – kita di masyarakat inilah penjara sebenarnya. Tapi bagaimana lagi, kalau ternyata kitanya tak mau menjadi penjara bagi orang yang durjana. Mencegah tak mampu. Ngomongi tak berani. Gosipin trampil. Hatinya masih menunggu kapan berkesempatan seperti dia. Kalau begini memang kita tidak menjadi Gayus, tapi – maaf – kita jadi Dayuts. Tahu kan? Mau?
Ooppss..menyogok ya..heee, nice article..lam kenal ja,
BalasHapus