Sadar

Bagi Anda penduduk Jakarta dan sekitarnya, tapi masih suka mengeluh, ngedumel dan ngomel – ngomel kala menghadapi kemacetan, berarti Anda belum sadar kalau Anda hidup di Jakarta. Kenapa? Karena sejak berpuluh tahun yang lalu, Jakarta adalah biangnya kemacetan. Stempel itu sudah melekat erat bahkan mendunia. Tak salah jika Jakarta dicap sebagai salah satu worst city – kota terjelek. Sudah berkali – kali ganti Gubernur, ganti Presiden tak kunjung putus. Yang ada tambah macet dan ruwet. Baik di jalan maupun di tataran birokrasinya. Di jalan para pengguna jalan terkesan seenaknya. Main serobot, main salip yang penting sampai tujuan. Sebodo dengan orang lain. Trotoar pun jadi jalan motor. Jembatan penyeberangan jadi jalan pintas loncat motor.  Di perempatan dan lampu merah lebih gila lagi. Main trabas, seolah buta warna, yang ada ijo semua. Padahal sudah banyak korban berjatuhan di jalan raya. Cermin ketidak-sopanan para pemakainya.


Di birokrasi, aparatur negara kebingungan harus berbuat apa. Pindah ibu kota, masih sayang sudah kadung berumah di Jakarta. Bangun jalan bimbang, harga tanahnya sudah ketinggian. Memperbanyak transportasi masa bingung, sebab membuat kaya orang lain saja. Akhirnya hanya berbuat ala kadarnya. Yang penting kelihatan kerja. Padahal semestinya mereka bisa. Oleh karena itu, hal pertama yang harus ditumbuhkan pada setiap diri adalah kesadaran bahwa di Jakarta, seperti itulah keadaannya; macet, semrawut, penuh bahaya dan harus ekstra hati – hati menghadapinya. Penuh kesabaran. Maka kalau masih belum bisa menyikapi hal itu, masih suka marah – marah, tidak sabaran dan terus menggerutu, tak salah kalau dibilang belum sadar. Lebih baik pindah ke desa, yang dijamin tidak ada kemacetan karena tidak ada kendaraan.

Selain macet, Jakarta juga terkenal dengan banjir. Sayang masih banyak orang yang belum sadar. Nyatanya, selokan – selokan mampet, kanal – kanal kandas, rumah di bangun di bantaran, situ – situ diurug menjadi perumahan mewah, hutan bakau disulap jadi kondominium, ruang terbuka hijau semakin amblas, tidak mau membuat sumur resapan, semakin berjibun pencakar langit dan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh warga maupun pemda Jakarta yang terkesan anti banjir. Yaitu kegiatan yang bertolak belakang dengan kondisi yang seharusnya dilakukan untuk menghadapi banjir tahunan itu.

Berikutnya adalah berolah raga. Banyak orang yang tahu kalau olah raga itu penting untuk menjaga kesehatan. Namun jarang orang yang mau secara suka rela dan sadar rutin melakukannya. Demikian juga dengan makanan. Banyak makanan menjadi sumber penyakit dan kolesterol, tetapi banyak orang yang tidak sadar melanggarnya dan menderita karenanya. Banyak yang tahu korupsi itu tidak baik, tetapi tetap saja banyak orang yang tidak sadar – sadar, sehingga terus melakukannya.

Nah, jika dirangkum menjadi satu, ternyata di banyak tempat dalam kehidupan ini, masih banyak menyisakan manusia dengan wajah - wajah yang belum sadar, walau mereka sebenarnya sudah tahu. Banyak orang yang menjalani hidup ini dalam keadaan kehilangan kesadaran, walau mereka beraktifitas sebagaimana layaknya; lahir, tumbuh, bekerja, berkeluarga dan kegiatan lainnya. Bagi yang menyukai acara Uya emang Kuya, akan mengerti betul bahwa kehidupan semacam ini tak ubahnya seperti orang yang terkena hipnotis. Dalam keadaan tertidur korban hipnotis akan melakukan apa saja yang diperintahkan. Bercerita, berkeluh kesah, curhat, menari, menyanyi dan lain sebagainya, tetapi mereka tidak sadar dan tidak tahu apa yang dilakukannya. Maka dalam tindak kejahatan dengan hipnotis, korban seperti dicokok hidungnya. Korban tahu di mana menyimpan uang. Korban pun tahu persis nomor pinnya. Dan akhirnya korban pun menyerahkan uang pada orang tidak dikenal. Korban tahu, tapi tidak sadar.

Bercermin dari kaca mata kehidupan pada umumnya tersebut, saya beralih mengajak melihat sisi sempit kekinian yang sedang terjadi di dalam tubuh lingkungan kita - islam. Saat ini banyak orang yang sudah ngaji, sudah insaf, sudah janji, bahkan mereka lahir, tumbuh dan besar di lingkungan pengajian, di lingkungan orang iman, tetapi mereka belum sadar bahwa mereka adalah orang pengajian, orang iman. Banyak orang yang belum sadar bahwa mereka lain dari yang lain. Banyak orang yang belum sadar akan peran dan tugasnya. Banyak Bapak belum sadar menjadi Bapak dan kepala rumah tangga. Banyak Ibu yang belum sadar menjadi Ibu dengan tugas mengelola rumah tangganya. Banyak anak yang belum sadar menjadi anak. Walau mereka sebenarnya sudah tahu. Simaklah firman Allah dalam surat Al-Hadid ayat 14, ”Mereka (orang-orang munafik itu) memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata: "Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kalian?" Mereka (orang iman) menjawab: "Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dengan sikap suka menunggu – nunggu (malas), ragu - ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kalian telah ditipu terhadap Allah oleh bujukan yang amat menipu.”

Hidup ini seringkali menipu dan meninabobokan orang, sehingga memandekkan ’pengetahuan’ kita. Seharusnya dari tahu menjadi sadar, menjaga konsistensi dan mengembangkannya, tetapi ini malah sebaliknya. Tidak menanjak, justru cenderung menukik. Banyak di antara kita yang tahu 4 maqodirullah, tetapi belum sadar untuk mempraktikkannya. Sadar bersikap sabar kala dicoba. Sadar bersyukur dengan khidmat kala mendapatkan nikmat. Sadar bertaubat kala berbuat salah. Sadar istirja kala tertimpa mushibah. Dan banyak dekadensi yang menunjukkan ketidaksadaran kita. Untuk menjadi sadar kita harus bangun dari situasi ini.  Pengertian menyadari amat berbeda dengan mengetahui. Untuk itu kita semua perlu mengambil jarak dari kesibukan kita dan melakukan kontemplasi sepenuhnya.

Ada dua hal yang dapat membuat orang menjadi sadar. Pertama, peristiwa-peristiwa pahit dan musibah; gegeran atau semisalnya. Musibah sebenarnya adalah ''rahmat terselubung'', karena dapat membuat kita bangun dan sadar. Anda baru sadar pentingnya kesehatan kalau Anda sakit. Anda baru sadar pentingnya olahraga kalau kadar kolesterol Anda mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Anda baru sadar nikmatnya bekerja kalau Anda di-PHK. Seorang wanita karier baru menyadari bahwa keluarga jauh lebih penting setelah anaknya terkena narkoba. Seorang sopir taksi pernah bercerita bahwa ia baru menyadari bahayanya judi setelah hartanya habis.

Lalu, apakah kita perlu mengalami sendiri peristiwa-peristiwa yang pahit tersebut agar kita sadar? Jawabnya: ya! Bagaimana kalau tidak bisa mengalami sendiri? Ada cara kedua yang jauh lebih mudah dan berlimpah: belajarlah MENDENGARKAN dengan sebenar-benarnya. Dengarlah dan belajarlah dari pengalaman orang lain. Bukalah mata dan hati Anda untuk mengerti, mendengarkan, dan mempertanyakan semua pikiran dan paradigma Anda. Proses inilah yang perlu ditransformasikan dalam berbagai bentuknya. Jangan malas, jangan bosen, jangan ragu – ragu. Generasi tua berikhtiar bagaimana bisa transfer sebaik – baiknya kepada generasi muda. Dan generasi muda menyiapkan diri sebaik – baiknya untuk menerima dan mengembangkannya.

Sayang, banyak orang yang mendengarkan semata-mata untuk memperkuat pendapat dan alibi mereka sendiri, bukannya untuk mendapatkan sesuatu yang baru yang mungkin bertentangan dengan pendapat mereka sebelumnya. Orang - orang yang seperti inilah yang termasuk kategori masih tertidur, belum sadar dan belum sepenuhnya bangun. Layaknya berkendara di Jakarta tetapi tidak mau kemacetannya. Dan sekarang tidaklah telat untuk membangun kesadaran di semua lini dengan menghidupkan peran dan tugas masing – masing dengan lebih baik. Jangan hanya menunda dan memperdebatkannya lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar