Ijtihad
Ijtihad adalah terminologi yang sangat akrab ditelinga kaum muslimin.
Kata ini, dalam persepsi mereka sudah keluar dari arti asalnya,
yakni bersungguh-sungguh. Kata ijtihad sudah menjadi istilah yang
baku dalam kajian yurisprudensi Islam atau hukum fiqh Islam.
Meskipun di sana-sini, kata tersebut acapkali dipakai dalam disiplin
ilmu Islam dan ilmu sosial lain. Misalnya, ijtihad politik, ijtihad
filsafat, dan lainnya.
Berdasarkan terminologi fiqh Islam, ijtihad
mempunyai pengertian yang khas dan unik. Al-Ghazali menjelaskan
ijtihad sebagai mencurahkan segenap kemampuan dalam melakukan
sebuah perbuatan. Kemudian dia melanjutkan, tetapi kata ini
dalam uruf para ulama digunakan secara spesifik untuk seorang
mujtahid yang mencurahkan segenap kemampuannya dalam mencari ilmu
tentang hukum-hukum syariat.
Al-Dahlawi memberikan penjelasan
yang lebih tegas dan rinci dengan berkata hakikat ijtihad adalah
mencurahkan kemampuan untuk mengetahui hukum-hukum syariat dari
dalil-dalilnya yang terperinci, yang secara global kembali keempat macam
dalil Kitab, sunnah, ijma, dan qiyas.
Banyak lagi keterangan
para ulama seputar makna ijtihad, yang kesemuanya bersepakat
bahwa untuk mendapatkan hukum syariat dari sumber-sumbernya
membutuhkan kesungguhan yang maksimal. Yang diperoleh secara tegas
dari keterangan mereka adalah bahwa ijtihad bukan perbuatan yang
dilakukan sekedar membuka-buka kitab tafsir atau hadits lalu
dengan mudah ditarik sebuah kesimpulan hukum. Sebaliknya, dalam
ijtihad di butuhkan kesungguhan dan keseriusan dengan mencurahkan
segenap kemampuan dan usaha untuk mendapatkan hukum-hukum syariat.
Hal itu menunjukkan bahwa masalah ijtihad bukan perkara yang mudah,
tetapi ijtihad juga harus diupayakan pada setiap generasi, agar ajaran
Islam tetap dinamis, tidak stagnan, dan siap memberikan solusi atas
segala problematika kontemporer
Ijtihad Bukan Ra'yu
Ijtihad
dan ra'yu adalah dua kata yang memiliki makna yang berbeda. Seringkali
ra'yu dianggap sebagai ijtihad. Padahal terdapat perbedaan yang
jauh antara keduanya. Ra'yu adalah sesuatu yang dianggap oleh hati setelah
berpikir, merenung, dan mencari demi mengetahui arah yang benar. Ra'yu hanyalah hasil perenungan seseorang untuk mencari
pembenaran/justifikasi atas kelakuannya. Oleh karena itu, ra'yu sangat
subjektif dan tidak bisa di generalisasi, karena hasil perenungan dan
pikiran manusia yang bisa berbeda-beda, selain itu penetapan hukum
syariat berdasarkan ra'yu mengandung resiko yang sangat tinggi, itu sama
dengan menetapkan hukum syariat menurut hasil pikiran manusia.
Penetapan hukum berdasarkan ra'yu banyak macamnya, antara lain:
- Usaha seseorang untuk mendapatkan hukum terhadap sebuah kasus, dengan
mencari keterangan dari ayat atau hadits, setelah mendapatkan ayat
yang berkenaan dengan kasus dimaksud, segera menyimpulkan bahwa kasus
tersebut hukumnya demikian. Itu dilakukan terlepas apakah sebelumnya
ia telah melakukan kategorisasi jenis ayat atau hadits itu (apakah
bersifat umum atau khusus, nasikh atau mansukh, mutlak atau muqayyad dan
lain sebagainya), yang harus diteliti oleh seseorang yang akan masuk ke
samudera ayat dan hadits yang luas.
- Mengikuti suara hati,
berdasarkan hadits yang populer tanyalah hatimu (istafti qolbaka).
Hadits ini menganjurkan seseorang yang bimbang untuk mengerjakan suatu
perbuatan yang hukumnya mubah agar bertanya pada hatinya. Seandainya
shahih, maka setiap orang akan mempunyai hukum sendiri yang akan
berbeda dengan orang lain, tetapi namanya bukan hukum syar'i tapi
qalbi.
- Membaca sebuah ayat atau hadits tentang hukum lalu menarik sebuah kesimpulan hukum.
- Memilih satu hukum dari dua hukum untuk satu kasus berdasarkan maslahat (istihsan).
Empat contoh ini jelas bukan ijtihad dan tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum syariat.
Perbedaan lain antara keduanya adalah, ijtihad merupakan
spesialisasi yang menuntut keahlian dan penguasaan ilmu-ilmu yang
dibutuhkan untuk berijtihad. Selain itu, ijtihad dilakukan dengan
sungguh-sungguh seperti yang telah disebutkan dalam defenisinya.
Sedangkan ra'yu hanya berdasarkan pandangan seseorang yang tidak
membutuhkan spesialisasi apapun. Setiap orang bisa saja memberikan ra'yu
nya terhadap segala permasalahan politik, sosial, ekonomi, agama.
Namun pandangannya tidak valid, atau bahkan validitas pandangannya
tidak mempunyai nilai dan bobot sama sekali. Apalagi di dunia modern
ini pengetahuan (knowledge) berkembang sangat pesat dan luas sehingga
setiap bidang pengetahuan membutuhkan spesialisasi (tahkashshush), dan
pada bidang tersebut hanya orang-orang tertentu saja yang layak
memberikan pendapatnya sesuai dengan disiplin ilmu yang
dikuasainya. Tidak dibenarkan seseorang dengan spesialisasi
kedokteran berpendapat tentang konstruksi bangunan atau sebaliknya,
atau memberikan pendapat tentang filsafat yang transenden. Karena itu
berarti pelecehan terhadap ilmu pengetahuan dan penghinaan
terhadap institusi-institusi keilmuan. Demikian pula halnya ilmu fiqih
dan hukum syariat yang sumbernya adalah al-Quran dan Hadits yang sangat
luas dan kompleks. Oleh karena itu dalam menetapkan hukum syariat Islam,
tidak dibenarkan setiap orang berbicara menurut ra'yu-nya.
Hadits Muadz Bin Jabal
Untuk mencari pembenaran, ada beberapa hadits yang dianggap dapat
dijadikan sebagai alasan diperbolehkannya menggunakan ra'yu. Di
antaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari Muadz bin Jabal, hadits
yang paling populer dijadikan sebagai dasar dibenarkannya penerapan
hukum dengan ra'yu. Hadits ini di riwayatkan dalam kitab Musnad Ahmad
bin Hanbal dan Sunan al-Darimi yang bunyinya, Sesungguhnya Rasulullah
saw mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda, Bagaimana anda nanti
memberikan keputusan? Aku memberi keputusan dengan kitabullah.Bagaimana kalau tidak ada dalam kitabullah? Maka dengan sunah
Rasulullah saw.Bagaimana kalau tidak ada dalam sunah Rasulullah? Aku berusaha dengan ra'yu ku dan aku tidak akan menyerah.
Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan bersabda, segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah.
Adapun Riwayat Muadz tidak bisa dijadikan dasar (hujjah),
karena hadits ini tidak diriwayatkan kecuali dari jalur Harits bin Amr,
pribadi yang misterius (majhul). Tidak seorang pun yang mengetahui
siapa dia. Mengenai biografinya, al-Bukhari berkata, Harits tidak
dikenali kecuali dengan hadits ini saja dan haditsnya tidak shahih.
Kemudian Harits meriwayatkan dari orang-orang Himash, tidak diketahui
siapa mereka.
Kemudian jika hadits ini shahih, maka arti
ijtihad dengan ra'yu harus diartikan berijtihad dengan merujuk
ke Quran dan hadits. Atau jika hadits ini shahih, maka ada dua
kemungkinan, ijtihad dengan rayu diperuntukkan hanya untuk Muadz saja
dan yang lain harus mengitkuti ra'yu-nya, atau ijtihad ini juga
diperuntukkan untuk selain Muadz, maka setiap orang boleh menggunakan
ra'yu-nya untuk menentukan hukum. Kedua kemungkinan ini jelas tidak
logis dan tidak dapat dibenarkan. Kecuali itu, banyak hadits-hadits yang
mengecam penggunaan ra'yu, diantaranya:
- Jika agama itu didasarkan pada ra'yu, maka mengusap bagian bawah sepatu lebih pantas dari bagian atas..(8)
- Barang siapa menafsirkan ra'yu nya, maka bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka..(9)
Oleh karena fiqh atau hukum syariat adalah hukum Allah swt, maka
siapapun tidak berhak berpendapat atau menggunakan ra'yu-nya. Nabi
sendiri tidak menggunakan ra'yu dan malah beliau pun dalam masalah
syariat tidak berijtihad. Demikian itu, karena segala perbuatan dan
ucapan Nabi (sunah) merupakan pengejawantahan dari wahyu itu sendiri,
sehingga pada gilirannya sunah beliau menjadi dalil dan sumber hukum
Islam. Ijtihad hanya berlaku pada hal-hal yang belum disebutkan
secara jelas dalam al-Quran dan sunah, atau ajaran yang tidak termasuk
.al ma.lum minaddini bi al dharurah dan juga ijtihad tidak
dibenarkan jika bertentangan dengan nash (hukum yang sudah dijelaskan
dalam Quran dan sunah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar