Seberapa jauhkah pemahaman kita tentang mengaji? Dalam konteks dalil saya yakin semua memahaminya. Bagaimana fadhilahnya dan apa saja pahalanya, mungkin sudah di luar kepala. Dalam konteks kewajiban semua sudah mengenalnya sebagai fardhu ain - kewajiban setiap diri. Ditambah pengurus yang tidak henti-henti selalu mengingatkan arti pentingnya ngaji ini. Tapi, adakah yang secara cermat mengikuti alur – proses pengajiannya sendiri? Banyak di antara kita yang terlena karenanya. Begitu asyiknya kita, sehingga terlupakan hal mendasar yang menjadi as kegiatan mengaji kita. Seperti apa? Simaklah cerita berikut ini.
Seorang yang teramat pelit, suatu waktu terjatuh ke sungai. Beberapa kawannya meminta dia supaya memberikan tangannya agar mereka dapat segera menariknya dari sergapan arus sungai yang deras dan ganas itu. ”Berikan tanganmu. Ayo berikan tanganmu.” teriak teman – temannya.
Aneh bin ajaib. Tak ada reaksi. Dia menolak walau hanya untuk mengulurkan tangannya. Rasa cemas dan gelisah mulai mengepung kawan-kawannya. Namun tidak buat Nashruddin Khoja. Si Mullah ini paham apa yang sesungguhnya terjadi. Dengan lembut ia berkata, "Ambillah tanganku, kawan!" kata Nashruddin.
Dengan nalurinya, karena ingin selamat, si pelit dengan cepat mengambil tangan Nashruddin. Dan akhirnya dia selamat. Dia tidak mau memberikan tangannya, meskipun dengan cara itu pula dia selamat. Dia tidak mau dengar kata ”memberi” karena saking pelitnya.
Sekarang kita bayangkan kejadian di atas ada di tempat pengajian saat kita ngaji. Lho kok, apa hubungannya pelit dengan ngaji? Maksudnya adalah apakah masih terdapat sifat kikir dan pelit terbawa ketika kita berangkat ngaji? Naudzubillah min dzalik. Seandainya masih ada tentunya proses memberi dan menerima tidak berjalan sempurna. Sayang, padahal esensi mengaji adalah proses memberi dan menerima ini.
Mari kita simak ayat 108 dari Surat Yusuf, Allah berfirman, 'Katakanlah Muhammad: "Inilah jalan (agama) ku, aku mengajak kepada Allah atas hujjah yang nyata (yang bisa dilihat dan disimak bersama oleh) aku dan orang-orang yang mengikutiku. Dan Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik."
Kita semua sudah mafhum, bahwa obyek yang kita kaji adalah al-Quran dan al-Hadits. Guru mengajar dengan membaca ayat atau haditsnya, sedangkan sang murid mendengarkan dan menyimak materi yang sama. Ketika guru mengajarkan kepada murid, seharusnya murid bersikap khusyu’, konsentrasi dan sepenuh hati agar proses berlangsung dengan sempurna. Jika ada yang tidak paham, murid bisa bertanya atau memberikan koreksi atau tambahan jika ada kekurangan atau kesalahan keterangan. Jangan menganggap pengajian sebagai proses monolog – satu arah saja. Dan merasa berdosa ketika bertanya – sebab dicap kayak Bani Isroil. Benarkah?
Sudah saatnya bagi kita mengaplikasikan paradigma take and give ini dalam setiap acara pengajian. Banyak dari kita ketika pergi ngaji hanya datang setor badan. Pasrah bongkoan. Dan pulang dengan hampa, walaupun masih ada embel-embelnya mendapat pahala karena niat lillahi ta’alanya. Belenggu rutinitas dan kepenatan seolah menjadi momok yang mengintai setiap saat. Membuyarkan majelis agung, tempat para malaikat membentangkan sayap rohmatNya. Sedangkan kita, terpuruk dalam kelelahan dan kekalahan. Selain itu membiarkan proses berlangsung dalam satu arah yang membosankan. Sebab kita asyik dengan diri sendiri.
Oleh karena itu, perlu ditanamkan dalam diri kita; tinggalkan sifat pelit dan kikir ketika kita berangkat ngaji. Berikan yang terbaik ketika berkumpul bersama demi mengagungkan majelis ta’lim dan luasnya ilmu agama. Berikan tambahan pemahaman dan keterangan, agar agama menjadi mudah. Asbabun nuzul. Hubungan antar ayat maupun hadist. Yang jlentreh dan mendalam. Sehingga terang laksana matahari dan bulan. Tak ada lagi kegelapan. Jangan diam, menerima dan pulang saja. Atau bahkan apatis. Tidak merasakan apa-apa. Sudah biasa, katanya. Paling begitu saja. Ups. Yang jelas 5 bab. Capek. Ngantuk. Nggak menarik. Nggak lucu..... dll.
Di pengajian adalah media kita bertemu dan bertegur sapa. Berinteraksi. Wahana yang agung. Jadi janganlah kita hanya menunggu dan menunggu, setidaknya jadilah seperti Nashrudin Khoja. Dan bagi para pengisi, persiapkan diri Anda sebaik mungkin. Rajin deres dan nderes. Suka belajar dan belajar. Tak kenal waktu. Anda bisa meniru Nashrudin Khoja atau seperti teman-temannya yang hanya berteriak dan berteriak saja. Tidak hanya dibutuhkan kepintaran dalam suatu proses, kadang kita dituntut untuk mempunyai kecerdasan dan kecerdikan.
Ketika saya membaca surat al-Hadid ayat 12 -14, teringat dalam benak saya kisah fabel jaman Nabi Sulaiman jaman dahulu. Kisah ini mengingatkan bagaimana meraih tujuan dengan cara yang elegan dan benar. Tanpa kamuflase, yang sering terjadi dalam hidup ini. Adapun arti ayat tersebut kurang lebih begini:
12). Pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada mereka): "Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, yang kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar."
13). Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: "Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu." Dikatakan (kepada mereka): "Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)." Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya berupa siksa.
14). Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata: "Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?" Mereka menjawab: "Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu -nunggu (buang waktu useless) kalian dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah;dan tipuan telah menipu kamu terhadap Allah.
Alkisah, sepasang merpati yang sedang bertengger di cabang pohon melihat seorang alim datang dengan sebuah buku yang dikempit di satu tangan dan tongkat di tangan yang lain. Seekor merpati berkata pada yang lain, "Mari terbang, orang itu bisa membunuh kita." Pasangannya menyahut, "Dia bukan pemburu. Dia seorang ulama, tidak akan membahayakan kita."Sang ulama melihat keberadaannya dan seketika memukulkan tongkatnya ke merpati betina. Bluk! Merpati betina pun jatuh tersungkur. Lantas dengan sigap ia sembelih agar dagingnya menjadi halal. Merasa dizalimi, pasangannya mengadu kepada Nabi Sulaiman. Ulama itu pun segera dipanggil ke istana.
"Kejahatan mana yang saya lakukan?" sanggahnya. "Bukannya daging merpati itu halal," lanjutnya.
Merpati jantan menimpali, "Saya tahu bahwa hal itu halal bagimu. Tetapi, jika datang untuk berburu, engkau semestinya mengenakan pakaian seorang pemburu. Engkau curang dan datang sebagai ulama."
Pemeo di atas bukan terarah ke pengajar. Bukan. Gambaran di atas adalah buat kita semua. Merujuk kisah ayat-ayat yang saya sebutkan di atas. Sudahkah kita bersiap untuk menghadiri majelis ta’lim yang akbar tersebut? Dengan sebenar-benarnya siap? Siap menyongsong datangnya pahala khoiru minad dunya wamaa fiihaa? Dan bahkan siap merebutnya?
Kadang banyak yang pengajiannya dimulai jam 8, jam 8 lewat baru datang. Bukan karena sibuk, tetapi karena menunggu-nunggu. Buang waktu. Tergoda oleh syaitan. Ada, yang datang ke pengajian dengan dandanan ala kadarnya. Bahkan dengan pakaian yang paling sederhana. Padahal kalau ke pesta berdandan necis. Sekarang banyak tindakan indisipliner, bahkan kabar ijin pun tidak sampai. Ironis. Inilah katagori fatantum – merusak diri sendiri. Seolah kita masih mau mengklaim bahwa pahala itu masih untuk kita. Sedangkan kita tidak menggapai dengan sebenar-benarnya. Sekuat tenaga.
Jangan berikan porsi pengajian kita dengan sisa-sisa. Sisa tenaga, sisa waktu dan sisa angan - angan. Daripada nggak ada yang dikerjakan mending ngaji, gumamnya. Agungkanlah dia. Dan berikan yang terbaik untuk porsi ngaji kita. Datanglah dengan sebenar-benarnya datang. Fisik prima. Perlengkapan tak tertinggal. Kitab cumepak. Pakaian pantas. Dan niat yang sempurna lillahi ta’ala. Bacalah doa masuk – keluar masjidnya. Ucapkanlah salam ketika datang dan pulang. Berjabatlah tangan sembari berucap alhamdulillah astaghfirulloh. Dan pasanglah wajah ceria dan berseri. Jadi jangan berikan sedikitpun peluang syaitan menjadikan kita serigala berbulu ulama. Pengin dikatakan orang pengajian, tetapi tidak ngawaki 100 % bagaimana datang dan pergi ngaji dengan adab dan tata krama yang benar.
Sempurnakanlah segala persiapan kita. Ketika hendak berangkat ngaji, siapkanlah sesuatunya. Jangan buru-buru dan jangan meremehkan. Kita bisa menipu malaikat pencatat amalan, tetapi kita tidak bisa menipu diri sendiri dan Allah yang Maha Mengetahui.
Allah berfirman; ”Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan (amrin jami’in), mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nuur ayat 62)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar