Ngesot

Banyak di antara kita yang berpikir horror, ketika melihat judul di atas. Persis seperti anak saya. Tahunya suster ngesot. Horror yang dibuat-buat. Maunya nakut-nakutin tapi malah sebaliknya. Ketawa. Lah wong nggak pantes. Nggak nakutin. Tekniknya kurang yahud. Malah kelihatan lucu. Lagian nontonnya rame-rame, trus siang bolong pisan. Mau njerit takut malu. Akhirnya ditahan. Dan nggak seru jadinya kan?

Di perempatan lampu merah Jakarta, tak jarang kita temui peminta-minta yang berjalan ngesot. Ini bukan untuk hiburan. Tapi untuk menarik perhatian. Gayanya dimaksudkan agar orang yang melihatnya iba. Trenyuh. Terus melempar recehan sebagai simpatinya. Semakin menjiwai, semakin menarik pikirnya. Hingga harapan memperoleh uang akan lebih banyak. Sebab semakin banyak yang tidak tega melihatnya. Ini potret sungguhan. Asli tapi palsu. Tipuan kehidupan. Lho kok bisa? Ya, karena tuntutan. 

Sebenarnya mereka tidak ngesot beneran. Itu hanya trik, untuk menarik empati sesama. Karena mereka sudah nawaitu menjadikan pengemis sebagai profesi. Sehingga, apapun dilakukan agar posisinya itu tak tergusur. Maka berlombalah mereka berperan ngesot untuk menguras welas asih kita. Karena nota bene pengemis semakin banyak. Jadi harus ada cara untuk tetap eksis menjadi pengemis professional. Yang tahan banting dan tahan cuaca. Nggak panas, nggak hujan mereka tetep tinggal di tepi jalan sambil mengulurkan tangan dan mengharap lemparan coin dari pengendarai kendaraan. Seraya membalut tubuhnya dengan perban dan olesan obat merah, kecap bahkan betadine. Dan anehnya itu ternyata masih mampu mengaduk-aduk sanubari kita. Untuk berbagi suka dengan mereka. Tak mengapa. Itu manusiawi. Bahkan mungkin berbahaya jika kita tidak punya rasa empati melihat sketsa penderitaan seperti itu. Walaupun palsu. Itu tak penting. Yang jelas, kita harus bisa mengalihkan perhatian kita dari cerita ngesot boongan menuju cerita ngesot yang sebenarnya. Apa ada?



Dari Abu Hurairoh r.a., bahwasanya Rasululloh SAW bersabda;”Seandainya manusia mengetahui pahala yang ada pada adzan dan shaf pertama kemudian mereka tidak mendapatkannya kecuali mengundi, niscaya mereka akan melakukan undian, dan seandainya mereka mengetahui pahala di dalam Tahjir (sholat dhuhur awal) niscaya mereka sama berlomba mendapatkannya, dan seandainya mereka mengetahui pahala di dalam sholat atamah (isya’ akhir) dan sholat shubuh niscaya mereka akan mendatangi keduanya walaupun dengan cara ngesot.” (Rowahu Bukhori Kitabu al-Adzan)

Jadi apa persepsi kita tentang ngesot sekarang? Akankah kita akan menjalani laku ngesot seperti cerita gelandangan di atas? Tentu tidak. Gambaran di atas bisa menjadi cambuk buat kita untuk bisa memahami hadist di atas dengan baik dan benar. Umumnya kita sepakat bahwa kenapa kita iba melihat gelandangan ngesot? Karena kasihan melihat mereka telah mengerahkan segala upadaya untuk sekedar mengais rejeki agar bisa hidup di dunia ini. Mereka lumpuh. Cacat. Tidak lengkap anggota tubuhnya. Berpenyakit. Kasihan bukan? Sedangkan yang lain kadang tinggal teken dapat duit jutaan, bahkan milyaran. Tak perlu berngesot ria. Tak perlu berpanas-panas. Jika kita telah memahami hal ini dengan paripurna, kita akan bisa mengerti kenapa Nabi SAW sampai berucap kata ngesot.

Rasululloh SAW berharap kepada seluruh umatnya agar mereka mengerahkan segala daya dan upaya untuk memperebutkan pahala. Jangan sampai ada yang tertinggal. Jangan sampai ada yang tidak kebagian. Segala cara harus ditempuh. Dan seandainya dia tidak bisa berjalan, harus diusahakan tetap bisa datang dan memperebutkannya walaupun dengan ngesot. Ini adalah pungkasan. Akhir, esok tidak ada lagi. Itulah spirit yang tersirat. Tetapi hanya tersirat. Masih banyak kabut yang menutupi mata hati kita sehingga belum tergugah memiliki semangat puputan.

Masih ada dari kita yang ketika mendengar adzan malah mangkir. TV sih, dimatikan. Tapi tidak segera ambil air wudhu, malah nyambi yang lain. Akhirnya sholatnya pun molor, karena menghindari adzan. Belum banyak cerita orang rebutan shaf pertama. Biasanya kalau disuruh maju, malah anjit-anjiten. Saling tunjuk, kayak anggota DPR. Padahal pahalanya pol. Kalau perlu diundi, kata Nabi. Jangankan diundi, orang jelas-jelas kosong disuruh ngisi aja masih ogah. Katanya nggak pantes saya di shaf pertama. Loh, loh, loh,……Panas, katanya. Oalah……! Padahal kipasnya muter, angin bertebar ke mana-mana. Ada lagi yang udah pakai AC. Terus alesan apa? Apalagi merlu-merlukan datang untuk sholat berjamaah. Yang rumahnya dekat masjid saja males, apalagi yang jauh. Terus hidup itu untuk apa?

Orang iman itu gandengannya ya amal sholeh, buahnya pahala. Yang dicari itu surga. Lha, kalau semua jalan mendapatkan pahala dengan amal sholih masih pilih – pilih, terus mau pilih yang mana? Apa mau kita pilih ngesot beneran seperti cerita gelandangan itu? Naudzubillah min dzalik. Jangan sampai kinayah yang diberikan Nabi menjadi kenyataan dalam kehidupan kita. Makanya, biar tidak jadi ngesot, bersegeralah ketika mendengar adzan mendatangi masjid dan memperebutkan shaf yang pertama. Laksanakan sholat pada waktunya dan sering –seringlah berjamaah.

Kalau belum yakin, datangi dan pandangilah berlama-lama orang-orang yang ngesot di pinggir jalan itu. Insya Allah, Allah paring kepahaman betapa mulianya kita. Dan betapa banyak hal yang sia – sia. Kobarkanlah semangat berngesot ria dalam mencari pahala. Lho……….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar