Syukur

Firman Allah dalam Al-Quran: La in syakartum la aziidannakum wa la in kafartum inaa ‘adzaabii lasyadiid – niscaya jika syukur kamu sekalian niscaya Aku tambah, dan niscaya jika kamu kufur sesungguhnya siksa-Ku niscaya kejam.
Syukur ibaratnya saklar ON-OFF, kalau tidak nyala (ON) ya pasti padam (OFF). Tidak ada pilihan “remang-remang” (antara ON dan OFF).  Karena dalilnya bukan “syukur ditambah, tidak syukur dikurangi” atau “syukur ditambah, tidak syukur impas”. Dalilnya adalah: “syukur ON” ditambah, “syukur OFF” disiksa.

Bagaimana caranya syukur?


1.Syukur pada manusia
Mengapa? Sebab praktis tidak ada kenikmatan Allah yang tidak dilewatkan manusia sebagai perantara nikmat.Demikian pentingnya peranan manusia sebagai perantara nikmat, sampai-sampai Nabi bersabda: man lam yasykurinnaasa lam yasykurillah – man lam yasykurunnaasa laa yasykurullaaha – barang siapa yang tidak syukur kepada manusia, sama dengan tidak syukur kepada Allah. Nah!Dalam sejarah, tidak banyak peristiwa yang menunjukkan Allah memberikan nikmat, misalnya makanan, secara langsung dari langit. Kaum Yahudi, ketika dibawa Musa mengembara mencari Baitul Maqdis, oleh Allah langsung diberi madu “manna” dan burung “salwa”. Atau ketika Nabi Isa meminta hidangan, oleh Allah diberikan hidangan dari langit, dan diabadikan dalam surat Al-Maidah yang artinya hidangan. Selain kejadian itu, semua orang tanpa kecuali, harus mencari makanan dulu, lalu memakannya. Sebagian harus memasaknya terlebih dahulu.Sooo, suami selalu bersyukurlah kepada isteri, karena sesungguhnya tidak terhitung kenikmatan Allah yang diberikan kepada suami lewat perantara isteri. Sebaliknya isteri juga harus bersyukur kepada suami, karena idem.

Anak bersyukurlah kepada orang tua, karena tidak mungkin akan bisa membalas kebaikan atas kenikmatan Allah yang dilewatkan orang-tua. Karyawan selalu bersyukurlah kepada perusahaan tempatnya bekerja, karena gaji, tunjangan, dan lain-lain yang diberikan perusahaan, hakikatnya adalah kenikmatan dari Allah. Maka sebagai tanda kesyukuran, jadilah karyawan teladan, produktif, tidak korupsi waktu, tidak korupsi fasilitas, apalagi korupsi dana.

Warga negara bersyukurlah kepada pemerintah yang sah yang mengupayakan kesejahteraan rakyatnya, dan memberikan kebebasan untuk menjalankan kehidupan beragama sesuai dengan keyakinannya.  Sebagai tanda kesyukuran, jadilah warga negara teladan yang taat tunduk dan patuh kepada Pancasila dan UUD 1945, dan hukum-hukum yang berlaku.

Nah, dari semua kenikmatan Allah, yang paling akbar adalah kenikmatan mendapatkan hidayah bisa menetapi agama Islam yang haq. Kemana manusia mencari hidayah? Dalam pencarian hidayah, Ibrahim mengira bulan sebagai Tuhan, sampai kemudian bulan tenggelam. Lalu Ibrahim mengira matahari sebagai Tuhan, sampai kemudian matahari terbenam. Setelah melewati “proses”, akhirnya Ibrahim diberi hidayah menemukan Tuhan yang sesungguhnya: Allah Subhaanahu wa Ta’aala.

Dalam pencarian hidayah, Muhammad menyepi menyendiri berhari-hari di Gua Hira, dan pulang hanya untuk membawa bekal yang disiapkan Khadijah. Sampai kemudian turun wahyu pertama melalui Jibril yang menuntunnya untuk mengikuti mambaca surat “Iqra”, akhirnya Muhammad diberi hidayah menemukan Tuhan yang sesungguhnya, bukan Latta, bukan Uzza, tetapi Allah Subhaanahu wa Ta’aala.

Bagaimana dengan kita? Sampai bengek bersemedi di kawah Gunung Merapi, kedinginan lalu batuk-asma karena terhisap gas sulfur, tidak akan dapat itu yang namanya hidayah. Mengapa? Karena khotaman nabiyyiina adalah Muhammad. Setelah itu tidak ada lagi manusia yang didatangi Malaikat Jibril untuk mendapatkan wahyu. Artinya? Hidayah hanya dapat sampai kepada kita kalau ada perantara yang menyampaikan. Siapakah perantara itu? Bukan malaikat, bukan jin. Mereka adalah manusia: mulai dari sohabat, kemudian tabi’in, kemudian tabi’it-tabi’in, dst, dst, dst., sampai kepada manusia terakhir yang menyampaikan hidayah kepada kita. Menuntun syahadat, mengajari sholat, dst., dst. Kepada mereka itulah para perantara hidayah Allah, syukur akbar kita sampaikan.  Alhamdulillaah jazaahumullaahu khoiron.

2.Mensyukuri kenikmatan kecil
Mengapa kenikmatan kecil?, bukan hanya kenikmatan besar yang harus disyukuri? Sebab, Pertama, sekecil apapun kenikmatan itu datangnya tetap dari Allah. Kedua, ‘kecil’ adalah ungkapan kualitatif yang sulit diukur. Kecil buat di A belum tentu kecil buat si B. Berapa sih nilai segelas air? Murah sekali, bukan? Tapi coba bawa ke tengah gurun sahara. Barangkali segelas air ada yang mau menukarnya dengan segepok dinar. Singkatnya, semua kenikmatan, besar maupun kecil harus disyukuri.

Ilustrasi berikut mungkin membantu. Ketika suami di hari gajian membawa amplop yang tebal, sang isteri menyambut dengan penuh suka-cita. Ketika suami datang pulang, tidak hanya cium tangan, bahkan sun pipi kiri sun pipi kanan. Ketika semakin lama, karena semakin banyak potongan, amplop yang dibawa pulang semakin tipis, boro-boro sun pipi, cium tangan pun sudah setengah hatii. Padahal sebagaimana keimanan yang yazdaadu wa yankutsu yang naik-turun, demikian pula rezeki. Bagi petani adakalanya panen melimpah, adakalanya paceklik. Bagi pegawai adakalanya surplus sehingga bisa saving alias nabung, adakalanya bokek alias tekor. Kehidupan jadi mantab alias makan tabungan.

Nabi bersabda: man lam yasykuril qoliil lam yasykuril kabiir – barang siapa yang tidak mensyukuri kenikmatan kecil, dia tidak bisa mensyukuri kenikmatan besar. Banyak sekali kenikmatan-kenikmatan kecil yang patut disyukuri. Isteri mengambilkan air minum. Suami membukakan pintu. Anak menyemirkan sepatu, dst. Atas hal-hal kecil itu, biasakanlah mengucapkan kalimat syukur: Jazaakallaahu khoiron, atau Jazaakillaahu khoiron, atau Jazaakumullaahu koiron.

3.Melihatlah ke bawah
Jangan melihat dan membandingkan dengan orang yang di atas dalam hal dunia. Sering mendengar kalimat-kalimat seperti berikut dibawah ini?• “Tetangga sebelah sudah renovasi rumah, sedangkan kita? Atap bocor pun belum ditambal-tambal”.• “Teman Bapak mobilnya sudah Mercy, sedangkan Bapak? Baru Kijang. Sudah belinya kredit, second-hand pula”• “Teman Ibu resepsi anaknya di hotel berbintang 5, sedangkan aku? Selamatannya saja numpang sekalian di kantor KUA”

Itulah kalimat-kalimat yang sering terdengar, yang tanpa sadar melanggar perintah Nabi: undzuruu ilaa man huwa asfala minkum, walaa tandzuruu ilaa man huwa fauqokum – lihatlah kepada yang lebih rendah dari kamu sekalian, dan jangan melihat kepada yang lebih atas dari kamu sekalian.

Pada saat membandingkan dengan yang lebih atas, kemudian mengatakan sedangkan seperti contoh diatas, atau kata/kalimat sebangsanya, maka saat itu pula kesyukuran atas nikmat AllAh hilang, alias kufur.

Bagaimana seharusnya? Simak yang dibawah ini:• “Alhamdulillaaah, kita sudah punya rumah walaupun atapnya bocor, sementara yang lain banyak yang masih numpang di rumah mertogu”• “Alhamdulillaaah, Bapak sudah punya Kijang walaupun second-hand, sementara banyak yang lain masih turun-naik Mercy, tapi Mercy bus kota”• “Alhamdulillaaah, aku bisa menyempurnakan keimanan mujhid-muzhid numpang selamatan sekalian di kantor KUA, sementara yang lain mampunya hanya sholat istikhoroooh terus”.Pada kondisi yang persis sama, sangat berbeda sekali hasil dari “melihat ke atas” - Hattas dengan “melihat ke bawah” - Hatwah, bukan? Itulah salah-satu hadits yang sangat hebat, tentang bagaimana cara memandang suatu keadaan. Yang satu membawa kufur, sedangkan yang lain membawa syukur.

Ingin keimanan terpatri dengan kuat? Jadilah ahli syukur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar