Apakah di LDII ada Bai’at seperti Baptis di Nasrani?

Tidak ada. Di LDII tidak ada istilah Bai’at seperti Baptis kalau di Nasrani, tapi di dalam agama Islam dan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits Bai’at itu ada seperti yang dilakukan oleh Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dengan para sahabatnya yang dikenal dengan istilah “Bai’at Ridhwan” bahkan sampai sekarang pun kelompok-kelompok muslim tertentu masih terus melestarikan dan melaksanakan Bai’at itu, seperti halnya di golongan Thoriqot, Hizbu Tahrir, Forum Betawi Rembug (FBR), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) dan lain sebagainya. Sedangkan di LDII yang ada adalah syarat untuk menjadi anggota LDII yaitu Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan UUD 45, menyatakan diri dengan suka rela untuk menjadi anggota LDII, menerima menyetujui dan sanggup ta’at terhadap AD dan ART LDII, serta ta’at pada seluruh keputusan musyawaroh / rapat dan Peraturan Organisasi, bersedia mengikuti segala kegiatan sesuai dengan Program Kerja Organisasi. 

Sebagian orang juga memandang tabu, serem terhadap kalimat “Bai’at”, yaitu janji setia. Karena, kalimat bai’at ini senantiasa mereka hubung-hubungkan dengan sebuah kelompok Islam radikal yang bergerilya ingin mengadakan pemberontakan, atau mereka kait-kaitkan dengan Islam garis keras yang kolot, ortodok banget yang ingin mendirikan negara Islam, ingin memaksakan kehendak merubah undang-undang 45 dan dasar Negara Indonesia, yaitu Pancasila dengan syare’at Islam dengan cara membai’at pengikutnya terlebih dahulu untuk menyatakan kesanggupannya walaupun nyawa taruhannya tanpa ada reserve. 


Padahal “Bai’at” di dalam agama Islam, Al-Qur’an dan Hadits nabi pengertian Bai’at bukanlah seperti itu, melainkan seperti yang dulu pernah diikrarkan oleh sahabat kepada Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, yakni janji setia yang menyatakan kesanggupan untuk mendengarkan, dan ta’at melakukan hal kebaikan selama masih mampu untuk mengerjakannya serta kesanggupan untuk menjauhi hal-hal yang buruk sejauh-jauhnya. Jadi, istilah Bai’at itu ada dan dilakukan sejak zaman Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam. Tetapi sayang seribu sayang, sesuatu yang mulia seperti itu telah dikotori oleh orang-orang tertentu, kelompok-kelompok tertentu yang dipakai untuk menggolkan keinginan nafsunya. 

Adapun bahasa Indonesianya Bai’at adalah janji setia untuk mentaati peraturan Alloh dan Rosul-Nya. sesuai dengan yang tercantum di dalam Al-Qur’an Surat Al-Fath, No. Surat: 48, Ayat: 10, yang berbunyi:
Yang artinya: “Bahwasannya orang-orang yang berbai’at (berjanji setia) kepada kamu sesungguhnya mereka berbai’at (berjanji setia) kepada Alloh”.

Dan ayat: 18, dari surat Al-Fath, No. Surat: 48, yang berbunyi:
Yang artinya: “Sesungguhnya Alloh telah ridho terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berbai’at (berjanji setia) kepadamu di bawah pohon, maka Alloh mengetahui apa yang ada didalam hati mereka lalu Alloh menurunkan kemenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)…”.

Alloh berfirman di dalam Al-Qur’an Surat Al-Mumtahanah, No. Surat: 60, Ayat: 12, yang berbunyi:
Yang artinya: “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan berbai’at (janji setia) bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Alloh, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka (pengakuan-pengakuan palsu) dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia (bai’at) mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Alloh untuk mereka. Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Berbai’at menurut Alloh dan Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam hanya untuk kebajikan, kemashlahatan, merubah akhlaq Jahiliyah agar menjadi akhlaqul karimah yaitu akhlaq yang terpuji dengan tujuan semata-mata hanya urusan agama, dan ingin masuk surga Alloh dan selamat dari neraka Alloh. Bukan untuk kemudhorotan, pemberontakan, pembelotan, pembangkangan, kudeta ataupun ingin membentuk negara dalam negara, sama sekali bukan itu tujuan bai’at. Kalau-lah itu yang menjadi tujuannya, maka itu namanya sudah salah niat yakni dengan memperalat dalil bai’at. Menyalah-gunakan Bai’at untuk kepentingan pribadi karena terobsesi ingin menjadi pemipin yang dita’ati, biar nantinya bisa mengatur anak buah dengan seenaknya sendiri, itu berarti mereka telah mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya. Bagi orang yang telah berani mendurhakai Alloh, dan Rosul-Nya, apa sebagai konsekwensinya? Allohu Subhaanahu Wa Ta’alaa telah berfirman di dalam Al-Qur’an, Surat An-Nisaa’, No. Surat: 4, Ayat: 14, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dan Barangsiapa yang mendurhakai Alloh dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan”.

Berikut ini contoh praktek Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam membai’at para sahabatnya, mungkin hadits-hadits yang seperti ini dapat mengingatkan kita pada kisah-kisah para sahabat, bagaimana mereka dalam menjalani Islamnya dengan kaafah. Di dalam Hadits Bukhori Juz 9 hal 99, dari Aisyah Rodhiyallohu Anhaa berkata: 
Yang artinya: “Adalah Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam membai’at (mengambil janji setia) perempuan hanya dengan kata-kata (tidak dengan berjabatan tangan)”, tangan Rosulillahi Shollallohu’ Alaihi Wasallam tidak menyentuh pada tangan perempuan kecuali perempuan miliknya”.

Di dalam Hadits Abu Daud Juz 4 diterangkan bahwa Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda: 
Yang artinya: “Barang siapa yang berbai’at kepada seorang Imam terus dia memberikan genggaman tangannya (berjabatan tangan) dan buah hatinya (kesadaran sendiri) pada Imamnya itu, maka hendaknya dia ta’at kepada Imamnya itu sesuai dengan kemampuannnya”.

Dan tercantum dalam Hadits Muslim Juz 6 hal 22, bahwa Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda: 
Yang artinya: “Dan barang siapa yang mati dilehernya tidak ada Bai’at (janji setia) maka dia mati Jahiliyah”.

Andaikan semua golongan Islam mau kembali mengaji pedoman aslinya ummat Islam yakni Al-Qur’an dan Al-Hadits Nabi secara “Kaaffah” menyeluruh pasti akan sama dengan yang dikerjakan oleh komunitas keagamaan di LDII. Minimal memiliki ilmu pengetahuan agama yang sama, dan hasilnya adalah tidak akan memperolok-olokkan agama lagi, karena sudah tahu bahwa Alloh yang memberi hidayah (petunjuk jalan / agama yang benar) dan Alloh pula yang menyesatkan orang yang dikehendaki-Nya. Kalau sudah sama-sama mengaji Al-Qur’an dan Al-Hadits dan sudah mengetahui ilmu tentang aqidah meliputi; Qo’idah Ibadah seperti thoharoh, sholat, zakat, shoum, haji. Qo’idah Mu’amalah seperti hukum niaga (perdagangan), hukum nikah (pernikahan), hukum warotsah (waris: pembagian harta pusaka) dan hukum pidana seperti hukum jinayah (publik), hukum khilafah (negara), hukum jihad (perang), dsb. Qo’idah Akhlaq terhadap Alloh dan Qo’idah Akhlak terhadap manusia seprti diri sendiri, tetangga, masyarakat. Qo’idah Aklaq terhadap selain manusia seperti flora, fauna, dsb. Semua itu tinggal mau mengerjakan apa tidak, itu urusan masing-masing orang alias nafsi-nafsi”. Berdasar dalil haq firman Alloh dalam Al-Qur’an, Surat Fush-shilat, No. Surat: 41, Ayat: 46, yang berbunyi:
Yang artinya: “Barang siapa yang mengerjakan amal yang sholeh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas (ditanggung oleh) dirinya sendiri”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar