Cinta berpijak pada perasaan sekaligus akal sehat
Miskonsepsi
pertama yang ditentang oleh saya adalah manusia jatuh cinta dengan
menggunakan perasaan belaka. Betul, kita jatuh cinta dengan hati. Tapi
agar tidak menimbulkan kekacauan di kemudian hari, kita diharapkan
untuk juga menggunakan akal sehat. Bohong besar kalau kita bisa jatuh cinta dengan begitu saja tanpa bisa mengelak. Yang sesungguhnya
terjadi, proses jatuh cinta dipengaruhi tradisi, kebiasaan, standar,
gagasan, dan ideal kelompok dari mana kita berasal. Bohong besar pula
kalau kita merasa boleh berbuat apa saja saat jatuh cinta, dan tidak
bisa dimintai pertanggungan jawab bila perbuatan-perbuatan impulsif itu
berakibat buruk suatu ketika nanti. Kehilangan perspektif bukanlah
pertanda kita jatuh cinta, melainkan sinyal kebodohan.
Cinta membutuhkan proses
Cinta membutuhkan proses
Saya
juga menolak anggapan jika cinta bisa berasal dari pandangan pertama.
“Cinta itu tumbuh dan berkembang dan merupakan emosi yang kompleks,”.
Untuk tumbuh dan berkembang, cinta membutuhkan waktu. Jadi memang tidak
mungkin kita mencintai seseorang yang tidak ketahuan asal-usulnya
dengan begitu saja. Cinta tidak pernah menyerang tiba-tiba, tidak juga
jatuh dari langit. Cinta datang hanya ketika dua individu telah
berhasil melakukan orientasi ulang terhadap hidup dan memutuskan untuk
memilih sebagai titik fokus baru. Yang mungkin terjadi dalam fenomena
“cinta pada pandangan pertama” adalah pasangan terserang perasaan
saling tertarik yang sangat kuat-bahkan sampai tergila-gila. Kemudian
perasaan kompulsif itu berkembang jadi cinta tanpa menempuh masa jeda.
Dalam kasus “cinta pada pandangan pertama”, banyak orang tidak
benar-benar mencintai pasangannya, melainkan jatuh cinta pada konsep
cinta itu sendiri. Sebaliknya dengan orang yang benar-benar mencinta.
Mereka mencintai pasangan sebagai persolinatas yang utuh.
Cinta tidak menguasai dan mengalah, tapi berbagi
Bukan cinta namanya bila kita berkehendak mengontrol pasangan. Juga bukan
cinta bila kita bersedia mengalah demi kepuasan kekasih. Orang yang
mencinta tidak menganggap kekasih sebagai atasan atau bawahan, tapi
sebagai pasangan untuk berbagi, juga untuk mengidentifikasi diri. Bila
kita berkeinginan menguasai kekasih (membatasi pergaulannya,
melarangnya beraktivitas positif, mengatur seleranya berbusana) atau
melulu mengalah (tidak protes bila kekasih berbuat buruk, tidak
keberatan dinomorsekiankan), berarti kita belum siap memberi dan
menerima cinta.
Cinta itu konstruktif
Individu
yang mencinta berbuat sebaik-baiknya demi kepentingan sendiri sekaligus
demi (kebanggaan) pasangan. Dia berani berambisi, bermimpi konstruktif,
dan merencanakan masa depan. Sebaliknya dengan yang jatuh cinta
impulsif. Bukannya berpikir dan bertindak konstruktif, dia kehilangan
ambisi, nafsu makan, dan minat terhadap masalah sehari-hari. Yang
dipikirkan hanya kesengsaraan pribadi. Impiannya pun tak mungkin
tercapai. Bahkan impian itu bisa menjadi subsitusi kenyataan.
Cinta tidak melenyapkan semua masalah
Penganut
faham romantik percaya cinta bisa mengatasi masalah. Seakan-akan cinta
itu obat bagi segala penyakit ( panacea ). Kemiskinan dan banyak
problem lain diyakini bisa diatasi dengan berbekal cinta belaka.
Faktanya, cinta tidaklah seajaib itu. Cinta hanya bisa membuat sepasang
kekasih berani menghadapi masalah. Permasalahan seberat apapun mungkin
didekati dengan jernih agar bisa dicarikan jalan keluar. Orang yang
tengah mabuk kepayang berarti tidak benar-benar mencinta-cenderung
membutakan mata saat tercegat masalah. Alih-alih bertindak dengan akal
sehat, dia mengenyampingkan problem.
Cinta cenderung konstan
Ya,
cinta itu bergerak konstan. Maka kita patut curiga bila grafik perasaan
kita pada kekasih turun naik sangat tajam. Kalau saat jauh kita merasa
kekasih lebih hebat dibanding saat bersama, itu pertanda kita
mengidealisasikannya, bukan melihatnya secara realistis. Lantas saat
kembali bersama, kita memandang kekasih dengan lebih kritis dan
hilanglah segala bayangan hebat itu. Sebaliknya berhati-hatilah bila
kita merasa kekasih hebat saat kita berdekatan dengannya dan tidak lagi
merasakan hal yang sama saat dia jauh. Hal sedemikian menandakan kita
terkecoh oleh daya tarik fisik. Cinta terhitung sehat bila saat dekat
dan jauh dari pasangan, kita menyukainya dalam kadar sebanding.
Cinta tidak bertumpu pada daya tarik fisik
Dalam
hubungan cinta, daya tarik fisik penting. Tapi bahaya bila kita
menyukai kekasih hanya sebatas fisik dan membencinya untuk banyak
faktor lainnya.Saat jatuh cinta, kita menikmati dan memberi makna
penting bagi setiap kontak fisik. Kontak fisik, ketahuilah, hanya
terasa menyenangkan bila kita dan pasangan saling menyukai personalitas
masing-masing. Maka bukan cinta namanya, melainkan nafsu, bila kita
menganggap kontak fisik hanya memberi sensasi menyenangkan tanpa makna
apa-apa. Dalam cinta, afeksi terwujud belakangan saat hubungan kian
dalam. Sedang nafsu menuntut pemuasan fisik sedari permulaan.
Cinta tidak buta, tapi menerima
Cinta
itu buta? Tidak sama sekali. Orang yang mencinta melihat dan menyadari
sisi buruk kekasih. Karena besarnya cinta, dia berusaha menerima dan
mentolerir. Tentu ada keinginan agar sisi buruk itu membaik. Namun
keinginan itu haruslah didasari perhatian dan maksud baik. Tidak boleh
ada kritik kasar, penolakan, kegeraman, atau rasa jijik. Nafsulah yang buta. Meski pasangan sangat buruk, orang yang menjalin hubungan dengan
penuh nafsu menerima tanpa keinginan memperbaiki. Juga meninggalkan
pasangan saat keinginannya terpuaskan, hanya karena pasangan punya
secuil keburukan yang sangat mungkin diperbaiki.
Cinta memperhatikan kelanjutan hubungan
Orang
yang benar-benar mencinta memperhatikan perkembangan hubungan dengan
kekasih. Dia menghindari segala hal yang mungkin merusak hubungan.
Sebisa mungkin dia melakukan tindakan yang bisa memperkuat,
mempertahankan, dan memajukan hubungan. Orang yang sedang tergila-gila
mungkin saja berusaha keras menyenangkan kekasih. Namun usaha itu
semata-mata dilakukan agar kekasih menerimanya, sehingga tercapailah
kepuasan yang diincar. Orang yang mencinta menyenangkan pasangan untuk
memperkuat hubungan.
Cinta berani melakukan hal menyakitkan (demi yang dicintai)
Selain berusaha menyenangkan kekasih, orang yang
sungguh-sungguh mencinta memiliki perhatian, keprihatinan, pengertian,
dan keberanian untuk melakukan hal yang tidak disukai kekasih demi
kebaikan. Seperti seorang ibu yang berkata “tidak” saat anaknya minta
es krim, padahal sedang flu. Begitulah kita semua seharusnya bersikap
pada pasangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar