Khabar (خبر), kata Ibnul-Mandhuur, merupakan bentuk tunggal dari kata akhbaar (أخبار). (Definisinya) yaitu : berita yang datang kepadamu tentang orang yang kamu akan diberitahu. Ibnu Sayyidih berkata : “Khabar adalah berita. Jamaknya adalah akhbaar, dan al-akhaabiir adalah jamak dari akhbaar…. Al-Istikhbaar dan at-takhabbur adalah pertanyaan mengenai khabar.
Khabar adalah sesuatu yang tidak terelakkan dalam kehidupan kita. Baik kita mengkhabarkan sesuatu kepada orang lain atau kita dikhabarkan sesuatu oleh orang lain. Dua-duanya silih berganti mengisi.
Bila kita membicarakan check dan re-check, tentu saja yang dimaksudkan di sini adalah dalam kaitannya penerimaan khabar oleh kita dari orang lain. Syari’at telah menetapkan satu ketentuan bagi seorang muslim untuk selalu check dan re-check terhadap khabar yang sampai kepadanya.
Mari kita perhatikan kisah Nabi Sulaimaan ‘alaihis-salaam dengan burung Hud-hud sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala :
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ
مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ * إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ
وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ * وَجَدْتُهَا وَقَوْمَهَا
يَسْجُدُونَ لِلشَّمْسِ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ
أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيلِ فَهُمْ لا يَهْتَدُونَ * أَلا
يَسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي يُخْرِجُ الْخَبْءَ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
وَيَعْلَمُ مَا تُخْفُونَ وَمَا تُعْلِنُونَ * اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ رَبُّ
الْعَرْشِ الْعَظِيمِ * قَالَ سَنَنْظُرُ أَصَدَقْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ
الْكَاذِبِينَ
“Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: “Aku
telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu
dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai
seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta
mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah
matahari, selain Allah; dan setan telah menjadikan mereka memandang indah
perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga
mereka tidak dapat petunjuk, agar mereka tidak menyembah Allah Yang
mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan Yang mengetahui apa
yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Allah, tiada Tuhan (yang
berhak disembah) kecuali Dia, Tuhan Yang mempunyai ‘Arsy (singgasana) yang
besar”. Berkata Sulaiman: “Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu
termasuk orang-orang yang berdusta” [QS. An-Naml : 22-27].Saat Nabi Sulaimaan ‘alaihis-salaam menerima khabar burung Hud-hud perihal Ratu Balqis dan kerajaannya, beliau tidak langsung menerima atau menolaknya. Namun beliau menjalankan apa yang diatur syari’at dengan melakukan check dan re-check atau tatsabbut (meneliti) terhadap khabar tersebut.
Banyak orang yang keliru memahami makna tatsabbut terhadap penerimaan khabar. Apabila datang seseorang yang dikenal keadilannya atau kejujurannya menyampaikan satu khabar kepadanya, dengan cepat ia membenarkannya dan sekaligus melakukan konsekuensi dari apa yang dipesankan oleh khabar tersebut. Oleh karena itu, jika ada yang mendebat salah seorang di antara mereka terhadap khabar yang disampaikannya, maka dengan cepat ia menukas : “Telah mengkhabarkan kepadaku seorang yang aku percayai begini dan begitu….”. Seakan-akan urusannya selesai sampai kalimat tersebut tanpa ada celah untuk meragukan atau sekedar menambah yakin terhadap keakuratan berita dengan melakukan penelusuran khabar yang disampaikannya itu. Tentu saja semua hal itu dimungkinkan karena barangkali khabar yang sampai kepada kita tersebut bertolak belakang dengan apa yang telah kita ketahui sebelumnya atau bertolak belakang dengan khabar yang disampaikan oleh orang selainnya.
Kewajiban tatsabbut atau tabayyun (check dan re-check) tidaklah bertentangan dengan asas diterimanya khabar dari seorang perawi yang ‘adil. Akan tetapi ada sebagian khabar yang memang dibutuhkan tatsabbut dan tabayyun lebih.
Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam tatsabbut dan tabayyun terhadap khabar :
1.
Ke-‘adil-an pembawa berita, yaitu baligh,
berakal, selamat dari sifat fasiq, dan dan hal-hal yang merusak muru’ah
(harga diri)-nya.
Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ
فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا
عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” [QS.
Al-Hujuraat : 6].
Tatsabbut terhadap khabar yang
dibawa orang fasiq adalah satu kewajiban, apalagi jika ia dikenal
sebagai orang yang selalu menyampaikan segala sesuatu yang ia dengar, tidak
peduli benar atau salah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
وحدثنا عبيدالله بن معاذ العنبري. حدثنا أبي. ح
وحدثنا محمد بن المثنى. حدثنا عبدالرحمن بن مهدي. قالا: حدثنا شعبة، عن خبيب بن
عبدالرحمن، عن حفص بن عاصم، عن أبي هريرة؛ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
“كفى بالمرء كذبا أن يحدث بكل ما سمع”.
Dan telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidillah
bin Mu’adz Al-‘Anbariy : Telah menceritakan kepadaku ayahku (ح); Dan telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada
kami ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy – mereka berdua (Mu’adz Al-‘Anbariy dan
‘Abdurrahman bin Mahdiy) berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari
Khubaib bin ‘Abdirrahmaan, dari Hafsh bin ‘Aashim, dari Abu Hurairah, ia
berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Cukuplah
seseorang dianggap pendusta jika ia mengatakan setiap apa yang ia dengar”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 5].
2.
Ke-dlabth-an pembawa khabar, yang
menyangkut hapalan dan keakuratannya dalam membawa khabar.
Banyak orang yang meremehkan perkara ini. Mereka
hanya mencukupkan diri dengan sifat ke-‘adil-annya, sehingga ketika khabar
itu diterima, nampak padanya pertentangan antara pembawa khabar satu
dengan yang lainnya.
حدثنا نصر بن علي الجهضمي حدثنا الأصمعي عن بن أبي
الزناد عن أبيه قال أدركت بالمدينة مائة كلهم مأمون ما يؤخذ عنهم الحديث يقال ليس
من أهله
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Aliy
Al-Jahdlamiy : Telah menceritakan kepada kami Al-Ashma’iy, dari Ibnu Abi
Zinaad, dari ayahnya, ia berkata : “Aku telah menjumpai di Madinah seratus
(orang) yang kesemuanya dapat dipercaya (ma’muun) yang tidak diambil
haditsnya. Dikatakan bahwa mereka itu bukan ahlinya” [Shahih Muslim].
Satu contoh saya bawakan dalam kasus ini :
حدثنا حفص بن عمر النمري ثنا همام ثنا قتادة عن
الحسن عن سمرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : كل غلام رهينة بعقيقته تذبح
عنه يوم السابع ويحلق رأسه ويدمى
Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin ‘Umar
An-Namiriy : Telah menceritakan kepada kami Hammaam : Telah menceritakan kepada
kami Qataadah, dari Al-Hasan, dari Samuurah, dari Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Setiap anak tergadai dengan
‘aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, dicukur rambut kepalanya, dan
kepalanya dilumuri darah (yudammaa)” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no.
2837].
Betapa banyak orang jujur membawakan khabar tidak
sebagaimana mestinya ?. Oleh karena itu, bukanlah satu ‘aib jika kita
melakukan check dan re-check sehingga khabar yang
sampai pada kita benar-benar akurat.
3.
Pemahaman yang baik dan penguasaan yang komprehensif
terhadap maksud khabar/berita.
Adakalanya satu khabar dibawakan oleh
seorang yang wara’ dan kuat hapalannya, namun ia tidak memahami
hakekat apa yang disampaikannya itu dari orang yang ia ambil khabar-nya.
Saat menyampaikannya, maka khabar yang disampaikannya bercampur dengan
perkataannya, dimana perkataannya itu tidak sesuai atau bahkan bertentangan
dengan maksud dan pemahaman orang yang ia ambil khabar-nya.
Contohnya hadits yang diriwayatkan oleh Syaikhaan
:
إن أمتي يدعون يوم القيامة غرا محجلين من آثار
الوضوء، فمن استطاع منكم أن يطيل غرته فليفعل.
“Sesungguhnya umatku pada hari kiamat nanti
akan dipanggil dengan keadaan bersinar-sinar karena bekas wudlu pada anggota
tubuh mereka ; maka barangsiapa yang mampu memanjangkan penyiraman ghurrah-nya,
maka lakukanlah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 136 dan Muslim no. 246].
Perkataan “maka barangsiapa yang mampu
memanjangkan penyiraman ghurrah-nya, maka lakukanlah” merupakan perkataan
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, sebagai pembawa khabar.
Sebagian ulama mengkritik bahwasannya perkataan
Abu Hurairah tersebut timbul dari pemahamannya atas sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam yang ia bawakan. Dan ini keliru. Sebab, makna ghurrah
secara bahasa adalah wajah, dan wajah bukanlah sesuatu yang dapat
dipanjangkan dalam pembasuhannya. Oleh karena itu, tidak ada dalil shahih dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan disunnahkannya
memanjangkan pembasuhan ghurrah. Ini adalah madzhab Maalikiyyah, dan
yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim, dan Al-Albaaniy rahimahumullah.
Inilah tiga hal yang hendaknya diperhatikan bagi kita semua dalam penerimaan
khabar. Apalagi jika khabar tersebut berkaitan dengan
pelanggaran kehormatan sesama muslim atau menyangkut kepentingan masyarakat
banyak (keamanan, keadaan darurat, fitnah, dan yang lain sebagainya). Walaupun
contoh-contoh yang diberikan adalah seputar riwayat hadits, namun semoga
penekanan urgensitas serta penerapannya di kehidupan sehari-hari dapat dipahami
oleh ikhwan semua, terutama yang nulis artikel ini.Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar