Sejak pengujung abad yang lalu hingga sekarang, diskursus mengenai
pemimpin atau kepemimpinan mencuat ke permukaan. Ada dua penyebabnya.
Pertama, banyak pemimpin dalam berbagai bidang terlibat pelanggaran
moral. Kedua, mungkin karena usianya yang makin menua, dunia kita
sekarang tak kuasa lagi melahirkan pemimpin-pemimpin besar (great leader) seperti pada masa-masa terdahulu.
Kenyataan ini dikeluhkan oleh Jeremie Kubicek (2011) dalam bukunya yang kontroversial, "Leadership is Dead: How Influence is Riviving it"(kepemimpinan telah mati: bagaimana pengaruh yang merupakan inti
kepemimpinan bisa dihidupkan kembali). Dikatakan, pemimpin sekarang
lebih banyak menuntut (getting), bukan memberi (giving), menikmati (senang-senang), bukan melayani (susah-payah), dan banyak mengumbar janji, bukan memberi bukti.
Dalam fikih politik Islam, moral yang menjadi dasar kebijakan dan tindakan pemimpin adalah kemaslahatan bangsa. Dikatakan tasharruf al-imam `ala al-ra`iyyah manuthun bi al-mashlahah
(tindakan pemimpin atas rakyat terikat oleh kepentingan atau
kemaslahatan umum). Jadi, pemimpin wajib bertindak tegas demi kebaikan
bangsa, bukan kebaikan diri dan kelompoknya semata.
Kaidah ini
diturunkan dari moral kepemimpinan Nabi SAW seperti disebutkan dalam
Alquran. Firman Allah, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul
dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS al-Taubah [9]: 128).
Ada
tiga sifat (moral) kepemimpinan Nabi SAW berdasarkaan ayat di atas.
Pertama, azizin alaihi ma anittum (berat dirasakan oleh Nabi penderitan
orang lain). Dalam bahasa modern, sifat ini disebut sense of crisis,
yaitu kepekaan atas kesulitan rakyat yang ditunjukkan dengan kemampuan
berempati dan simpati kepada pihak-pihak yang kurang beruntung.
Secara
kejiwaan, empati berarti kemampuan memahami dan merasakan kesulitan
orang lain. Empati dengan sendirinya mendorong simpati, yaitu dukungan,
baik moral maupun material, untuk mengurangi derita orang yang
mengalami kesulitan.
Kedua, harishun `alaikum (amat sangat berkeinginan agar orang lain aman dan sentosa). Dalam bahasa modern, sifat ini dinamakan sense of achievement,
yaitu semangat yang mengebu-gebu agar masyarakat dan bangsa meraih
kemajuan. Tugas pemimpin, antara lain, memang menumbuhkan harapan dan
membuat peta jalan politik menuju cita-cita dan harapan itu.
Ketiga,
raufun rahim (pengasih dan penyayang). Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Nabi Muhammad SAW adalah juga pengasih
dan penyayang. Orang-orang beriman wajib meneruskan kasih sayang Allah
dan Rasul itu dengan mencintai dan mengasihi umat manusia. Kasih sayang
(rahmah) adalah pangkal kebaikan. Tanpa kasih sayang, sulit dibayangkan
seseorang bisa berbuat baik. Kata Nabi, “Orang yang tak memiliki kasih
sayang, tak bisa diharap kebaikan darinya.”
Bagi ulama besar
dunia, Rasyid Ridha, tiga moral ini wajib hukumnya bagi pemimpin.
Karena, tanpa ketiga moral ini, seorang pemimpin, demikian Ridha, bisa
dipastikan ia tidak bekerja untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan
diri, keluarga, dan kelompoknya saja. Maka, betapa pentingnya moral
pemimpin. Wallahu a`lam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar