Suatu hari seorang wanita datang kepada teman saya sebut saja Aliyah seorang istri dengan 2 orang anak, dan perempuan itu berkata
“Kak, relakah kakak mengijinkan suami kakak menikahi diriku?”
Aliyah tertegun dengan pertayaan wanita tadi. Bibirnya terkatup rapat dan pikiranya bingung mencari kata dan kalimat yang tepat untuk menjawab nya. Pasalnya kata poligami, dimadu dan ‘istri tua’ tidak ada dalam kamus pikirannya.
Sejurus kemudian Aliyah bertanya dengan nada datar mencoba tenang dengan jantung yang masih berdegup kencang,
“Apakah memang suamiku mau sama kamu mbak?” Wanita tersebut menganggukkan kepala,
“Dia telah melamarku beberapa waktu yang lalu, dan menunggu jawaban pasti dariku.”
Mata Aliyah mulai sedikit berkunang-kunang. Dia mencoba sekuat mungkin untuk tidak meneteskan air mata dan tampak tegar dihadapan wanita tersebut.
“Baiklah mbak, sekarang pulang saja dulu, saya akan tanyakan pada suami saya, apakah benar dia telah melamar mbak untuk jadi istri keduanya.”
Akhirnya wanita itupun berlalu dari hadapan Aliyah dengan wajah tertunduk.
Aliyah terduduk lama di ruang tamu dengan pikirannya kalut. Dia merasa kehidupan rumah tangganya baik-baik saja, terutama dengan keberadaan seorang putra dan seorang putri yang begitu membuat suasana keluarganya begitu cerah ceria. Aliyah tidak menyangka sebuah mendung gelap baru saja menghampiri kehidupannya. Pikiran buruk akan perselingkuhan suaminya terbaca dalam pikirannya sebagai sebuah penghianatan cinta.
Berlahan tapi pasti, air matanya mulai menelusuri pipinya dan menetes jatuh di atas pangkuannya. “Apa salahku? Apa kekuranganku? Bukankah aku wanita dan istri yang setia yang telah memberimu 2 orang anak yang pintar dan lucu? Bukankah aku jugatelah membantu mencari nafkah untuk menghidupi keluarga ini? BUkankah aku istri yang tak pernah menolak keinginananmu di tempat tidur?” Berderet pertanyaan berhamburan lepas dari pikirannya setelah sempat tertumpuk saat wanita idaman lain tadi datang di hadapannya akibat efek ‘bottle neck’.
Aliyah masih tertunduk lesu saat suaminya pulang ke rumah, walau pikirannya mulai tenang. Dalam pikirannya berkecamuk pilihan apakah dia akan menegur suaminya dengan baik-baik, atau dengan langsung mendampratnya dan menumpahkan semua sumpah serapahnya. Akhirnya Aliyah memutuskan untuk mengajak suaminya berbicara secara terbuka. Setelah menyiapkan teh manis hangat, Aliyah duduk di hadapan suaminya.
“Mas, seorang wanita tadi dan menanyakan apakah aku rela untuk dimadu, bagaimana pendapat mas?”
Suami Aliyah yang sedang ‘menyeruput’ teh manis hangat, tertegun mendengar. Dari ekspresi wajahnya tampak sedikit terkejut.
Aliyah meneruskan kembali pertanyaannya.
“Apa benar mas telah melamarnya untuk dijadikan istri kedua?” Kali ini suara Aliyah agak tegas pertanda dia sudah bisa menguasai dirinya.
“Saya tidak mau dimadu! Jika mas menikah lagi, maka mas harus ceraikan aku dulu, semua anak ikut aku!” pungkas Aliyah dengan tegas. Rupanya Aliyah sudah siap untuk menjadi Single Parent, karena memang saat ini dia adalah wanita karier yang mandiri secara ekonomi.
Akhir cerita diatas, atas bantuan pihak keluarga, Aliyah berdamai dengan suaminya dan suaminya tidak jadi menikahi wanita tersebut. Namun dalam pikiran Aliyah masih berkecamuk berbagai pertanyaan mengapa pria tidak cukup puas dengan satu istri dan bagaimana pandangan agama tentang poligami.
Aliyah merasa sangat beruntung karena sang wanita datang pada dirinya disaat suaminya baru melamarnya dan bukan setelah menikahinya, apalagi datang membawa anak kecil yang diakuinya sebagai anak dari suaminya.
Beberapa kasus yang cukup ironi justru bisa kita saksikan saat seorang pria/suami meninggal lebih dahulu, kemudian ditemukan ‘wanita misterius’ bersimpuh di makamnya menangis tersedu-sedu. Rupanya sang wanita adalah istri sah lain dari almarhum yang tidak diketahui oleh istri pertamanya. Audzubillahi mindzalik. Semoga kita semua terhindar dari perbuatan yang demikian.
Belajar dari Kisah Nabi Ibrahim
Kisah diatas adalah kisah klasik sepanjang perjalanan hidup umat manusia. Bukankah kisah poligami Nabi Ibrahim merupakan kisah yang cukup mahsyur betapa cukup sulit bagi seorang nabi sekalipun untuk berlaku adil dan memenangkan 2 hati dalam keluarga besar.
Dikisahkan Nabi Ibrahim yang beristrikan Siti Sarah hingga usia yang cukup tua, mereka belum juga dikaruniai putra. Beberapa riwayat menyatakan akhirnya atas kesepakatan bersama, Siti Sarah memperbolehkan Nabi Ibrahim menikahi Siti Hajar yang merupakan hamba sahayanya (putri kerajaan mesir yang dihadiahkan). Tak lama kemudian Siti Hajar hamil dan melahirkan putra bernama Ismail.
Dikisahkan Nabi Ibrahim yang beristrikan Siti Sarah hingga usia yang cukup tua, mereka belum juga dikaruniai putra. Beberapa riwayat menyatakan akhirnya atas kesepakatan bersama, Siti Sarah memperbolehkan Nabi Ibrahim menikahi Siti Hajar yang merupakan hamba sahayanya (putri kerajaan mesir yang dihadiahkan). Tak lama kemudian Siti Hajar hamil dan melahirkan putra bernama Ismail.
Perhatian Nabi Ibrahim kepada Siti Hajar dan putranya Ismail yang telah diidam-idamkannya melahirkan perasaan cemburu pada Siti Sarah. Akhirnya Nabi Ibrahim membawa Siti Hajar dan Ismail melintasi gurun untuk migrasi dan meninggalkannya di tanah hijaz, yang sekarang menjadi Makkah Al-Mukaromah dengan kisah Ka’bah dan bukit Sofa-Marwa dan air zam-zamnya.
Poligami pada Jaman Pra Islam
Hubungan keluarga pada jaman pra-Islam memang sangat luar biasa parahnya. Wanita merupakan makhluk yang memiliki kasta di bawah laki-laki. Kelahiran seorang anak laki-laki lebih diharapkan daripada anak perempuan. Bahkan beberapa kisah sahabat Nabi, mengubur hidup-hidup anak perempuannya karena malu punya anak perempuan. Sampai-sampai Rasulullah memberikan janji surga untuk mengubah budaya ini seperti diriwayatkan oleh Muslim dari Anas, Rasulullah saw bersabda “Siapa yang dianugrahi dua anak perempuan dan menjaga mereka sehingga dewasa dan berketurunan, maka Allah menyamakan baginya derajat setinggi derajatku di surga”.
Hubungan keluarga pada jaman pra-Islam memang sangat luar biasa parahnya. Wanita merupakan makhluk yang memiliki kasta di bawah laki-laki. Kelahiran seorang anak laki-laki lebih diharapkan daripada anak perempuan. Bahkan beberapa kisah sahabat Nabi, mengubur hidup-hidup anak perempuannya karena malu punya anak perempuan. Sampai-sampai Rasulullah memberikan janji surga untuk mengubah budaya ini seperti diriwayatkan oleh Muslim dari Anas, Rasulullah saw bersabda “Siapa yang dianugrahi dua anak perempuan dan menjaga mereka sehingga dewasa dan berketurunan, maka Allah menyamakan baginya derajat setinggi derajatku di surga”.
Demikian juga dalam hubungan keluarga. Sudah jamak pada masa jahiliyah seorang pria memiliki istri lebih dari satu (poligami). Saat itu jumlah istri dan jumlah hamba sahaya (budak) merupakan simbo status sosial. Semakin banyak istrinya maka semakin terpandanglah ia. Jadi tidak mengherankan jika sahabat Nabi sendiri banyak yang memiliki istri lebih dari 10. Hah 10? anda pasti membayangkan bagaimana dia menggilir istrinya setiap malam sampai gempor? (jangan dibayangkan).
Poligami dalam Islam
Diskursus poligami hingga saat ini memang masih terus berkembang. Masing-masing antara kubu yang pro dan yang kontra berhadap-hadapan dengan dalil yang sama namun dengan penafsiran yang berbeda. Bahkan serunya lagi, yang pro poligami menjadikannya sebagai ajaran “sunnah muakad” atau sunnah yang dianjurkan, sehingga mereka membuat klub poligami, membuat seminar manfaat poligami dan menganjurkan orang lain untuk berpoligami karena Rasulullah juga dulu melakukan poligami. Benarkah begitu?
Diskursus poligami hingga saat ini memang masih terus berkembang. Masing-masing antara kubu yang pro dan yang kontra berhadap-hadapan dengan dalil yang sama namun dengan penafsiran yang berbeda. Bahkan serunya lagi, yang pro poligami menjadikannya sebagai ajaran “sunnah muakad” atau sunnah yang dianjurkan, sehingga mereka membuat klub poligami, membuat seminar manfaat poligami dan menganjurkan orang lain untuk berpoligami karena Rasulullah juga dulu melakukan poligami. Benarkah begitu?
Sedangkan yang kontra poligamipun tidak kalah serunya. Atas nama kesetian dan harkat martabat wanita, mereka menyerukan anti poligami. Bagi mereka, poligami dianggap menghianati cinta istri pertama dan menempatkan wanita sebagai kaum tertindas oleh kaum pria. Mereka mencurigai bahawa pria yang melakukan poligami memiliki motif seks semata yang menjadikan wanita sebagai objek seksual. Benarkah begitu?
Sebagai orang Islam, maka rujukan utamanya pastilah Al-Quran dan Hadist. Rujukan utama kebolehan memiliki lebih dari 1 stri dapat dibaca di Surat Annisa ayat 3 terjemahan Departemen Agama sebagai berikut:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
[265]. Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[266]. Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
[266]. Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
Ayat tersebut diatas menegaskan dua hal, yaitu jumlah istri yang boleh dinikahi dan syarat adil dalam poligami.
Para pro poligami berteriak “Yes Allah menghalalkan poligami!” Artinya Allah memperbolehkan poligami berdasarkan kalimat “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat”. Loh bolehkan! . Namun bagi pihak anti poligami, mereka perpedoman pada ayat yang sama. Mereka bilang “Et… tunggu dulu, disitu ada syaratnya yaitu harus berlaku adil dan di Surat Annisa ayat-129 Allah menyatakan
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Abang yang berpolgamipun membalasnya dengan kalimat “Lah Allah aja maklum kok kalau kita kaum pria tidak bisa berlaku adil, yang penting sudah berusaha adil untuk nafkah lahir dan bathin, Allah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Setelah turun Surat Annisa ayat-3 diatas, maka Rasulullah membatasi jumlah istri yang dimiliki oleh para pengikutnya. Hal ini dijelaskan pula oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Muwaththa‘, Nasa‘i dan Daruquthni, dalam Sunannya bahwa: “Nabi berkata kepada Ghailan bin Umayyah Ats-Tsaqafah yang masuk Islam dan ia mempunyai sepuluh orang istri. Nabi bersabda: “Pilihlah empat orang di antara mereka dan ceraikanlah yang lainnya”. Hal ini menunjukkan kedatangan Islam tidak serta merta menghapus kebiasaan poligami yang ada di masyarakat pada jaman itu. Namun tidak juga Islam memutuskan seorang pria itu harus monogami.
Perjalanan rumah tangga Rasulullah Muhammad sendiri dijalani dalam kehidupan monogami selama 28 tahun hingga akhir hayat istri tercinta beliau Siti Khadijah ra. Setelah masa berkabung dan kesedihan, Rasulullah menikah dengan Sawdah binti Zam’ah janda tua dari al-Sakran bin Amr yang meninggal dunia dalam perjuangan Islam. Sebagai penghargaan dan memberikan perlindungan, Rasulullah menikahinya.
Berikutnya istri beliau berturut-turut Aisyah binti Abu Bakar, Hafshah binti Umar bin al-Khattab, Hindun binti Abi Umayyah (Ummu Salamah), Ramlah binti Abu Sufyan (Ummu Habibah), Juwayriyah (Barrah) binti Harits, Shafiyah binti Huyay, Zaynab binti Jahsy, Zaynab binti Khuzaymah, Maymunah binti al-Harits, dan Maria al-Qabtiyya. Sehingga total istri beliau sebanyak 11 orang yang dalam Al-Quran Surat Ahzab ayat 6) disebut sebagai Ummul Mukminin (Ibunya orang beriman).
Dari semua istri Rasulullah, hanya Siti Aisyah putri dari sahabat beliau Abu Bakr as-Shiddiq saja yang dinikahi masih gadis. Sedangkan semua istri-istri beliau berstatus janda yang telah berumur. Menurut ahli sejarah Islam, ini adalah hikmah dari Allah agar ajaran Rasulullah yang berkaitan dengan urusan wanita dapat tersampaikan kepada ummatnya. Banyak hadist yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah berkenaan dengan bagaimana Rasulullah berumah tangga. Termasuk juga hukum-hukum Islam seperti hukumnya mani, mencium istri saat bulan puasa dan sebagainya. Siti Aisyah yang masih muda menjadi jembatan komunikasi antara Rasulullah dengan para kaum muslimat waktu itu.
Cerita diatas dimanfaatkan oleh yang anti poligami dengan argumentasi “Nah loh, Nabi Muhammad saja begitu setiap pada Khadijah hingga lebih dari 28 tahun. Kalau mau menikah lagi cari aja janda-janda tua dan miskin yang butuh pertolongan,” ujar para pengusung gerakan feminisme dengan senyum puas. “Kalian para pria yang suka poligami pasti tidak mau toh mencontoh Rasulullah dengan menikahi janda-janda tua? Malah milihnya para gadis dan janda muda yang kinyis-kinyis dan bahenol,” sergah para anti poligami menyerang yang pro poligami.
Salah satu cerita lain yang digunakan oleh pengusung anti poligami adalah ketidak setujuan Rasulullah saat Ali bin Abi Thalib menantu beliau ditawari untuk menikahi wanita lain selain putri kesayangan beliau Fatimah Azzahra ra. Maka Rasulullah menolak rencana tersebut dengan kalimat yang cukup tegas dalam sebuah riwayat hadist.
Tambah bersorak riang tanda kemengana mereka yang anti poligami. “Nah, Rasulullah saja tidak rela putrinya dimadu. Itu berarti poligami itu menyakiti hati wanita dan keluarganya, dan itu berarti poligami bukan anjuran,” teriak para anti poligami.
Namun yang pro poligami punya argumen tambahan. “Wait… wait.. tunggu dulu. Hadist itu ada kelanjutannya dan harus tahu dulu mengapa Rasulullah menolaknya.” Memang hadist diatas ada kelanjutannya yakni
Rupanya hadist tersebut berkaitan dengan rencana pernikahan Ali bin Abi Thalib ra. dengan putri Abu Jahal yang terkenal sebagai penentang Islam pada jaman itu. Beberpa pendapat menyatakan bahwa ketidak setujuan Fatimah dan Rasulullah adalah pada nasab si wanita yang akan menjadi madunya.
Apa Kata Pak Choy
Kalau menurut saya poligami sudah jelas halal sesuai dengan ayat diperbolehkannya menikahi lebih dari diatas. Hanya perkaranya harus dikembalikan pada hakikat pernikahan itu sendiri. Dengan kata lain “Untuk apa sih kita menikah?”. Anda mungkin akan menjawab “lah ya untuk meneruskan keturunan.” Kemudian saya bilang “Kalau anaknya sudah 4 apa kemudian masih ingin poligami?” Anda mungkin juga akan menjawab “lah ya iyalah, masak sih kita seumur hidup cuman mau menu masakan semur jengkol aja sih, yang ada menu lain toh misalnya sop buntut atau rawon setan dan lontong balap.” “Lah kalau gitu tujuan menikah untuk pelampiasan nafsu sex toh?” “Lah kalau itu dihalalkan agama dan membuat kita tenang dan hidup bahagia di dunia, mengapa tidak?” Wah saya bingung untuk membuat argumentasi dan pertanyaan lainnya.
Okelah kalau begitu. Poligami itu dibutuhkan kesepakatan bersama antara suami dan istri. Selama istri rela dan ikhlas dimadu, saya kira mengapa tidak?. Go ahead dan poligami. Walaupun saya jarang menemukan istri pertama yang mau dimadu. Bagi mereka lebih baik diracun (baca: dicerai) daripada dimadu. Memang dalam Islam tidak ada syarat ijin istri sebelumnya untuk menikah lagi. Namun dalam hubungan yang saling menghormati antara sesama manusia, meminta ijin dari istri pertama buat saya suatu keharusan. Karena akan ada hak istri dan anak-anak yang akan terbagi untuk istri kedua sang suami. Hukum positif di Indonesia sudah mengaturnya dalam undang-undang perkawinan, bahwa seorang suami yang akan menikah lagi ‘wajib’ hukumnya untuk meminta ijin dari istri pertama, jika tidak, akan dikenakan hukuman kurungan penjara.
Dijaman sekarang, para wanita yang telah mandiri secara ekonomi dan tidak tergantung pada pendapatan suami, dapat membuat keputusan lebih tegas. Beberapa diantara mereka berpendapat bahwa cinta pertama yang mereka ikrarkan diharapkan menjadi cinta terakhir sampai mati. Istilahnya cinta setia sampai mati alias cinta mati. Jadi jika sang suami mau menikahi wanita lain apapun alasannya, itu sama dengan penghianatan cinta.
Namun ada juga banyak wanita mandiri dan berpendidikan tinggi rela dan ikhlas dimadu dan menjadi madu. Bagi mereka, berbagi suami dengan wanita lain sudah sunnatullah. Mereka tidak mau egois dengan menyimpan kebahagian hidup bersama seorang pria yang bisa memberikan nafkah lahir dan bathin. Bagia mereka, akan sangat bahagia juga jika ada wanita yang mendapatkan kebahagiaan yang sama dari pria yang notabene adalah suaminya. Mereka juga percaya bahwa poligami yang baik akan membuka pintu rejeki dan keridhaan Allah, sehingga berharap diterima sebagai amalan yang baik dan kelak nanti mendapatkan balasan surga. Biasanya hal ini terjadi pada suami yang sholeh dan istri yang sholehah dengan tujuan yang mulia. Hanya Allah saja yang tahu niat setiap amal manusia.
Kemudian anda bertanya kepada saya, kalau gitu apakah Pak Choy juga mau berpoligami?
Saya kemudian akan berpura-pura berfikir keras lalu berkata “Poligami, Siapa Takut?” sambil tolah-toleh, takut istri dengar sambil bawa AK-47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar