Sebuah kebetulan. Karena saya harus pindah ke Jambi, dengan terpaksa saya harus membawa quran dan beberapa hadist. Alhasil, quran lama saya terjamah kembali. Agak malu-malu juga membukanya, sebab terdapat tulisan-tulisan yang jelek dengan pegon cakar ayam. Kelihatan kalau dulu itu kurang sabar dalam menulis. Namun lumayan juga untuk bernostalgia.
Pada bagian belakang quran lama saya ternyata terdapat seikat lembaran buku tulis yang dulu ikut terjilid. Dan lebih kaget lagi saya, ternyata isinya banyak dalil-dalil yang dulu sempat saya tulis. Nah, sambil menimang-nimang saya baca kembali satu per satu dalil-dalil itu. Terkejut? Ya, sebab ternyata dulu saya lupa mencantumkan sumbernya, hanya menulis rowahu tirmidzi, tanpa juz, nomer hadist atau babnya. Cilakanya untuk merunut kembali butuh perjuangan tersendiri, disamping rasa malas. Alhamdulillah dengan bantuan cd kutubu tis’ah, saya mencabo menelusurinya. Hasilnya sebagai berikut.
Hadist yang saya maksud diriwayatkan oleh Sunan Tirmidzi di dalam Kitab Sifatil qiyamah warriqoo’iq walwaro’ dengan nomer hadist 2436. Menurut Sunan Tirmidzi hadist ini mempunyai derajat hasan ghorib. Tidak ada perawi lain dalam kutubu tisah yang meriwayatkan hadist ini. Jadi hanya Sunan Tirmidzi sajalah yang meriwayatkan, walaupun sebenarnya ada dua jalur dalam periwayatan hadist ini, satu dari jalur Suwaid ibnu Nashr dan Ali bin Ishaq.
Nah, lebih penting lagi ketika saya telisik lagi maknanya. Rasulullah SAW bersabda;”Dua perkara kalau keduanya ada pada seseorang maka Allah akan menulisnya syakiron shabiron dan barang siapa tidak ada dua perkara padanya maka Allah tidak akan menulisnya syakiron shobiron. Yaitu, barang siapa yang melihat di dalam agamanya kepada orang yang melebihinya maka mengikuti dia padanya dan barangsiapa melihat dalam masalah dunianya kepada orang yang lebih rendah darinya lantas dia bersyukur kepada Allah atas kefadholan yang diberikan Allah padanya maka Allah menulisnya Syakiron shobiron. Tapi barang siapa yang melihat dalam masalah agamanya kepada orang yang lebih rendah darinya dan melihat masalah dunia kepada orang yang melebihinya lantas merasa susah atas apa-apa yang menelatkan Allah padanya, maka Allah tidak menulisnya syakiron shobiron.” Nah sekarang mari kita bandingkan, dimana kira-kira kita adanya?
Beberapa waktu yang lalu saya ketemu teman lama yang sekarang sudah memiliki rumah dan kendaraan (motor). Berhubung uangnya nggak banyak pilihannya jatuh ke perumahan yang memang agak masuk ke dalam – menjauh dari pusat keramaian. Sama seperti saya.
“Bagaimana kabarnya Mas?”
“Baik Pak.”
“Wah, udah punya motor sekarang ya?”
“Sebenarnya tempat saya cocoknya itu GL Max atau Mega pro gitu.”
“Sekarang motornya apa?”
‘Supra Fit Pak.’
“Wah, yang ada sekarang aja disyukuri, Mas. Banyak lho yang tidak punya motor, lha kok malah ngimpi naik Mega pro,” sergap saya. ”Itu namanya contoh kekurangsyukuran kita.”
“Itulah pak, ternyata menjaga lisan untuk tetap syukur itu susah. Apalagi untuk mendapatkan predikat orang syukur – abdan syakuron.”
Lheeesssh......! Saya pun jadi malu dan tersipu dengan ucapannya.
Benarkah demikian adanya? Kadang kita berucap dengan sesuatu yang menunjukkan ketidaksyukuran kita atas nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita? Kupikir-pikir ya juga tuh...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar