Melahirkan Kembali Cinta yang Sudah Mati (Reborn Love)
Pepatah menuliskan, “Air susu di balas dengan air tuba”. Kalimat ini mengingatkan kita bahwa tantangan cinta adalah kebencian. Untuk mengatasi kebencian diperlukan cinta.
Membalas kejahatan dengan kebaikan adalah panggilan kita untuk orang-orang yang kita kasihi. Kita menjadi orang tua atau suami (istri) untuk pasangan kita adalah untuk menyelamatkan, bukan “membuang” anak atau pasangan yang sedang tersesat hidupnya
Reborn Love
Kadang tidak mudah untuk kembali pada cinta pertama yang sudah rusak atau retak akibat pengkhianatan. Karena itu perlu melahirkan ulang cinta yang baru (reborn love). Pasangan belajar jatuh cinta lagi seperti dulu saat pacaran. Kalau berhasil, ini malah bisa melampaui cinta pertama.
Satu kasus yang kami tangani selama 3 tahun menunjukkan kebenaran ini. Setelah pisah kamar selama 10 tahun, Adi dan Nina (nama bukan sebenarnya) memutuskan kembali akur.
Masalah bermula dari Nina menjumpai Adi suka tidur dengan PSK. Diantaranya adalah wanita langganan tempat Adi suka dugem. Pahitnya hati Nina karena Adi tidak segan cerita tentang perzinahannya. Menurut Adi, dia memang benci istrinya karena dominan dan sok ngatur. Dari hasil tes dengan dua psikolog ditemukan masa lalu Adi memang gelap, sudah melakukan hubungan seks dengan pembantunya sejak masih SMA.
Mereka memutuskan datang konsul membicarakan proses perceraian yang juga sudah disetujui anak-anak. Namun selama tiga tahun kami terus mencegah dan mengajarkan mereka prinsip pengampunan. Melatih mereka menimbulkan rasa cinta yang baru, demi anak cucu.
Meski hati sudah tawar bahkan pahit, Adi dan Nina percaya akan kuasa doa. Juga mereka terus membayangkan nasib anak-cucu mereka jika mereka bercerai. Puji Tuhan, akhirnya mereka berdamai. Sekarang mereka berdua sudah berdamai kembali.
Bagaimana “mencipta” ulang cinta yang sudah mati? Kita perlu membedakan antara restitusi (ganti rugi) dan retribusi (membebankan pada yang bersalah). Fokusnya pada adanya kompensasi yang positif. Sering kita memberi retribusi, seharusnya restitusi. Kadang kala pengampunan itu terlalu dini. Proses restitusi belum terjadi, dia sudah diampuni. Perbuatan itu menjadi gampang terulang, sebab yang bersalah tidak merasa perlu memberi ganti rugi.
Setiap yang akan menikah perlu sadar masuk ke dalam perkawinan bersiap membayar sejumlah risiko cinta. Ya cinta itu berisiko. Take and give. Menikah dengan orang berdosa dan tidak sempurna, pasti menimbulkan luka, dan Salah satunya mengalami penghianatan. Hanya saja sebagian orang tidak mempersiapkan kemungkinan terburuk ini. Kesediaan membayar harga, terutama saat pasangan gagal sangat penting dipelajari, terutama sebelum memasuki perkawinan.
Bagi pasangan yang harga dirinya rendah sulit membedakan antara perilaku dengan orangnya. Mereka sulit memaafkan dengan tuntas. Orang-orang dengan kepribadian inferior dan kurang matang cenderung dipenuhi dengan konflik-konflik di dalam batin yang terbawa dari masa lalu.
Ada kalanya sesudah luka terjadi dan permintaan maaf disampaikan, istri berusaha mengontrol tingkah laku suaminya dengan paksaan dan membuat suaminya kesal. Ini wajar terjadi sebab pemulihan tidak otomatis tetapi proses. Ke mana-mana suami diikuti dan dimata-matai. Ini bukan rehabilitasi, tetapi punishment (hukuman).
Suami atau istri yang terluka sering menghukum dengan harapan pasangannya tidak melakukan kesalahan yang sama. Ini salah, karena akhirnya suami atau istri tidak punya kesempatan memperbaiki diri. Tetapi itulah yang sering terjadi, pasangan dengan low self esteem punya kecenderungan untuk menghukum.
Seharusnya pasangan bersalah (berzina, misalnya) harus merasa bertanggung jawab dengan mencoba memperbaiki kerusakan. Dia harus dilatih untuk masuk dan mengerti penderitaan pasangannya (empati). Tujuannya agar dia lebih berhati-hati pada masa mendatang.
Restitusi harus ada. Ia perlu mengerti tangisan istrinya. Pada masa perbaikan ini suami harus memberi ganti rugi dengan mencoba membayangkan jika dia sendiri yang dikhianati. Suami dilatih agar memutuskan komunikasi dengan pasangan affair-nya, mengganti nomor handphone, misalnya, dan sebagainya.
Bila kemarahan istri masih ada dan luka belum sembuh, dia sulit merasakan kelembutan dan kasih suaminya. Perlu ada cara untuk menggugah cinta mereka kembali. Setelah kemarahan dilepaskan lewat proses konseling maka mereka perlu mengalirkan kasih itu kembali.
Selama proses ini, orang yang terluka melepaskan kemarahan. Tetapi tidak otomatis setelah itu bisa mencintai dan melayani pasangan. Istri butuh bukti bahwa suaminya benar-benar mengerti penderitaannya. Setelah melepaskan kemarahan perlu ada upaya restoring atau memulihkan. Salah satunya adalah mencoba mengingat hal yang baik dan positif dari pasangannya.
Membangun Dari reruntuhan
Cinta akan tumbuh sedikit demi sedikit. Tentu membutuhkan waktu. Secara logika mungkin lebih baik dan mudah membangun rumah yang baru daripada memperbaiki yang sudah rusak. Tetapi tidaklah demikian, sebab Tuhan memanggil kita setia terhadap perkawinan. Selama ada pengakuan dan pertobatan, berilah kesempatan mencipta ulang cinta itu. Ada anugerah Tuhan yang berlimpah untuk itu.
Agar suami mendapatkan respon yang positif yang sehat, baik dari istri atau anak, maka dialah yang lebih dulu harus berubah. “Sing waras ngalah” demikian pepatah mengatakan.
Tetap seandainya istri belum siap, pertemuan perlu ditunda. Kalau luka masih ada tidak mungkin membangun kembali kasih itu, khususnya dalam diri si korban. Kecuali si suami datang dengan kasih yang lebih dalam dan sungguh-sungguh berubah.
Setelah itu barulah mereka diberikan kesempatan membangun kembali rumah nikah yang nyaris roboh itu. Mereka belajar lagi berbagi pengalaman dan memulihkan rasa terhubung dan saling membutuhkan, membangun kembali rasa percaya. Tentu saja, tidak semudah sebelum ada masalah.
Tak jarang korban sering terkenang kembali pada trauma pengkhianatan pasangannya. Kita perlu ingatkan pada istri bahwa keraguannya terhadap suami justru bisa mendorong suaminya menyeleweng lagi, sebab suami merasa sia-sia berubah dan berbuat baik. Ingatkan klien jangan sampai menyindir suami atau mengata-ngatainya. Bagaimanapun dalam proses pemulihan ini perlu anugerah Tuhan agar istri diberikan spirit pengampunan. Kalau tidak, akan sulit melakukannya.
Saat kejatuhan pasangan Anda membutuhkan empati, kerelaan masuk ke dalam dunia suami atau istri anda yang jatuh. Ingat, tidak pernah ada orang yang normal dengan sengaja dan berencana sejak awalnya akan berzinah atau berselingkuh. Tidak ada. Umumnya perzinahan terjadi dalam proses “kecelakaan” alias tergelincir.
Perkawinan adalah sebuah sistem, di dalamnya ada interaksi suami-istri. Jika sistem tidak sehat dan tidak jalan baik, maka salah satu atau keduanya bisa “sakit”. Melihat pasangan yang “hilang” sebagai korban sangat membantu. Bukan melihat kejatuhannya sebagai sebuah kejahatan kriminal yang harus dihukum. Jangan!
Anda bisa mulai dengan pernyataan: “Pa/Ma, aku sadar ada andilku dalam kejatuhanmu, maafkan aku. Mari kita perbaiki hubungan ini bersama-sama”. Dengan demikian pasangan tidak merasa sebagai “terdakwa” yang sedang menghadapi hakim atau jaksa yang siap menjatuhkan vonis.
Rehabilitasi. Anda sebagai pasangan perlu merehabilitasi atau memperbaiki nama baik. Bukan malah menyebarkan berita kejatuhan pasangan kesana-kemari. Kecuali pada konselor dan orang dewasa yang bisa membantu Anda ke arah yang lebih baik. Setiap kita dipanggil menjadi semacam advokat atau pembela bagi suami atau istri kita masing-masing. Kasih menutupi kesalahan, demikian Firman Tuhan. Kasih itu sabar dan siap menanggung kesalahan orang yang kita cintai.
Cinta itu Mengampuni
Cinta sejati harus menang atas kebencian. Kita dipanggil untuk mengampuni pasangan yang melakukan penyelewengan. Anak memaafkan orang tua yang melakukan kekerasan, dan orang tua menerima kembali anak yang memberontak.
Seorang bijak berkata “mengampuni seperti bunga Natnitnole yang memberikan keharumannya kepada orang yang menginjaknya.” Suatu analogi yang mantap. Kalimat ini baik kita camkan bersama: Kasihilah musuh musuhmu dan berdoalah bagi mereka. Sifat agung demikian tidak ada pada setiap orang, hanya pada mereka yang mengenal arti cinta dan kebenaran.
Masalahnya, untuk memaafkan kita perlu stok cinta. Bila kita yang dibesarkan dengan kasih sayang yang minim, kita akan punya kesulitan besar saat mengaplikasikannya. Masalah utama klien kami bukanlah pada berapa banyak luka yang dialami, tetapi berapa banyak stok cinta yang tersedia pada yang melukai.
Dalam hidup kebaikan kita tidak selalu akan dibalas dengan kebaikan pula. Tapi kita harus memilih, tetap berbuat baik atau berhenti. Setiap pilihan ada konsekuensinya. Orang terdekat kita tidak selalu pasti berbuat baik, sebaliknya ada yang melemparkan air comberan kepada kita.
Tapi kita harus memilih, apakah membalasnya dengan “air comberan” juga atau memberikannya”minyak wangi” yang harum. Bila kita membalas kejahatan dengan kebaikan, ada kuasa yang menyertainya.
Kuasa pengampunan tak selalu cepat hasilnya. Tetapi meski lambat, dampaknya akan lama sekali, seumur hidup anak dan pasangan yang kita kasihi. Itulah yang Penulis rasakan saat merenungkan kembali kisah anak yang hilang, dalam tulisan seorang tabib bernama Lukas.
Johan Arnold memberikan definisi memaafkan adalah ”pintu perdamaian dan kebahagiaan. Pintu itu kecil, sempit dan tidak dapat dimasuki tanpa membungkuk.” Benar sekali. Kalau mau menjadi pribadi yang bahagia dan penuh damai, milikilah roh yang memaafkan.
Hati yang tidak memaafkan seperti penjara yang membelenggu jiwa seseorang. Penjara itu kejam sekali karena dapat merampas seluruh kebahagiaan hidup. Namun untuk punya jiwa memaafkan tidak mungkin tanpa kesediaan merendahkan diri, atau mengosongkan diri. Kristus sudah menjadi contoh klasik. Untuk mendamaikan kita dengan diri-Nya, Dia turun menjadi manusia, sama seperti kita. Dia merendahkan diri-Nya bahkan sampai mati di atas kayu salib.
Proses Memaafkan
Bagi beberapa orang hal-hal kecil tidak usahlah dianggap masalah. Meski dia dirugikan, dia anggap sepele. Para pria merasionalisasikan masalah dengan menganggapnya “tidak ada masalah”. Sedangkan para wanita berusaha menekan sakit hatinya. Akibatnya terjadilah rekonsiliasi yang semu, seakan-akan sudah selesai, padahal belum.
Suami berkata, ”Sudahlah Ma, yang itu tidak usah dipermasalahkan.” Pada sebagian kasus lain ada yang melakukan penyangkalan atau denial. Istri berkata mengatakan, “O itu Pa, sudah tidak apa-apa kok!” Sang istri menyangkal bahwa dia terluka. Kadang kala malah ada istri yang tidak bersalah tetapi mencoba minta maaf pada suami. Tujuannya adalah meminimalkan masalah. Ini merupakan contoh rekonsiliasi yang salah.
Kebiasaan menekan dan menyangkal masalah ini biasanya terjadi secara tidak disadari. Kita sering tidak bisa membedakan antara motivasi dengan akibat. Kita jangan hanya melihat motivasinya, tetapi juga impaknya. Misalnya, jika istri Anda mengatakan dia merasa sakit hati sekali karena perkataan Anda yang kasar, jangan nggak ada apa-apa, lalu menghindarkan diskusi. Dampaknya bisa membuat istri Anda tidak bisa tidur. Suami sih bisa tenang-tenang saja.
Cara terbaik adalah, masing-masing harus mencari titik kesalahan itu. Ungkapkan hal-hal yang subtle (tersembunyi). Jangan sampai nanti sudah menumpuk atau malah keluar di depan orang lain. Karena tidak berani menegur pasangan secara langsung, tanpa sadar kekesalan itu muncul saat kumpul bersama keluarga.
Agar terjadi proses memaafkan yang benar, maka perlu membuat aturan yang sewajarnya. Siapa yang melanggar aturan harus minta maaf. Sedangkan yang dimintai maaf, harus dimaafkan. Terkadang sulit untuk membuktikan kesalahan. Sebab yang bersalah merasa tidak bersalah.
Hal lain adalah sering kita tidak menyukai tingkah laku anak atau pasangan kita, tapi tergoda tidak suka pada orangnya. Jika kita menggugat pribadinya tentu iini tidak adil. Sebab yang tidak kita sukai adalah tingkah lakunya, bukan orangnya. Misalnya istri pernah memergoki suami menyeleweng dengan pembantu. Suami sudah meminta maaf, ya sudah. Jangan sampai sesudah proses perdamaian itu setiap kali istri istri melihat pembantu (yang baru) melayani di meja makan hatin masih dililit benci kepada suami dan pembantu yang baru tersebut.
Pengampunan membutuhkan pengorbanan, dari orang yang memaafkan untuk orang yang dimaafkan. Penyangkalan diri, pengakuan bahwa kita ikut bertanggungjawab terhadap masalah yang terjadi, menjadi bagian penting dalam proses memaafkan dan menerima maaf. Salah satu filsafat Jawa, “sing waras ngalah” kiranya menguatkan hal ini. Tak ada jalan lain untuk berdamai dengan seseorang yang kita kasihi, kecuali dengan mengalah, menyangkal diri, dan rela berbagi pengampunan.
Kebencian dan kemarahan yang tersimpan bisa menimbulkan banyak akibat buruk, termasuk berbagai penyakit, dalam tubuh kita. Saya teringat pepatah Cina mengatakan. ”Orang yang mau membalas dendam, harus menggali dua lubang kubur.” Atau pepatah Indonesia yang terkenal, ”Bagi orang yang ribut, menang jadi arang, kalah jadi abu.” Tidak ada gunanya balas dendam. Sebaliknya, ampunilah!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar