Banyak orang mulai merasa kelelahan hidup. Hidup terasa begitu menyengat. Target – target begitu menghentak. Harapan – harapan banyak yang kandas. Lepas. Pagi buta terbangun, bergegas berangkat ke kantor, pulang malam dalam larut kepenatan dan kelelahan, serta amat jarang bisa merasakan sinar matahari di kulit. Kemudian suatu saat mereka jeda dan bertanya dalam diri: untuk apa hidup ini?Objek maupun subjek yang dikejar dalam hidup ini memang beragam. Ada yang mengejar kekayaan, ada juga yang berorientasi mencari kepopuleran.
Yang penting keren. Beken. Ada yang lapar dengan kekaguman orang, ada yang demikian seriusnya di jalan-jalan spiritual sampai mengorbankan hampir segala-galanya. Dan tentu saja, itu semua menjadi hak setiap orang untuk memilih jalur bagi dirinya sendiri. Syah dan boleh – boleh saja. Namun yang paling banyak mendapat pengikut adalah mereka yang berjalan atau berlari memburu kekayaan, baik kekayaan luar maupun dalam. Jadi pedagang, pengusaha, pegawai, pejabat, petani, tentara, supir, penekun spiritual sampai dengan tukang sapu, tidak sedikit kepalanya yang diisi oleh gambar-gambar hidup agar cepat kaya. Sebagian bahkan mengambil jalan-jalan pintas. Yang penting asal cepat jadi kaya.
Pilihan menjadi kaya tentu sebuah pilihan yang bisa dimengerti. Maklum, nggak ada orang yang mau hidup susah. Penginnya enak terus. Terbukti dengan kaya materi manusia bisa melakukan lebih banyak hal. Pun dengan kekayaan di dalam, manusia bisa berjalan lebih nlisir di lorong - lorong kehidupan. Dan soal jalur mana untuk menjadi kaya yang akan ditempuh, pilihan yang tersedia memang amat melimpah. Dari jualan asuransi, ikut MLM, memimpin perusahaan, jadi pengusaha, sampai dengan jadi pejabat tinggi. Semua bisa, namun seorang bijak dari timur pernah menganjurkan sebuah jalan sederhana menjadi kaya: contentment is the greatest wealth. Rasa cukup adalah kekayaan terbesar. Tentu agak unik mendengarnya. Apalagi di zaman yang penuh dengan hiruk - pikuk pencarian keluar. Menyebut cukup sebagai kekayaan manusia terbesar, tentu bisa dikira miring atau dituduh gila sekalian. Akan tetapi inilah sebenarnya interpretasi sabda Rasulullah SAW; Sesungguhnya yang dikatakan kaya itu bukan banyaknya harta, akan tetapi yang disebut kaya adalah kaya diri (hati). (Rowahu Muslim)
Ada yang mengira, yang demikian itu menganjurkan kemalasan, ada yang menuduh sebagai anti kemajuan. Dan tentu saja tidak dilarang untuk berpikir seperti ini. Hanya saja, bagi setiap penekun kehidupan yang sudah mencoba serta berjalan jauh di jalur-jalur "cukup", segera akan mengerti, memang merasa cukuplah kekayaan manusia yang terbesar. Tengoklah sabda Rasulullah SAW, “Anak Adam berkata ini hartaku, hartaku. Padahal tidak ada harta baginya kecuali tiga hal yaitu apa yang dia makan dan habis, yang dia pakai dan rusak serta yang dia berikan dan menghasilkan pahala. Selain yang demikian itu, maka akan hilang dan ditinggalkan bagi manusia lainnya.” (HR Muslim).
Bukan merasa cukup kemudian berhenti berusaha dan bekerja. Sekali lagi bukan. Terutama karena hidup serta alam memang berputar melalui hukum-hukum kerja. Sekaligus memberikan pilihan mengagumkan, bekerja dan lakukan tugas masing-masing sebaik-baiknya, namun terimalah hasilnya dengan rasa cukup. Nrimo ing pandum. Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh beruntung orang yang masuk islam, diberi rizki cukup dan Allah menjadikan qona’ah (menerima/merasa cukup) dengan apa yang Allah berikan.” (Rowahu Muslim). Dan ada yang berbeda jauh di dalam sini, ketika tugas dan kerja keras sudah dipeluk dengan perasaan cukup. Tugasnya berjalan, kerja kerasnya juga berputar. Namun rasa syukurnya mengagumkan. Sekaligus membukakan pintu bagi perjalanan kehidupan yang penuh kemesraan. Tidak saja dengan diri sendiri, keluarga, tetangga serta teman. Dengan semuanya, manusia mudah terhubung ketika rasa syukurnya mengagumkan. Tidak saja dalam keramaian manusia menemukan banyak kawan, di hutan yang paling sepi sekalipun ia menemukan banyak teman.
Dalam terang cahaya pemahaman seperti inilah, rupanya merasa cukup jauh dari lebih sekadar memaksa diri agar damai dan bahagia. Awalnya, apapun memang diikuti keterpaksaan. Namun begitu merasa cukup menjadi sebuah kebiasaan, terpatri, manusia seperti terlempar dengan nyaman ke jaring - jaring kehidupan. Rasulullah SAW bersabda; “Sungguh beruntung, orang yang mujhid (bekerja giat) dan muzhid (hemat).(Al Hadist).
Para pinisepuh sering mengajarkan hidup berputar laksana roda. Dan setiap pencarian kekayaan ke luar – menjauhi roda - yang tidak mengenal rasa cukup, mudah sekali membuat manusia terguncang ketakutan di pinggir roda. Namun jika mencari ke dalam - di titik pusatnya, maka tidak ada putaran sama sekali. Yang ada hanya rasa cukup yang bersahabatkan hening, jernih sekaligus kaya. Bagi yang belum pernah mencoba, apa lagi diselimuti ketakutan, keraguan dan iri hati, hidup di titik pusat berbekalkan rasa cukup memang tidak terbayangkan. Hanya keberanian untuk mencoba dan melatih dirilah yang bisa membukakan pintu dalam hal ini. Menuju ke titik pusat roda kehidupan.
Hidup yang ideal memang kaya di luar sekaligus di dalam. Itulah idaman setiap orang. Hal ini bisa ditemukan pada orang-orang yang mampu mengkombinasikan antara kerja keras di satu sisi, serta rasa cukup di sisi lain. Bila orang-orang seperti ini mampu berjalan lebih jauh lagi di jalan yang sama, akan datang suatu waktu dimana amat bahagia dengan hidup yang bodoh di luar, namun pintar dan mengagumkan di dalam. Biasa tampak luarnya, sederhana perilakunya, namun luar biasa pengalaman di dalamnya. Ini bisa terjadi, karena rasa cukup membawa manusia pelan-pelan mengurangi ketergantungan akan penilaian orang lain dan sekelilingnya. Jangankan dinilai baik dan pintar, dinilai buruk sekaligus bodoh pun tidak ada masalah. Kata-kata pujian dan makian ibarat sapu. Ketika dipakai menyapu, lantai lebih bersih namun debu terbang ke mana-mana. Dan hening ibarat lap pel. Lantai bersih tanpa membuat debu terbang. Dengan kata lain, pujian, makian, kekaguman, kebencian dan kata-kata manusia sejenis, hanya menjernihkan sebagian, sekaligus memperkotor di bagian lain (seperti sapu). Sedangkan hening di dalam bersama rasa cukup yang mendalam seperti lap pel, bersih, jernih tanpa menimbulkan dampak negatif.
Itulah kekayaan yang mengagumkan, bahwa dalam hidup yang sebagaimana adanya (bukan yang seharusnya) disertai rasa cukup yang mendalam dan rasa syukur yang berlimpah, ditemukan kehidupan penuh daya guna sekaligus pelayanan bermakna buat pihak lain. Mari temukan dan daya gunakan..!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar