Keutamaan Berbahasa Arab

Bersamaan membesarnya Islam, maka bahasa Arab pun makin terkenal. Setelah Umar atau Ali RA menyuruh Abul-Aswad agar menyusun kitab Nahwu, dalam waktu cepat bahasa Arab mendunia. Diperkirakan sebelum meledaknya Perang Salib bahasa paling terkenal adalah bahasa Arab. Hal itu bisa dilogika dengan sederhana: 1), Kebanyakan lafal atau kata dalam bahasa Indonesia atau Malaisia saat ini berasal dari Arab.[1] 2), Sebelum Perang Salib meledak kekuatan paling dahsyat di dunia adalah Arab.

Karena yang membidani lahirnya negara Yahudi adalah Inggris, maka sudah sewajarnya kalau kaum Yahudi menjayakan bahasa Inggris. Kaum Yahudi berhasil menjayakan bahasa Inggris karena persatuan dan ketaan mereka pada pimpinan luar biasa. Akhirnya kaum Salibis menyingkirkan bahasa Arab dari kaum Muslimiin. Kesultanan Turki ditumbangkan dan penduduk Turki diperintah agar adzan dengan bahasaTurki.



Mengenai agar Muslimiin mencintai dan mempergunakan bahasa Arab, Thobaroni meriwayatkan:

المعجم الكبير للطبراني - (9 / 387)
11278 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن عَبْدِ اللَّهِ الْحَضْرَمِيُّ، حَدَّثَنَا الْعَلاءُ بن عَمْرٍو الْحَنَفِيُّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بن يَزِيدَ الأَشْعَرِيُّ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:أُحِبُّوا الْعَرَبَ لِثَلاثٍ: لأَنِّي عَرَبِيٌّ، وَالْقُرْآنُ عَرَبِيٌّ، وَكَلامُ أَهْلِ الْجَنَّةِ عَرَبِيٌّ.
Artinya (isnadnya tidak diartikan):
Dari Ibnu Abbas RA: Sesungguhnya Rasulallah SAW telah bersabda, “Cintailah bahasa Arab karena tiga: 1), Karena sungguh saya orang Arab. 2), Al-Qur’an bahasa Arab. 3), Bahasa orang surga, Arab.”

Memang dalam matan Hadits di atas tidak dijelaskan agar bahasa Arab dipergunakan di dalam khutbah saja. Tetapi lebih pas jika Hadits itu diamalkan di dalam khutbah jumat karena semua Majlis adalah Muslimiin. Sekarang banyak orang yang bertanya, “Masyak kalau khutbah jumahnya bahasa Indonesia tidak sah?.”
Sebaiknya Firman Allah dikaji lagi.:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ قَدْ سَأَلَهَا قَوْمٌ مِنْ قَبْلِكُمْ ثُمَّ أَصْبَحُوا بِهَا كَافِرِينَ [المائدة : 101 ، 102],
Baca: Yaaa ayyuhalladziina aamanuuu laa tas’aluu ‘an asy-yaaa’a in tubda lakum tasu’kum. Wa in tas’aluu ‘anhaa chiina yunazzalul Qur’aanu tubda lakum. ‘Afaa Allaahu ‘anhaa wa Allahu Ghafuurun Chaliim. Qad sa’alahaa qaumun min qablikum tsumma ashbachuu bihaa kaafiriiin.
Artinya: Hai khususnya orang-orang yang telah beriman, jangan bertanya mengenai beberapa sesuatu yang jika dijelaskan justru akan menyusahkan pada kalian. Jika kalian menanyakannya ketika Al-Qur’an diturunkan, maka dijelaskan pada kalian. Allah telah mengampuni tentangnya, dan Allah maha pengampun maha penyayang. Sungguh telah ada kaum sebelum kalian yang menanyakan tentang hal itu, lalu menjadi orang-orang kafir karenanya.

Ayat-ayat ini bukannya melarang kita bertanya, tetapi ajaran bahwa setiap bertanya harus hati-hati, jangan sampai justru mengakibatkan kita susah atau kafir. Ditinjau dari sababun nuzulnya saja sudah mengerikan: Ketika seorang melontarkan pertanyaan yang kurang menguntungkan; Rasulullah SAW murka hingga semua sahabatnya SAW menangis ketakutan. Karena Umar RA bersimpuh atas dua lututnya dan membaca, “Radhiinaa billaahi Rabban wa bil Islaami diinan wa bi Muhammadin nabiyyan,”[2] maka kemarahan nabi reda.

Ketika para sahabat nabi hampir terpengaruh oleh cemoohan panjang kaum Yahudi mengenai Qiblat yang dilontarkan melalui pertanyaan bernada sinis; Allah berfirman panjang lebar agar hamba-hambanya tidak terpengaruh. Akhir dari Firman itu:
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Baca: Wa min chaitsu kharajta wawalli wajhaka syathral Masjidil-Charam. Wa chaitsu maa kuntum fawalluu wujuuhakum syathrahu li’allaa yakuuna linnaasi ‘alaikum chujjatun illal ladziina dlalamuu minhum. Fa laatakhsyauhum wakhsyaunii wa li’utimma ni’matii ‘laikum wa la’allakum tahtaduun.
Artinya: Dan dari mana kau keluar maka hadapkanlah wajahmu lurus Masjidal-Charam. Di mana pun kalian berada hadapkanlah wajah kalian ke arahnya, agar tidak ada chujah untuk manusia atas kalian, kecuali orang-orang yang telah lalim dari mereka. Maka jangan khawatir pada mereka, khawatirlah pada-Ku. Ini bertujuan agar Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian, dan agar kalian mendapat hidayah.

Kalau Allah tidak menurunkan ayat-ayat di atas dan ayat-ayat sebelumnya mungkin kaum Muslimiin telah terpengaruh kaum Yahudi. Termasuk yang perlu diperhatikan dalam Firman itu ialah, “Ini bertujuan agar Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian, dan agar kalian mendapat hidayah.”

Karena kaum Muslimiin dulu mentaati Allah, maka Allah menyempurnakan nikmat dan hidayah-Nya untuk mereka. Kalau kaum Muslimiin zaman sekarang tahu seberapa nikmat Allah yang diberikan pada mereka saat itu, barangkali akan mentaati Allah dengan serius.

Sebagaimana ketika kaum Muslimiin mempertahankan qiblat lalu Allah menyempurnakan nikmatdan hidayah-Nya; kalau kaum Muslimiin mencintai dan mempergunakan bahasa Arab pun manfaatnya akan ganda. Sebaliknya: Terlalu serius dengan pertanyaan itu bisa jadi justru akan memetik kesusahan dan kerugian, sebagaimana yang telah kita saksikan dan rasakan.

[1] Selain bahasa Indonesia dan Malaisia pun barang kali juga banyak yang berasal dari bahasa Arab.
[2] رَضِينَا بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم نَبِيًّا. Artinya: Kami telah ridho bertuhan Allah, beragama Islam, dan Muhammad SAW sebagai nabi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar