Bulan
haji memang sudah lewat. Banyak pasangan telah melangsungkan
pernikahan. Kini, di awal-awal menjalani biduk rumah tangga, banyak
penyesuaian harus dilakukan. Ya, ketika ijab qabul dikumandangkan di
depan wali, sebenarnya yang bersatu bukanlah sekadar jasad dua makhluk
berlainan jenis. Terjadi pula pertemuan dua pemikiran, dua tujuan hidup
dan perkawinan dua pribadi dengan tingkat keimanan masing-masing. Karena
itu, penyatuan pemikiran dan idealisme akan menyempurnakan pertemuan
fisik kedua insan. Nah, agar penyatuan itu berlangsung maksimal,
hendaknya perhatikan hal-hal berikut:
Rutinitas
sehari-hari kerap membawa kejenuhan, stres dan kepenatan. Padahal,
manusia bukanlah robot mati rasa. Manusia punya perasaan dan otak yang
dapat mengalami kelelahan. Nabi SAW pun mengeritik seseorang yang
menamatkan Alquran kurang dari tiga hari, yang menghabiskan waktu
malamnya hanya dengan shalat, dan yang berpuasa setiap hari. Karena itu,
variasi aktivitas dibutuhkan manusia agar jiwanya tetap segar. Keluarga
bahagia tak akan tumbuh dari kemonotonan aktivitas keluarga.
Sekali-kali butuh rekreasi, obrolan santai penuh canda, diskusi-diskusi
ringan, atau sekadar belanja bersama
Karakter bawaan
tiap individu, banyak dipengaruhi nilai-nilai yang diyakini serta
perilaku lingkungan terdekat. Mengenal secara jelas karakter pasangan
hidup adalah bekal utama dalam upaya penyesuaian, penyeimbangan dan
bahkan perbaikan. Butuh kesabaran selama proses itu berlangsung sebab
hal itu membutuhkan waktu tak sebentar.
Sikap rahmah
(kasih sayang) kepada pasangan hidup dan anak-anak merupakan tulang
punggung kelangsungan keharmonisan keluarga. Rasulullah SAW menyapa
Aisyah dengan panggilan yang memanjakan, dengan gelar yang menyenangkan
hati. Bahkan beliau membolehkan seseorang berdiplomasi kepada pasangan
hidupnya dalam rangka membangun kasih sayang. Suami atau istri harus
mampu menampilkan sosok diri dan pribadi yang dapat menumbuhkan rasa
tenteram, senang dan kerinduan. Ingat, di atas rasa kasih sayanglah
pasangan hidup dapat membagi beban dan meredam kemelut.
Islam dengan
tegas telah melimpahkan tanggung jawab nafkah kepada suami tanpa
melarang istri membantu beban ekonomi suami jika kesempatan dan peluang
memang ada. Dan tentu, selama masih berada dalam batas-batas syariah. Di
tengah-tengah tanggung jawab dakwahnya, suami harus bekerja keras agar
dapat memberikan pelayanan fisik kepada keluarga. Sedangkan qanaah alias
bersyukur atas seberapa pun hasil yang diperoleh adalah sikap yang
patut ditampilkan istri. Persoalan-persoalan teknis yang menyangkut
pengelolaan ekonomi keluarga dapat dimusyawarahkan dan dibuat
kesepakatan antara suami dan isteri. Kebahagiaan dan ketenangan akan
lahir jika di atas kesepakatan tersebut dibangun sikap amanah (benar dan
jujur).
Meski ajaran
Islam menjabarkan dengan jelas fungsi dan tugas elemen keluarga (suami,
isteri, anak) namun dalam pelaksanaannya tidaklah kaku. Jika Rasulullah
SAW menyatakan bahwa seorang istri adalah pemimpin bagi rumah dan
anak-anak, bukan berarti seorang suami tidak perlu terlibat dalam
pengurusan rumah dan anak-anak. Ajaran Islam tentang keluarga adalah
sebuah pedoman umum baku yang merupakan titik pangkal segala pemikiran
tentang keluarga. Dalam tindakan sehari-hari, nilai-nilai lain, misalnya
tentang itsar (memperhatikan dan mengutamakan kepentingan orang lain),
ta'awun (tolong menolong), rahim (kasih sayang) dan lainnya juga harus
berperan. Itu dapat dijumpai dalam riwayat yang sahih betapa Nabi SAW
bercengkrama dengan anak dan cucu, menyapu rumah, menjahit baju yang
koyak dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar