Nabi bersabda, ''Saling
memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.'' (HR
Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi). Ya, tumbuhnya rasa saling cinta
antarsesama Muslim itulah yang dikehendaki di balik hadiah yang
diberikan. Bukan hal lain. Bukan karena mengharap agar dibebaskan dari
perkaranya, atau mengharap keluarnya izin proyek yang sedang dia garap,
atau dinaikkan pangkat dan jabatannya, atau harapan-harapan lain yang
bersifat duniawi bercampur syubhat dan kezaliman.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, disebutkan gratifikasi adalah uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Meski berjudul 'hadiah', namun hadiah yang ini bukanlah hadiah yang dimaksud oleh Rasulullah SAW. Hadiah yang dianjurkan adalah hadiah yang diberikan atas dasar cinta dan penghargaan serta ikhlas karena Allah semata.
Gratifikasi bukanlah hadiah yang dianjurkan, apalagi dihalalkan. Bahkan, gratifikasi haram hukumnya. Islam melarang kita menerima hadiah semacam itu.
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. menugaskan seorang lelaki dari suku Asad yang bernama Ibnu Lutbiah Amru serta Ibnu Abu Umar untuk memungut zakat. Ketika telah tiba kembali, ia berkata: Inilah pungutan zakat itu aku serahkan kepadamu, sedangkan ini untukku yang dihadiahkan kepadaku. Lalu berdirilah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. di atas mimbar kemudian memanjatkan pujian kepada Allah, selanjutnya beliau bersabda: Apakah yang terjadi dengan seorang petugas yang aku utus kemudian dia kembali dengan mengatakan: Ini aku serahkan kepadamu dan ini dihadiahkan kepadaku! Apakah dia tidak duduk saja di rumah bapak atau ibunya sehingga dia bisa melihat apakah dia akan diberikan hadiah atau tidak. Demi Tuhan Yang jiwa Muhammad berada dalam tangan-Nya! Tidak seorang pun dari kamu yang mengambil sebagian dari hadiah itu, kecuali pada hari kiamat dia akan datang membawanya dengan seekor unta yang melenguh di lehernya yang akan mengangkutnya atau seekor sapi yang juga melenguh atau seekor kambing yang mengembek. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami dapat melihat warna putih ketiaknya. Kemudian beliau bersabda: Ya Allah, bukankah telah aku sampaikan. Beliau mengulangi dua kali. (Shahih Muslim No. 3413)
Imam An-Nawawi berkata, ''Dalam hadis ini terdapat penjelasan bahwasanya hadiah untuk para pekerja adalah haram hukumnya dan termasuk tindakan korupsi (ghulul). Sebab, ia telah mengkhianati wewenang dan amanatnya.''
Selanjutnya, Imam An-Nawawi juga menjelaskan sebab diharamkannya hadiah semacam ini adalah karena itu berkaitan dengan pekerjaannya. Adapun hadiah yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan seseorang, maka yang seperti ini adalah mustahabbah (disukai).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al Asqlani juga mengisahkan dalam Fathul Bari-nya, bahwa Khalifah Umar bin Abdil Aziz pernah mengembalikan buah apel yang diberikan kepadanya, padahal waktu itu beliau sedang menginginkannya. Ketika dikatakan kepada beliau bahwa Nabi SAW, Abu Bakar, dan Umar tidak menolak hadiah, beliau berkata, “Hadiah pada zaman mereka adalah hadiah. Adapun hadiah pada hari ini adalah suap”.
Hadiah Untuk Pejabat
Salah satu lubang korupsi adalah hadiah untuk pejabat negara atau pejabat publik.
Tradisi menyajikan persembahan kepada pembesar, penguasa atau pejabat negara ini tidak ragu lagi merupakan bagian dari budaya dan sistem kekuasaan feodal jahiliyah. Dalam anggapan masyarakat ini, penguasa adalah inkarnasi atau perwujudan dari dewa yang maha kuasa. Perkenan raja adalah perkenan dewa. Maka untuk merebut hati dewa, cukuplah bagi rakyat merebut perkenan raja. Cara yang paling effektif untuk itu, tentu saja, adalah dengan memberikan persembahan kepadanya.
Kekuasaan raja dengan sendirinya melimpah juga ke segenap para pejabat kerajaan; dari patih yang tertinggi sampai keucik atau lurah di desa-desa. Masing-masing dalam kenyataannya memang memiliki dan memainkan kekuasaan sesuai dengan porsinya. Karena tidak mungkin semua rakyat datang langsung ke raja, maka cukuplah hadiah itu dipersembahkan kepada para pejabat yang ada dibawahnya.
Dengan mempersembahkan hadiah atau hibah, atau apa pun namanya, kepada pejabat, sudah barang tentu si pemberi akan mendapatkan simpati dari padanya. Bagi siapa pun simpati seorang pejabat atau penguasa adalah modal yang sangat berharga. Dengan investasi simpati itulah yang bersangkutan akan dapat nyadong, atau mengharap, limpahan pertolongan (syafa’at) dari si pejabat atau penguasa tadi.
Pertolongan yang diharapkan melimpah dari penguasa itu bisa macam-macam, mulai dari yang murah dan sederhana, misalnya sekedar didatangi pada saat punya gawe, sampai yang tidak sederhana. Yang terakhir ini, khususnya yang sangat diincar atau tepatnya ditamaki oleh para penguasa adalah proyek yang bernilai ratusan juta, milyaran atau bahkan trilyunan seperti halnya “nyanyian NAZARUDIN” yang kini tengah mengancam partai Penguasa Negeri ini.
Dengan itung-itungan dagang, hibah kepada pejabat atau penguasa sama sekali masuk di akal; seorang pengusaha, katakanlah kontraktor, dengan memberikan hadiah senilai jutaan, atau milyaran, akan tetapi dengan itu mendapatkan proyek bernilai milyaran atau trilyunan, sangatlah reasonable. Inilah praktek atau taktik dagang yang sangat lazim dilakukan oleh para pangusaha di negeri ini. Inilah yang sesungguhnya disebut dengan kolusi.
Dengan demikian, jelas kiranya bahwa hibah atau hadiah yang diberikan kepada pejabat pastilah bukan hibah atau hadiah biasa. Ia berbeda sengan hibah atau hadiah seorang ayah kepada anaknya atau seorang suami kepada istrinya, atau seorang kawan kepada karibnya. Hibah kepada pejabat bukanlah hibah yang ditujukan kepada pribadi si pejabat itu, misalnya si Joni atau si Jono, melainkan lebih kepada jabatannya. Pikirkan kalau si Jono atau si Joni itu rakyat biasa tanpa jabatan apa-apa, apakah mereka akan datang kepadanya dengan membawa hadiah-hadiah itu?
Oleh sebab itu hibah kepada pejabat, disadari atau tidak, adalah suap terselubung. Dalam sebuah hadits Rasulullah menegaskan, bahwa “hadaaya al-ummal ghulul/ hadiah untuk pejabat adalah koruptif, merusak masyarakat”. Sebagai suap, maka hadiah kepada pejabat dapat mendatangkan kutukan Tuhan, baik terhadap yang memberi maupun yang menerima, dan kalau ada juga perantara.
Barangkali akan muncul pertanyaan Fiqh, apakah dengan demikian seseorang yang tengah memangku jabatan tidak boleh menerima hadiah apa pun dengan dalih apapun? Para ulama punya jawaban: Seseorang yang tengah memangku jabatan publik boleh-boleh saja menerima hadiah, dengan catatan:
1. Hadiah diberikan oleh orang yang pernah memberikan hal yang sama sebelum menjabat.
2. Hadiah diberikan dalam jumlah atau harga yang tidak melebihi jumlah atau harga dari hadiah-hadiah yang pernah diberikan sebelum menjabat. Walhasil, hadiah tidak diberikan kepada si pejabat sebagai pejabat, melainkan semata sebagai individu.
Oleh sebab itu, di negara-negara lain yang sudah lebih tertata, ada undang-undang tersendiri yang mengatur perihal hadiah untuk para pejabat ini. Antara lain di sana ditetapkan jumlah (nilai) hadiah yang boleh diterima oleh seseorang pejabat. Jika hadiah itu mengandung nilai jual yang melebihi ketetapan undang-undang, maka hadiah tersebut harus diserahkan kepada negara sebagai kekayaan publik.
(Mohon maaf penulis tidak sependapat dengan atura tindak gratifikasi yang diatur dalam UU 31/1999 dan UU 20/2001, setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap, namun ketentuan yang sama tidak berlaku apabila penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan wajib dilaporkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima).
Hal ini dikarenakan dahulu Ibnu Lutbiah Amru serta Ibnu Abu Umar pun telah melaporkan kepada Nabi tentang hadiah yang ia terima dari penduduk yang menyerahkan zakatnya dan saat itu oleh Nabi menanggapi seraya bersabda (''Kenapa kamu tidak duduk saja di rumah orang tuamu, lalu kamu lihat apakah ada orang yang memberikan hadiah kepadamu atau tidak? “Demi Tuhan Yang jiwa Muhammad berada dalam tangan-Nya! Tidak seorang pun dari kamu yang mengambil sebagian dari hadiah itu, kecuali pada hari kiamat dia akan datang membawanya dengan seekor unta yang melenguh di lehernya yang akan mengangkutnya atau seekor sapi yang juga melenguh atau seekor kambing yang mengembek. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami dapat melihat warna putih ketiaknya. Kemudian beliau bersabda: Ya Allah, bukankah telah aku sampaikan. Beliau mengulangi dua kali”) (Shahih Muslim No. 3413)
Kita sebagai umat Islam tentunya harus lebih peka terhadap apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan publik, menyangkut jabatan publik. Mengingat bahwa dalam Islam jabatan dan kepentingan publik bukan hanya bermakna kepentingan rakyat, melainkan sekaligus adalah amanat Allah untuk rakyat. Berbeda dengan rakyat yang pengawasannya terbatas, pengawasan Allah kepada kita tidaklah terbatas. Baik ketika kita sendirian maupun dalam keramaian
M. ARI SULTONI, SH
(Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Padang &
Sekretaris DPD Lembaga Dakwah Islam Indonesia Prov. Sumbar )
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, disebutkan gratifikasi adalah uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Meski berjudul 'hadiah', namun hadiah yang ini bukanlah hadiah yang dimaksud oleh Rasulullah SAW. Hadiah yang dianjurkan adalah hadiah yang diberikan atas dasar cinta dan penghargaan serta ikhlas karena Allah semata.
Gratifikasi bukanlah hadiah yang dianjurkan, apalagi dihalalkan. Bahkan, gratifikasi haram hukumnya. Islam melarang kita menerima hadiah semacam itu.
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. menugaskan seorang lelaki dari suku Asad yang bernama Ibnu Lutbiah Amru serta Ibnu Abu Umar untuk memungut zakat. Ketika telah tiba kembali, ia berkata: Inilah pungutan zakat itu aku serahkan kepadamu, sedangkan ini untukku yang dihadiahkan kepadaku. Lalu berdirilah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. di atas mimbar kemudian memanjatkan pujian kepada Allah, selanjutnya beliau bersabda: Apakah yang terjadi dengan seorang petugas yang aku utus kemudian dia kembali dengan mengatakan: Ini aku serahkan kepadamu dan ini dihadiahkan kepadaku! Apakah dia tidak duduk saja di rumah bapak atau ibunya sehingga dia bisa melihat apakah dia akan diberikan hadiah atau tidak. Demi Tuhan Yang jiwa Muhammad berada dalam tangan-Nya! Tidak seorang pun dari kamu yang mengambil sebagian dari hadiah itu, kecuali pada hari kiamat dia akan datang membawanya dengan seekor unta yang melenguh di lehernya yang akan mengangkutnya atau seekor sapi yang juga melenguh atau seekor kambing yang mengembek. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami dapat melihat warna putih ketiaknya. Kemudian beliau bersabda: Ya Allah, bukankah telah aku sampaikan. Beliau mengulangi dua kali. (Shahih Muslim No. 3413)
Imam An-Nawawi berkata, ''Dalam hadis ini terdapat penjelasan bahwasanya hadiah untuk para pekerja adalah haram hukumnya dan termasuk tindakan korupsi (ghulul). Sebab, ia telah mengkhianati wewenang dan amanatnya.''
Selanjutnya, Imam An-Nawawi juga menjelaskan sebab diharamkannya hadiah semacam ini adalah karena itu berkaitan dengan pekerjaannya. Adapun hadiah yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan seseorang, maka yang seperti ini adalah mustahabbah (disukai).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al Asqlani juga mengisahkan dalam Fathul Bari-nya, bahwa Khalifah Umar bin Abdil Aziz pernah mengembalikan buah apel yang diberikan kepadanya, padahal waktu itu beliau sedang menginginkannya. Ketika dikatakan kepada beliau bahwa Nabi SAW, Abu Bakar, dan Umar tidak menolak hadiah, beliau berkata, “Hadiah pada zaman mereka adalah hadiah. Adapun hadiah pada hari ini adalah suap”.
Hadiah Untuk Pejabat
Salah satu lubang korupsi adalah hadiah untuk pejabat negara atau pejabat publik.
Tradisi menyajikan persembahan kepada pembesar, penguasa atau pejabat negara ini tidak ragu lagi merupakan bagian dari budaya dan sistem kekuasaan feodal jahiliyah. Dalam anggapan masyarakat ini, penguasa adalah inkarnasi atau perwujudan dari dewa yang maha kuasa. Perkenan raja adalah perkenan dewa. Maka untuk merebut hati dewa, cukuplah bagi rakyat merebut perkenan raja. Cara yang paling effektif untuk itu, tentu saja, adalah dengan memberikan persembahan kepadanya.
Kekuasaan raja dengan sendirinya melimpah juga ke segenap para pejabat kerajaan; dari patih yang tertinggi sampai keucik atau lurah di desa-desa. Masing-masing dalam kenyataannya memang memiliki dan memainkan kekuasaan sesuai dengan porsinya. Karena tidak mungkin semua rakyat datang langsung ke raja, maka cukuplah hadiah itu dipersembahkan kepada para pejabat yang ada dibawahnya.
Dengan mempersembahkan hadiah atau hibah, atau apa pun namanya, kepada pejabat, sudah barang tentu si pemberi akan mendapatkan simpati dari padanya. Bagi siapa pun simpati seorang pejabat atau penguasa adalah modal yang sangat berharga. Dengan investasi simpati itulah yang bersangkutan akan dapat nyadong, atau mengharap, limpahan pertolongan (syafa’at) dari si pejabat atau penguasa tadi.
Pertolongan yang diharapkan melimpah dari penguasa itu bisa macam-macam, mulai dari yang murah dan sederhana, misalnya sekedar didatangi pada saat punya gawe, sampai yang tidak sederhana. Yang terakhir ini, khususnya yang sangat diincar atau tepatnya ditamaki oleh para penguasa adalah proyek yang bernilai ratusan juta, milyaran atau bahkan trilyunan seperti halnya “nyanyian NAZARUDIN” yang kini tengah mengancam partai Penguasa Negeri ini.
Dengan itung-itungan dagang, hibah kepada pejabat atau penguasa sama sekali masuk di akal; seorang pengusaha, katakanlah kontraktor, dengan memberikan hadiah senilai jutaan, atau milyaran, akan tetapi dengan itu mendapatkan proyek bernilai milyaran atau trilyunan, sangatlah reasonable. Inilah praktek atau taktik dagang yang sangat lazim dilakukan oleh para pangusaha di negeri ini. Inilah yang sesungguhnya disebut dengan kolusi.
Dengan demikian, jelas kiranya bahwa hibah atau hadiah yang diberikan kepada pejabat pastilah bukan hibah atau hadiah biasa. Ia berbeda sengan hibah atau hadiah seorang ayah kepada anaknya atau seorang suami kepada istrinya, atau seorang kawan kepada karibnya. Hibah kepada pejabat bukanlah hibah yang ditujukan kepada pribadi si pejabat itu, misalnya si Joni atau si Jono, melainkan lebih kepada jabatannya. Pikirkan kalau si Jono atau si Joni itu rakyat biasa tanpa jabatan apa-apa, apakah mereka akan datang kepadanya dengan membawa hadiah-hadiah itu?
Oleh sebab itu hibah kepada pejabat, disadari atau tidak, adalah suap terselubung. Dalam sebuah hadits Rasulullah menegaskan, bahwa “hadaaya al-ummal ghulul/ hadiah untuk pejabat adalah koruptif, merusak masyarakat”. Sebagai suap, maka hadiah kepada pejabat dapat mendatangkan kutukan Tuhan, baik terhadap yang memberi maupun yang menerima, dan kalau ada juga perantara.
Barangkali akan muncul pertanyaan Fiqh, apakah dengan demikian seseorang yang tengah memangku jabatan tidak boleh menerima hadiah apa pun dengan dalih apapun? Para ulama punya jawaban: Seseorang yang tengah memangku jabatan publik boleh-boleh saja menerima hadiah, dengan catatan:
1. Hadiah diberikan oleh orang yang pernah memberikan hal yang sama sebelum menjabat.
2. Hadiah diberikan dalam jumlah atau harga yang tidak melebihi jumlah atau harga dari hadiah-hadiah yang pernah diberikan sebelum menjabat. Walhasil, hadiah tidak diberikan kepada si pejabat sebagai pejabat, melainkan semata sebagai individu.
Oleh sebab itu, di negara-negara lain yang sudah lebih tertata, ada undang-undang tersendiri yang mengatur perihal hadiah untuk para pejabat ini. Antara lain di sana ditetapkan jumlah (nilai) hadiah yang boleh diterima oleh seseorang pejabat. Jika hadiah itu mengandung nilai jual yang melebihi ketetapan undang-undang, maka hadiah tersebut harus diserahkan kepada negara sebagai kekayaan publik.
(Mohon maaf penulis tidak sependapat dengan atura tindak gratifikasi yang diatur dalam UU 31/1999 dan UU 20/2001, setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap, namun ketentuan yang sama tidak berlaku apabila penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan wajib dilaporkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima).
Hal ini dikarenakan dahulu Ibnu Lutbiah Amru serta Ibnu Abu Umar pun telah melaporkan kepada Nabi tentang hadiah yang ia terima dari penduduk yang menyerahkan zakatnya dan saat itu oleh Nabi menanggapi seraya bersabda (''Kenapa kamu tidak duduk saja di rumah orang tuamu, lalu kamu lihat apakah ada orang yang memberikan hadiah kepadamu atau tidak? “Demi Tuhan Yang jiwa Muhammad berada dalam tangan-Nya! Tidak seorang pun dari kamu yang mengambil sebagian dari hadiah itu, kecuali pada hari kiamat dia akan datang membawanya dengan seekor unta yang melenguh di lehernya yang akan mengangkutnya atau seekor sapi yang juga melenguh atau seekor kambing yang mengembek. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami dapat melihat warna putih ketiaknya. Kemudian beliau bersabda: Ya Allah, bukankah telah aku sampaikan. Beliau mengulangi dua kali”) (Shahih Muslim No. 3413)
Kita sebagai umat Islam tentunya harus lebih peka terhadap apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan publik, menyangkut jabatan publik. Mengingat bahwa dalam Islam jabatan dan kepentingan publik bukan hanya bermakna kepentingan rakyat, melainkan sekaligus adalah amanat Allah untuk rakyat. Berbeda dengan rakyat yang pengawasannya terbatas, pengawasan Allah kepada kita tidaklah terbatas. Baik ketika kita sendirian maupun dalam keramaian
M. ARI SULTONI, SH
(Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Padang &
Sekretaris DPD Lembaga Dakwah Islam Indonesia Prov. Sumbar )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar