Nikah Dini, Penyebab KDRT?

Pernikahan dini kembali menjadi sorotan. Bak gayung bersambut dengan upaya merevisi UU Perkawinan yang saat ini kembali mencuat, tudingan miring terhadap pernikahan dini kembali dimunculkan. Kali ini pernikahan dini dituding sebagai pemicu munculnya pelanggaran HAM, yaitu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Hasil survey yang dikeluarkan Plan Indonesia mungkin mencengangkan. Betapa tidak, menurut lembaga ini sebanyak 44% pelaku pernikahan dini mengalami KDRT. Kesimpulan pun mengarah pada perlunya merevisi usia pernikahan perempuan yang selama ini timpang dibandingkan laki-laki sebagaimana yang diatur dalam UU Perkawinan saat ini (metrotvnews.com, 25 September 2011).
Banyaknya kasus KDRT pada pernikahan dini memang layak menjadi perhatian. Namun, berbagai kasus tersebut tentu saja tidak bisa langsung membuktikan bahwa pernikahan dini menjadi penyebab KDRT. Sebab, kasus KDRT juga terjadi pada pasangan yang tidak nikah dini. Dengan kata lain, membuat benang merah KDRT dengan pernikahan dini adalah tuduhan yang sangat prematur.
Terlebih lagi, makna KDRT belum tentu benar menurut ajaran Islam, sehingga bisa jadi perkara-perkara yang sebenarnya tidak terkatagori KDRT dianggap sebagai KDRT. Seperti, suami yang memukul isteri (dengan pukulan yang tidak melukai) karena isteri nusyuz(membangkang dari kewajiban), permintaan suami kepada isteri untuk melepaskan hasratnya sedang sang isteri tidak berhasrat, atau kekerasan psikis lainnya yang sebenarnya masih ditolerir oleh hukum syariat namun dianggap KDRT. Hal-hal semacam itu juga harus diklarifikasi sehingga data dalam survey tersebut layak dipertanggungjawabkan sebagai data kasus KDRT yang valid.
Dengan pertimbangan tersebut, maka benarkah yang menyebabkan terjadinya KDRT adalah pernikahan dini sehingga yang harus digugat adalah usia pasangan yang menikah? Atau, apakah terdapat hal-hal lain yang menyertai pernikahan tersebut yang harus dibenahi agar tidak memunculkan KDRT? Bila karena usia pernikahan, mestinya DKRT tidak banyak dijumpai pada pasangan yang menikah di usia matang. Masalahnya, mereka pun kondisinya tak jauh berbeda. Oleh karena itu, persoalannya bukan terletak pada usia pernikahan, namun hal-hal lain di luar itu.
Di sisi lain, Islam telah mengatur masalah pernikahan . Islam pun telah mengatur berbagai persoalan yang mungkin muncul dari aktivitas pernikahan seperti kekerasan, dan sebagainya. Oleh karena itu, persoalan ini harus didudukkan secara benar, sehingga kesimpulannya tidak mengarah pada pelanggaran syariat Islam yang sudah baku, seperti dilarangnya perempuan menikah di usia dini.
Pada dasarnya Islam membolehkan laki-laki menikahi perempuan di bawah umur, sebelum haid atau usia 15 tahun. Dalam hal ini, tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama’. Demikian penjelasan Ibn Mundzir, sebagaimana yang dikutip oleh Ibn Qudamah. Dalam penjelasannya, Ibn Mundzir menyatakan:
“Semua ahli ilmu, yang pandangannya kami hafal, telah sepakat, bahwa seorang ayah yang menikahkan anak gadisnya yang masih kecil hukumnya mubah (boleh).”
Firman Allah SWT menyatakan:
وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu, jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang belum haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Siapa siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. at-Thalaq [65]: 04)
Selain itu, Aisyah ra. pernah menuturkan dari Hisyam, dari ayahnya (‘Urwah), yang menyatakan:
تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ وَأَنَا اِبْنَةُ سِتٍّ، وَبَنَي بِيْ وَأَنَا ابْنَةُ تِسْعٍ (متفق عليه)
“Saya dinikahi oleh Nabi saw. ketika saya gadis berusia enam tahun, dan baginda membawa saya, ketika saya berusia sembilan tahun.”
Dengan demikian Islam memandang bahwa perempuan boleh menikah di usia dini. Kebolehan ini tentu bersifat umum. Artinya, meski Islam tidak melarang perempuan menikah pada usia dini, namun Islam tetap membebankan hukum-hukum yang berkaitan dengan pernikahan kepada siapapun yang telah menikah, termasuk bagi perempuan yang menikah dini di usia baligh.
Dengan konsekuensi tersebut, setiap pasangan nikah seharusnya memahami dan mempersiapkan segala sesuatu yang bakal dibutuhkan ketika mengarungi bahtera rumah tangga. Pengetahuan tentang hak dan kewajiban sebagai suami isteri serta sebagai ayah dan ibu harus difahami dengan baik oleh kedua calon mempelai. Kekurangsiapan diri bisa memicu beberapa tindakan yang bisa mengarah kepada tindak KDRT. Misalnya, suami yang tidak memahami tatacara mendidik isteri tatkala isteri membangkang. Maka suami bisa bertindak kasar, memukul di sembarang tampat, bahkan mencederai atau membunuh isterinya. Demikian pula, bila isteri tidak memiliki kesiapan untuk menjadi isteri yang baik, malas mendampingi dan melayani suaminya, masih mengumbar ketertarikan kepada lawan jenis selain suaminya dan sebagainya. Atau, kurangnya kemampuan mengelola emosi yang sebenarnya bisa disiapkan sejak dini sebelum menikah.
Bila persiapan sebelum menikah telah dilakukan, maka usia saat menikah bukan menjadi persoalan. Dan, kenyataannya ada pasangan nikah dini yang sukses dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Hal itu terjadi karena kedua belah pihak telah saling mempersiapkan diri untuk menikah dan menjalani kehidupan pernikahan menurut hukum syara’. Demikianlah, hukum Islam mengatur masalah pernikahan dini dan segala konsekuensi yang harus diemban oleh pelakunya, sehingga pernikahan dini semestinya tidak mengantarkan pada tindak KDRT.
Hal yang harus diperhatikan adalah seringkali KDRT merupakan akibat atas berbagai persoalan yang terjadi dalam keluarga. Sebab, secara fitrah manusia tidak menyukai kekerasan. Ketika pasangan suami isteri tidak mampu mengatasi berbagai persoalan kehidupan keluarga dengan baik, disertai dengan munculnya emosi, maka akan memicu tindakan KDRT.
Himpitan ekonomi bisa mendorong suami bertindak sewenang-wenang terhadap anggota keluarganya. Kehidupan liberal yang tidak mengindahkan tata pergaulan sesuai syariat memungkinkan suami isteri tidak tulus menjadi sahabat. Keengganan saling bergaul menurut syariat atau terjadinya perselingkuhan bisa berbuntut tindak KDRT. Kerasnya mencari penghidupan, kepenatan usai bekerja, sang anak bermasalah, isteri tidak mau mengerti situasi dan kondisi suami, isteri tidak bisa mengelola rumah tangga dan sebagainya, bisa memicu tindakan KDRT. Demikian pula dengan merebaknya sikap hidup materialistik, gaya hidup hedonis dan sikap individualis masyarakat, semua itu turut memuluskan niat berlaku tidak baik di antara anggota keluarga. Sementara masyarakat cenderung tidak peduli, apalagi mau menolong saudara atau tetangganya yang sedang membutuhkan pertolongan.
Perkara-perkara tersebut kadang terlewat dalam menelusuri sebab maraknya KDRT. Bilamana kondisi eksternal yang memicu persoalan rumah tangga bergabung dengan kondisi internal anggota keluarga (baik suami, isteri maupun anak-anak) yang tidak memilki pegangan yang benar menurut syara’, maka inilah yang menjadi biang dari segala tindak KDRT.
Dengan demikian, pada kondisi pernikahan apapun (baik pernikahan dini maupun bukan), bayang-bayang KDRT akan selalu mengikuti. Hanya mereka yang mampu melampaui tantangan dalam berkeluargalah yang selamat dari tindak kekerasan. Jadi, persoalannya tentu bukan terletak pada usia pernikahan, namun ketidakmampuan pasangan suami isteri menghadapi persoalan keluarga yang dibinanya.
Mencegah maraknya KDRT dengan mencegah pernikahan dini adalah tindakan yang gegabah. Sebab, secara fitrah manusia dimungkinkan menikah pada usia dini. Apa jadinya jika remaja yang sudah siap menikah dihalang-halangi untuk menikah hanya karena khawatir terjadi KDRT? Tentu bahayanya akan jauh lebih besar. Pergaulan bebas akan semakin merajalela. Oleh karena itu, tindakan KDRT seharusnya tidak dicegah dengan mengharamkan pernikahan dini.
Menilik beberapa faktor pemicu KDRT sebagaimana yang dipaparkan di atas, maka tindakan KDRT dapat dicegah dengan:
 pertama, mempersiapkan diri dengan baik ketika berniat untuk menikah. Persiapan yang dimaksud bukan saja persiapan materi atau jasmani, namun meliputi persiapan mental, baik menyangkut penguatan akidah, pemahaman hukum-hukum Islam khususnya tentang kehidupan suami isteri, memperkuat kepribadian Islami dan sebagainya.
Kedua, konsisten untuk turut andil dalam upaya mengubah kehidupan sekuler -liberalistik-kapitalistik yang menyebabkan beban persoalan keluarga kian berat. Sejalan dengan penguatan internal individu-individu dalam keluarga, kondisi sosial yang melingkupi mereka tidak boleh kontra produktif. Oleh karena itu, kehidupan masyarakat harus diubah menjadi kehidupan yang melahirkan kesejahteraan, ketenangan dan ketentraman. Itulah kehidupan Islam yang menjalankan syariat Islam secara kaffah. Upaya ini harus menjadi perhatian semua pihak jika tidak ingin laju tindak KDRT semakin kencang.
Tak seharusnya pernikahan dini menjadi kambing hitam tindak kedhaliman sistem dan manusia. Hukum Allah SWT yang membolehkan pernikahan dini tentu membawa kabaikan bagi manusia. Bila terdapat persoalan di balik semua itu, tentu perilaku manusialah yang layak menjadi sorotan, adakah kesalahan yang telah dilakukan selama ini.
Dengan demikian, setiap muslim dijamin haknya untuk menikah kapan pun dia mampu. Syariat telah memberi rambu-rambu yang jelas dalam setiap pelaksanaan hukum-hukumnya. Menikah dini memang membutuhkan persiapan lebih banyak, terlebih dalam sistem kehidupan sekuler kapitalistik saat ini. Bila salah melangkah, jebakan KDRT akan siap menghadang. Namun demikian, bukan mustahil akan terwujud kehidupan pernikahan dini yang sakinah mawaddah wa rahmah tanpa ancaman KDRT. Semua tergantung sang pelaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar