MEMILIH PEMIMPIN MENURUT AL-QUR'AN DAN AL-HADITS

Di dalam agama Islam, pemimpin lazim disebut Ulil Amri / Amir / Imam / Sulthon / Ro'in. Sebagaimana dapat kita lihat firman Alloh Ta'alaa dalam Al-Qu'an, Surat An-Nisaa', No. Surat: 4, Ayat: 59, yang berbunyi:
Yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul (Nya), dan Ulil amri (orang yang memegang perkara) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Al-Quran) dan Rosul (Al-Hadits/sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (QS. An-Nisaa', No. Surat: 4, Ayat: 59).

Yang dimaksud dengan mengembalikan permasalahan kepada Alloh Ta’alaa adalah kembali kepada kitab Al-Qur’an. Dan kembali kepada Rosul adalah mengembalikannya kepada diri Rosululloh ketika beliau masih hidup, dan ketika beliau sudah wafat, maka kepada sunnahnya yaitu Al-Hadits. Mengembalikan kepada Alloh dan Rosul-Nya ini termasuk kewajiban dan konsekuensi iman, bila sikap mengembalikan persoalan pada Alloh dan Rosul-Nya ini hilang, maka hilang pula yang namanya keimanan.


Menurut firman Alloh Ta'alaa di atas yang dikenai hukum harus ta'at kepada Alloh, dan Rosul, Ulil Amri (Amir / Imam / Sulthon) itu ialah orang-orang iman saja, itu pun yang sudah tahu dan paham terhadap ilmu tentangnya, bukan setiap warga negara Indonesia dari latar belakang agama dan kepercayaan serta keyakinan yang berbeda-beda. Ulil Amri lahir dari Al-Qur'an, oleh karenanya Ulil Amri yang dimaksud dalam ayat tersebut jelaslah bukan seorang Presiden, Kepala Negara, seperti yang dimaksud oleh kebanyakan orang. Ulil Amri yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah Imam / Amir / Sulthon, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rosulullohi Shollallohu 'Alaihi Wasallam dalam hadits-hadits shohih, seperti Hadits Bukhori dan Muslim, yang akan saya jelaskan dengan gamblang di bawah nanti.

Wabil Khusus, untuk Presiden, Kepala Negara di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini lahir bukan dari agama Islam; Al-Qur'an dan Al-Hadits, tapi terlahir dari UUD '45 BAB III, tentang KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA, Pasal 6, ayat 1 dan 2, yang berbunyi:
(1) Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani, untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Menurut Pasal 6, ayat 1, bahwa siapa saja, dari agama apa pun bisa menjadi Presiden asal memenuhi persyaratan UUD '45, bukan berdasarkan syari'at agama Islam. Kalau yang dimaksud oleh kebanyakan orang, bahwa yang sah sebagai Ulil Amri atau Amir adalah Presiden "SBY" dan atau seperti yang dimaksud dalam Pasal 6, ayat 1 tersebut, maka jelas-jelas mereka ini telah membohongi umat Islam, dan telah melakukan tindakan jahiliyah. Sebab mereka tidak dapat membedakan antara urusan politik (dunia) dan agama (akhirot), sedang kata Rosululloh saja "Kalau urusan akhirot, maka akulah yang paling pandai, tapi kalau urusan dunia, kalianlah yang paling pandai".
Kita tahu bahwa Umaro' (para Amir), istilah ini sangat Islami sekali, karena dasarnya dari hadits, tapi apabila mereka ini memerintah kamu tidak memakai dasar atau dalil yang kamu ketahui dari Al-Qur'an dan Al-Hadits, maka mereka tidak berhak menjadi imam kamu! Di dalam Hadits Thobroni Fil Kabir dari Ubadah bin Shomit, Rosulullohi Shollallohu 'Alaihi Wasallam, bersabda: 
Yang artinya: "Sesudahku akan ada Umaro' (para Amir) yang memerintah kamu sekalian dengan sesuatu yang kamu sekalian tidak mengetahui dalilnya, dan mereka mengerjakan sesuatu yang kamu sekalian mengingkarinya, maka mereka itu tidak berhak menjadi imam kamu sekalian".

Apalagi seorang "Presiden" selaku Kepala Negara yang jelas-jelas acuan peraturan yang dipakai untuk memerintah rakyatnya adalah UUD '45 dengan amandemennya, GBHN, dan acuan hukumnya yang dipakai adalah KUHP atau hukum positif. Maka, sangat tidak mungkin Presiden adalah Amir atau Imam. Jika masih ada muslim atau mukmin yang mempunyai penafsiran atau pemahaman bahwa Imam adalah Presiden itulah yang dimaksud oleh Al-Qur'an dan Al-Hadits. Maka, ini adalah penafsiran dan pemahaman yang tidak benar.

Dari amanat UUD '45 tercermin bahwa setiap warga Negara Indonesia memliki hak dan kewajiban yang sama, baik laki-laki maupun perempuan. Maka dari itu, siapapun dari warga Negara Indonesia setelah Presiden SOEKARNO, setelah Presiden SOEHARTO, setelah Presiden B.J. HABIBI, dan tak terkecuali bagi orang peyandang cacat dan tuna netra (orang buta) sekalipun, misal "ABDURRAHMAN WAHID" yang ke sohor dengan sapaan akrab "Gus DUR" pernah juga menjadi Presiden RI, termasuk juga orang perempuan Ibu Mega "MEGAWATI SOEKARNO PUTRI", pernah pula menjadi Presiden RI, bahkan Ibu "Mega" sekarang mencalonkan diri lagi sebagai Presiden RI, begitu pun bagi orang Bugis, Makasar "JK" H.M. Jusuf Kalla, bahkan dari non muslim, baik orang Nasrani maupun Yahudi sangat berpeluang untuk menjadi Presiden RI asalkan dipilih oleh rakyat melalui PEMILU yang LUBER dan JURDIL. Karena itu, bagi mereka yang ternyata menang dalam pemilu dan menjadi Presiden RI, hendaknya tidak lagi hanya terpaku untuk kepentingan partainya atau golangannya, melainkan sudah harus meninggalkan kepentingan partai dan golongannya guna melayani kepentingan dan kemakmuran rakyatnya dari partai, golongan, agama dan keyakinan apa pun namanya itu atas nama bangsa Indonesia, Presiden RI. Bukan lagi sebagai ketua Umum Partai atau anggota partai tertentu.

Kita memilih seorang Presiden dan Wakil Presiden, Caleg bukan sebagai umat beragama, akan tetapi lebih dikarenakan kita adalah sebagai warga Negara yang baik, ta'at dan tunduk kepada peraturan pemerintah yang sah. Lain halnya, kalau yang diangkat oleh mukmin menjadi Ulil Amrinya adalah "Presiden" dari orang perempuan, atau orang Nasroni, atau Yahudi, maka ini amat sangat bertolak belakang alias bertentangan dengan yang dimaksudkan oleh Al-Qur'an dan Al-Hadits dalam pengertian yang sebenarnya, bahkan sudah bisa dibilang mendurhakai Alloh dan Rosulnya. Sebagai dasar hukum bahwa kita dilarang mengambil Ulil Amri dari orang kafir, musyrik, tidak ahli dibidangnya atau orang perempuan, adalah:


1. Larangan menjadikan pemimpin dari oarang-orang kafir


Alloh Ta'alaa berfirman dalam Al-Qur'an, Surat Ali 'Imron, No. Surat: 3, Ayat: 28, yang berbunyi:

1. Yang artinya: "Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali [Wali jamaknya auliyaa: berarti teman yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Alloh, kecuali karena (siasat / politik) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Alloh memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Alloh kembali (mu)". (QS. Ali 'Imron, No. Surat: 3, Ayat: 28).

2. Yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali [Wali jamaknya auliyaa: berarti teman yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah kamu hendak mengadakan alasan yang nyata bagi Alloh (untuk menyiksamu)? (QS. An-Nisaa', No. Surat: 4, Ayat: 144).

2. Larangan menjadikan pemimpin dari orang-orang yang menjadikan agama kita sebagai bahan ejekan dan permainan
Alloh Ta'alaa berfirman dalam Al-Qur'an, Surat Al-Maa-idah, No. Surat: 5, Ayat: 57, yang berbunyi:
Yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Alloh jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman". (QS. Al-Maa-idah, No. Surat: 5, Ayat: 57).

3. Larangan menjadikan pemimpin dari orang-orang Yahudi dan Nasroni
Alloh Ta'alaa berfirman dalam Al-Qur'an, Surat Al-Maa-idah, No. Surat: 5, Ayat: 51, yang berbunyi:
Yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasroni menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhzolim". (QS. Al-Maa-idah, No. Surat: 5, Ayat: 51).

4. Larangan menjadikan pemimpin dari bapak kita, saudara-saudara kita yang masih cenderung kafir
Alloh Ta'alaa berfirman dalam Al-Qur'an, Surat At-Taubah, No. Surat: 9, Ayat: 23, yang berbunyi:
1. Yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu sebagai wali (kekasih, pemimpinmu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas mengalahkan keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang dhzolim". (QS. At-Taubah, No. Surat: 9, Ayat: 23).

5. Larangan menjadikan pemimpin dari musuh Rosululloh dan musuh kita
Alloh Ta'alaa berfirman dalam Al-Qur'an, Surat Al-Mumtahanah, No. Surat: 60, Ayat: 1, yang berbunyi
1. Yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi wali (teman-teman setia, pemimpin, penolong) yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; Padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rosul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Alloh, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhoan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian), yaitu kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus". (QS. Al-Mumtahanah, No. Surat: 60, Ayat: 1).

6. Larangan menjadikan pemimpin dari orang-orang ahli Kitab Taurot dan Injil (Misionaris)
Alloh Ta'alaa berfirman dalam Al-Qur'an, Surat Al-Baqoroh, No. Surat: 2, Ayat: 109, yang berbunyi:
Yang artinya: "Sebahagian besar ahli kitab (Yahudi dan Misionaris Nasroni) menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Alloh mendatangkan perintah-Nya [siksa/keizinan memerangi dan mengusir mereka]. Sesungguhnya Alloh Maha Kuasa atas segala sesuatu". (QS. Al-Baqoroh, No. Surat: 2, Ayat: 109).

7. Larangan menjadikan pemimpin yang tidak memiliki kemampuan di bidangnya
Rosulullohi Shollallohu 'Alaihi Wasallam, bersabda dalam Hadits Shohih Bukhori, yang berbunyi:
Yang artinya: "Ketika diserahkan suatu perkara kepada selain ahlinya maka tunggulah sa'at (kekacauannya / kerusakannya/kehancurannya)".
Oleh karena itu, Kholifah Umar bin Khotthob memberi saran kepada calon pemimpin dalam Hadits Shohih Bukhori, yang berbunyi:
Yang artinya: “Pahamkanlah diri kamu sebelum kamu menjadi pemimpin”.

Penjelasan:
1. Perintah untuk tidak memilih pemimpin yang bodoh dalam hal-hal agama. Memilih pemimpin yang bodoh dalam hal-hal agama adalah merupakan sumber penyebab adanya kesesatan dan bid’ah dalam agama. Tidak hanya itu saja, adanya pemimpin yang bodoh dalam hal-hal agama merupakan bencana bagi manusia baik di dunia maupun di akhirot.
2. Perintah mengangkat ulama’ sebagai pemimpin. Di dalam Hadits Bukhori yang diriwayatkan dari Abu Huroiroh, Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Jika amanat lebih disia-siakan, maka tunggulah datangnya hari kiamat”. Ada sahabat yang bertanya, “Bagaimana penyia-nyiaan amanat itu? Beliau menjawab: “Jika urusan (agama) ini diserahkan kepada yang bukan ahlinya”.

8. Larangan menjadikan pemimpin dari perempuan
Telah diriwayatkan oleh Ibni Abi Syaibah, dari Abi Bakrin, bahwa Rosulullohi Shollallohu 'Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: "Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyandarkan / menyerahkan perkara mereka (khususnya urusan agama) pada seorang perempuan".

Rosululloh dan Penganutnya tegas dalam mengambil sikap dan keputusan:
1. Yang artinya: "Muhammad itu adalah utusan Alloh dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Alloh dan keridhoan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud [Maksudnya: pada muka mereka kelihatan keimanan dan kesucian hati mereka]. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Kitab Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Kitab Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pangkalnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Alloh hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Alloh menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang sholih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar". (QS. Al-Fath, No. Surat: 48, Ayat: 29).

Hanya orang yang ta'at kepada Alloh dan Rosul-Nya yang dapat masuk surga:
11. Yang artinya: "(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Alloh. Barangsiapa ta'at kepada Alloh dan Rosul-Nya, niscaya Alloh memasukkannya kedalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar". (QS. An-Nisaa', No. Surat: 4, Ayat: 13).

Tidak ada pilihan lain bagi mukmin dan mukminat, jika Alloh sudah menetapkan peraturan:
12. Yang artinya: "Dan tidak pantas bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula pantas) bagi perempuan yang mukmin, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata". (QS. Al-Ahzab, No. Surat: 33, Ayat: 36).

Berani mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya, dan melanggar ketetapan-Nya, maka masuk neraka:
13. Yang artinya: "Dan barangsiapa yang mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Alloh memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan". (QS. An-Nisaa', No. Surat: 4, Ayat: 14).

Imam adalah panutan 
Di dalam agama Islam, tepatnya adalah di dalam Kitab Suci Al-Qur'an dan Al-Hadits istilah 'Ulil Amri, Amir, Imam dan Sulthon serta Ro'in itu memang ada. Istilah Imamah sinonimnya adalah Imaroh artinya Pemimpin dalam agama Islam atau orang yang diikuti. Imam bentuk jama’nya adalah A-Immah, sebagai kata persamaannya adalah Amir. Amir bentuk jama’nya adalah Umaro’. Demikian juga dalam agama Nasroni. Mereka menyebut Pastur dengan sebutan "Imam".
Artinya: “Orang yang diikuti adalah Imam”.

Imam supaya diikuti 
Jika dalam sholat, imam adalah orang yang memimpin sholat. Maka semua tata geraknya dalam sholat supaya diikuti. Dasarnya adalah sabda Rosuululloohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dalam Hadits Nasa’i Juz 2 hal 99-100, yang berbunyi:
Yang artinya: “Sesungguhnya dijadikan Imam supaya diikuti”.

Ulil Amri adalah Amir / Imam / Sulthon / Ro'in 
Dan telah tercantum di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Mengenai istilah Ulil Amri dalam Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ No. Surat : 4, Ayat : 59, Alloh berfirman:
Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Alloh dan ta’atilah Rosuul, dan Ulil Amri (pemerintah dalam Islam: Amir atau Imam) diantara kamu (mak: dari golongan orang iman)…”.

Ta'at kepada Amir sama dengan ta'at kepada Rosululloh
Mengenai istilah Amir. Sebagaimana sabda Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam yang tercantum di dalam Hadits Muslim, Juz 6 Hal 13 yang diriwayatkan oleh Abi Huroiroh, yaitu:
Yang artinya: “Barangsiapa yang ta'at kepadaku (Rosul), maka sungguh ia ta'at kepada Alloh. Dan barangsiapa yang menentangku, maka sungguh ia menentang Alloh. Dan barangsiapa yang taat kepada Amir, maka sungguh ia taat kepadaku, dan barangsiapa yang menentang Amir, maka sungguh ia menentangku”.

Jika hidup di sebagian bumi ini tidak punya Amir, maka hidupnya tidak halal 
Tentang Amir adalah pemimpin, sebagaimana telah diungkapkan dalam Hadits Musnad Ahmad, bahwa Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasllam bersabda: 
Yang artinya: “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di sebagian permukaan bumi kecuali mereka menjadikan Amir (pemerintah Islam alias Imam) pada salah satu mereka untuk mengatur mereka”.

Perhatikan ayat dan hadits Nabi yang tersebut di atas dengan baik, maka kita akan mendapati pengertian, bahwa yang berkewajiban ta’at kepada Alloh dan Rosul serta Ulil Amri (Amir), yaitu hanya kamu yang mu’min sebagai umat Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam saja. Bahkan bila kita hidup di dunia ini tidak mempunyai seorang Amir yang kita angkat, maka hidup kita dipermukaan bumi milik Alloh ini dianggap tidak sah, alias pendatang harom oleh Rosulullohi Shollallohu 'Alaihi Wasallam. Jadi, keta’atan yang dimaksud dalam ayat dan hadits tersebut adalah khusus dalam urusan agama Islam, bukan dalam berpolitik. 

Tentang mukmin, bukankah kita sudah sama-sama mengetahui yaitu ada 6 (enam) rukun iman yang harus dipenuhi, tentu setelah memenuhi 5 rukun Islam, yaitu: 
1. Iman kepada Alloh, 2. Iman kepada Malaikat, 3. Iman kepada Nabi, 4. Iman pada Kitab, 5. Iman pada takdir yang baik dan yang buruk, 6. Iman pada hari akhir / kiamat.

Jadi, orang yang berhak dipanggil “Hai orang-orang yang beriman”, ialah orang Islam yang sudah memenuhi lima rukun Islam dan diteruskan dengan enam rukun Iman, sedang bagi orang yang merasa belum atau tidak memenuhi lima rukun Islam dan enam rukun Iman, seyogyanya ia tak perlu merasa resah, gelisah, gerah dalam memahami dan menanggapi ta’at kepada Amir (orang yang mempunyai perkara; wewenang mengatur, memerintah) ini. Apalagi sampai ikut-ikutan bikin masalah yang menyebabkan orang yang tidak tahu menahu tentang ilmunya pun menjadi resah. Ini namanya payah. Capek deeh!

Pada hari kiamat nanti setiap manusia akan dipanggil dengan Imamnya masing-masing 
Dan mengenai Imam, Alloh berfirman di dalam Al-Qur’an Surat Al-Isroo’, No. Surat : 17, Ayat : 71, yang berbunyi: 
Yang artinya : “(ingatlah) suatu hari (yakni hari Kiamat) Kami panggil tiap ummat dengan Imam (pemimpin) mereka”.

Imam adalah orang yang menggembala manusia 
Dan masih mengenai Imam adalah pemimpin, di dalam Al-Hadits Al-Bukhori, Juz 9 Hal 77, Kitabul Ahkaam, Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: “Maka Imam adalah yang menggembala / memimpin atas manusia dan dia akan dimintai pertanggungan-jawabnya dari yang dipimpinnya”.

Ta'at kepada Imam sama dengan ta'at kepada Rosululloh
Mengenai ta'at kepada Imam, sebagaimana sabda Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, yang diriwayatkan oleh Abi Huroiroh di dalam Hadits Ibnu Majah, Juz 2 Hal 954, yang berbunyi:
Yang artinya: “Barangsiapa yang ta’at kepadaku, maka sungguh dia ta’at kepada Alloh. Dan barangsiapa yang menentangku, maka sungguh dia menentang kepada Alloh. Dan barangsiapa yang ta’at kepada Imam, maka sungguh dia ta’at kepadaku. Dan barangsiapa yang menentang Imam, maka sungguh dia mentangku”.

Bergabunglah dengan orang-orang Islam yang menetapi "Al-Jama'ah" dan yang mempunyai Imam 
Dan di dalam Al-Hadits Al-Bukhori, Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya : “Menetapilah pada jama’ahnya orang-orang Islam dan Imam mereka”.

Mati tidak mempunyai Imam, maka mati Jahiliyah 
Rosululloh juga bersabda dalam Hadits Musnad Ahmad, yang berbunyi:
Yang artinya: “Barang siapa yang mati tidak berimam maka matinya Jahiliyah”.

Sumber sunnah adalah dari Rosululloh dan Imam 
Dan sebagaimana yang dilansir dalam hadits Ad-Dailami, yang berbunyi:
Yang artinya: “Sunnah itu ada dua, yaitu sunnah dari Nabi yang diutus dan sunnah dari Imam yang adil”.

Berani mendurhakai Imam, maka pahalanya hancur lebur
Telah diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim, bahwa Rosulullohi Shollallohu 'Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: "Dan barangsiapa yang menentang Imamnya maka hilang seluruh pahalanya".

Ayat dan Hadits-hadits tersebut menunjukkan betapa pentingnya orang Islam mempunyai Imam.

Sulthon adalah naungan (pengayom) Alloh di permukaan bumi
Di dalam Hadits Riwayat Thobroni dari Abu Bakrin, Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam bersabda: 
Yang artinya : “Adapun Sulthon (istilah lain bagi seorang Amir / Imam) adalah naungan Alloh yang ada di muka bumi, maka barang siapa yang memuliakannya, maka Alloh akan memuliakan pada orang tersebut. Dan barang siapa yang menghinanya maka Alloh akan menghinakan padanya”.

Islam dan Sulton adalah saudara kembar 
Di dalam Hadits Ad-Dailami dari Ibni Abbas, Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
Yang artinya: “Islam dan Sulthon (Amir / Imam) adalah dua saudara kembar, salah seorang dari keduanya tidak akan baik kecuali dengan sahabat kembarnya. Maka Islam sebagai pondasinya sedangkan Sulthon (Amir / Imam) sebagai pelaksana. Dan sesuatu yang tidak memiliki pondasi tentu akan rusak, dan sesuatu yang tidak ada pelaksana akan sia-sia”.

Berupaya merendahkan Sulthon berarti merusak Diinul Islam
Sebagaimana sabda beliau yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam tarikhnya, berikut ini:
Yang artinya: "Sesungguhnya sesudahku (meninggal dunia) akan ada Sulthon (istilah lain bagi Amir / Imam), maka muliakanlah dia. Sesungguhnya, barangsiapa yang menghendaki merendahkannya berarti ia merusak agama Islam dan baginya tidak ada taubat kecuali jika ia melepas kesalahannya, namun sayang dia tidak akan dapat melepaskan kesalahannya itu sampai hari kiamat".

Sehingga di dalam keagamaan di majlis ta'lim kita ini istilah-istilah yang seperti itu tetap kita kaji, kita sampaikan kepada umat, tidak ada ilmu yang kita sembunyikan. berdasar pada sabda Rosuululloohi Shollalloohu Alaihi Wasallam, yang tercantum dalam hadits Shohih Bukhori Juz 1 hal 25, yang berbunyi: 
Yang artinya: “Ilmu diperlukan sebelum berbicara dan beramal”.

Sebab, pengetahuan tersebut merupakan bagian dari ilmu agama yang tidak boleh disembunyikan. Di dalam Hadits Ibnu Majah Juz 1 hal 98, No. Hadits: 266, Rosulullohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam, yang berbunyi: 
Yang artinya: “Barangsiapa yang ditanya tentang ilmu yang telah ia ketahui tapi ia menyembunyikannya, maka pada hari kiamat ia diberi tali kendali dari api”.

Sabda Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Wahbin, yang berbunyi:
Yang artinya: “Maka sangat beruntung bagi orang yang dianggap asing, yaitu orang-orang yang berpedoman pada kitab Alloh (Al-Qur’an) ketika (kitab Alloh itu) ditinggalkan, dan mereka yang mengamalkan sunnahku (Al-Hadits) ketika (Al-Hadits itu) dipadamkan”.

Karena, keimaman atau keamiran itu bagian dari isi Al-Qur’an dan Al-Hadits, sekaligus merupakan bukti bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadits di dalam majlis kita ini kita kaji secara “Kaaffaah” menyeluruh dan mendasar dan harus kita sosialisasikan kepada umat Islam, khususnya yang telah mengaku dirinya sebagai mukmin. Berdasar pada dalil firman Alloh dalam Al-Qur’an, Surat: Al-Baqoroh, No. Surat: 2, Ayat: 208, yang berbunyi: 
Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan”.

Dan juga istiqomah (konsisten) serta transparan, karena itu merupakan hak bagi setiap umat yang beragama Islam, beriman, yang berpedoman ibadah pada Kitab Suci Al-Qur’an dan Al-Hadits atau As-Sunnah, dan mengimaninya sepenuh hati secara keseluruhan, tidak hanya sebagian-sebagian saja. Soal ada yang mau menerimanya dengan hati ridho, sesungguhnya itu murni merupakan hidayah dari Alloh Ta'alaa. Dan sebaliknya, bila ada yang menolaknya, itupun murni urusan Alloh Ta'alaa. Sebagaimana telah diungkapakan di dalam Al-Qur'an, Surat Al-An'am, No. Surat: 6, Ayat: 88, mengenai hidayah itu semata-mata pemberian Alloh, di antaranya adalah yang berbunyi:
Yang artinya: "Itulah petunjuk Alloh, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya". 

Maka, bersyukurlah bagi orang yang diberi petunjuk Alloh, yakni mau menerima dengan hati ridho terhadap ketetapan Alloh Ta'alaa, termasuk Bab Keamiran. Perhatikan apa yang telah Alloh firmankan di dalam Al-Qur’an Surat Al-Isro’/Bani Isro’il, No. Surat: 17, Ayat: 15, yang berbunyi:
Yang artinya: “Barang siapa yang mendapatkan hidayah (berbuat sesuai dengan petunjuk Alloh), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (kemanfa’atan) dirinya sendiri. Dan barang siapa yang sesat (berbuat menyimpang dari petunjuk Alloh), maka sesungguhnya berbuat sesat itu (merugikan) dirinya sendiri. Dan seseorang yang berdosa tidak dapat menanggung dosa orang lain”. 

Berpijak pada sabda Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam dalam Hadits Abu Daud, Kitaabus Sunnah, yang berbunyi: 
Yang artinya : “Barang siapa yang mengajak pada petunjuk (Al-Qur’an dan Al-Hadits) maka dia memperoleh fahala setara dengan fahala-fahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun fahala orang yang mengikutinya itu, dan barangsiapa yang mengajak pada kesesatan, maka dia mendapatkan bagian dosa setara dengan dosanya orang yang mengikutinya”.

Di dalam Al-Qur’an Surat Thoohaa, No. Surat: 20, Ayat: 123, Alloh berfirman: 
Yang artinya: “Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku (yakni: Al-Qur’an), ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka”.

Nach, apakah Anda masih tetap saja ragu akan ketetapan peraturan Alloh dan Rosul-Nya? Oleh karenya, Alloh bertanya di dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqoroh, No. Surat: 2, Ayat: 85, yang berbunyi:
Yang artinya: “Apakah kamu beriman kepada sebahagian kitab dan kafir terhadap sebahagian yang lain?”

Coba, tanyakan pada hati nurani kita yang paling dalam, sudahkah menyadari bahwa kalau beriman dengan Alloh dan Rosul-Nya itu harus beriman juga dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan tidak memperselisihkannya? Di dalam Kitab Tafsir At-Thobari, Juz 3 Hal 39 ada sebuah ungkapan yang berbunyi:
Yang artinya: "……..dan Alloh mengkhabarkan kepada mereka "Sesungguhnya pernah terjadi orang sebelum mereka rusak sebab geger dan bertengkar (berdebat) dalam (urusan) agama Alloh". 

Agar tidak melahirkan perdebatan yang dilarang Alloh ketika Anda meragukan tentang sesuatu, maka Alloh Ta'alaa telah membimbing kita, yaitu dengan cara teruskan mengaji Al-Qur'an dan Al-Hadits hingga tuntas, dengan cara demikian pasti Anda akan menemukan jawabnya dengan benar. Dasarnya adalah firman Alloh di dalam Al-Qur’an Surat An-Nisaa’, No. Surat: 4, Ayat: 59, yang berbunyi:
Yang artinya: “Maka jika kamu berselisih faham / berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Al-Qur’an) dan Rosul (Al-Hadits), jika kamu beriman dengan Alloh dan hari akhir”.

Timbul satu pertanyaan, apakah Anda menghendaki rusak atau selamat? Jawabnya berpulang pada diri Anda. Yang harus kita pahami adalah bahwa yang namanya orang kafir itu bukan hanya orang Yahudi dan Nasrani saja, tetapi siapapun yang mengingkari, mengufuri, membantah Al-Qur’an. Dasarnya adalah firman Alloh dalam Al-Qur’an, Surat An-Nisaa’, No. Surat: 4, Ayat: 150-151, yang berbunyi:
Yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Alloh dan Rosuul-rosuul-Nya dan menghendaki memisahkan (membeda-bedakan) antara Alloh dan Rosuul-rosuul-Nya, dengan mengatakan “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, dan menghendaki mengambil jalan antara demikian (iman dan kafir). Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir itu siksaan yang menghinakan”.

Menurut sabda Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam dalam Hadits Sunan Abu Daud, Juz 2 hal 505, yang berbunyi;
Yang artinya: “Orang yang membantah dalam Al-Qur’an adalah orang kafir”.

Sekali lagi, kita ingin tegaskan bahwa dalam organisasi dan partai politik hendaknya tidak menggunakan ataupun menganut sistem keamiran, dan atau mempolitisasi agama. Karena ini dapat mengelabui umat Islam, khususnya yang masih awam terhadap dasar-dasar hukum Al-Qur'an dan Al-Hadits. Jangan sampai politik menunggangi agama, apalagi hanya untuk kepentingan ambisi pribadi, dan atau kepentingan golongan. Ini namanya berpolitik dengan cara-cara yang tidak terpuji, politik kotor, politik busuk. Politik seperti inilah yang mutlak dilarang oleh agama Islam. Politik seperti itu dapat kita ibaratkan seperti; Si A mempunyai ayam "tiren", mati kemaren. Si B mempunyai uang palsu. Masing-masing mereka berpikir hanya untuk keuntungan dirinya sendiri tanpa memikirkan kerugian yang bakal diterima orang lain. Si A berpikir bagaimana caranya supaya ayam "tirennya" laku, terjual. Si B berpikir bagaimana caranya agar uang palsunya juga laku. Agar barang tipuan mereka tidak tampak oleh mata, mereka sama-sama berpikiran untuk berangkat ke pasar Tradisional sebelum subuh. Pendek cerita, di pasar ini mereka bertemu dan saling mengolah kata-kata berupaya agar milik mereka sama-sama laku, dan terjadilah transaksi antara si A dan si B dengan perasaan, hati puas bercampur-baur anatara senang dan ketakutan. Setelah sampai di rumah mereka masing-masing, hari menjelang siang, bagi si A penjual ayam merasa tertipu, karena jelas-jelas uang yang ia terima adalah uang palsu. Bagi si B pembeli ayam merasa tertipu, karena jelas-jelas ayam yang ia beli kelihatan sudah mati kemarin alias bangkai. Wal hasil, masing-masing mereka saling menghujat, melaknat. Kalau mereka mati, matinya mati keparat dalam laknat karena menipu umat. Semestinya agama-lah yang menunggangi politik. Dengan kata lain, agama harus di atas politik yang bertujuan untuk menuju dan mewujudkan sebuah negara yang subur makmur dan berketuhanan Yang Maha Pengampun "baldatun thoyyibatun warobbun ghofuur". Oleh karenanya, politik dikemas dalam bentuk siasat yang bermartabat manfa'at buat umat "Li I'la'i Kalimatillaahi Hiyal 'Ulyaa", yaitu untuk meluhurkan kalimat Alloh, karena kalimat Alloh itulah yang mulia.

Oleh karenanya, hendaknya yang menjadi garis organisasi dan dikembangkan dalam organisasi masyarakat yang mengusung keagamaan sejak awal berdirinya adalah kepemimpinan yang menumbuh-kembangkan tanggung-jawab dan amanah sebagai ro'in atau ketua (seperti; Ketua Umum Partai, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) untuk tingkat Pusat, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Propinsi, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Kabupaten dan Kota, Pimpinan Cabang (PC) untuk Kecamatan, Pimpinan Anak Cabang (PAC) untuk tingkat Kelurahan dan Desa. Munas (Musyawarah Nasional), Mubes (Musyawarah Besar). Rapimnas (Rapat Pimpinan Nasional). Yaitu istilah yang dapat dipahami oleh semua umat manusia berdasar pada UUD '45 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Partai), bukan Amir, Imamul A'dhzom atau Sulthon, Dewan Syuro, Ro'is Amr maupun istilah-istilah lain yang hanya dapat dipahami oleh umat Islam. 

Meskipun menurut Al-Qur'an dan Al-Hadits, sebenarnya setiap kita adalah sebagai ro'in. Sebagaimana sabda Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam yang tercantum di dalam Hadits Bukhori, Kitabul Ahkaam, Juz 9 Hal 77, yang berbunyi:
Yang artinya: “Ketahuilah, masing-masing kalian adalah Ro’in (penggembala/pemimpin) dan masing-masing kalian akan ditanya (mak: akan dimintai pertanggungan-jawab) dari apa yang dipimpinnya. Maka Imam adalah yang menggembala/memimpin manusia dan dia akan dimintai pertanggungan-jawabnya dari orang yang dipimpinnya, Dan seorang perempuan adalah penggembala atas anggota rumah suaminya dan anaknya dan dia akan dimintai pertanggungan-jawabnya dari mereka, dan seorang budak laki-laki adalah penggembala atas harta tuannya dan dia akan dimintai pertanggungan-jawabnya dari harta tuannya itu. Ingatlah…, maka kamu sekalian adalah Ro’in/penggembala/pemimpin, dan masing-masing kamu sekalian akan ditanya (mak: dimintai pertanggungan-jawabnya) dari yang digembalakannya”.

Namun demikian, bahwa nilai-nilai ro'in atau penggembala atau dapat juga disebut sebagai pemimpinan, ini tidak hanya dilakukan di dalam majlis ta'lim, pondok pesantren, tetapi juga dipraktekkan dari mulai keluarga, dan lebih luas lagi dalam kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, termasuk juga dalam berorganisasi keagamaan.

Ternyata bila dibahas secara professional, obyektif, dan tidak tendensial pada kepentingan suatu aliran atau organisasi keagamaan, serta politik tertentu, maka posisi Amir / Imam / Sulthon / Ro'in dan hukumnya pun menjadi jelas. Jelaslah sudah bahwa mempunyai Imam atau Amir bagi orang muslim diwajibkan oleh syari’at Islam. Dan hadits-hadits nabi yang menjadi dasarnya pun kwalitasnya shohih, seperti dapat dilihat tentang Imam dalam Hadits Shohih Bukhori, No. Hadits: 338, 6557. Hadits Shohih Muslim, No. Hadits: 3434. Tentang Amir, dalam Hadits Shohih Bukhori, No. Hadits: 43 (Umar bin Khotthob sebagai Amirul Mukminin), 903 (Marwan sebagai Amir Madinah), 3716 (Mughiroh bin Syu’bah sebagai Amir Kuffah) dan masih banyak yang lain. Lebih jelasnya, dibuka saja Hadits Bukhori dan Muslim Bab Imaroh, Kitabul Ahkaam. Namun, istilah-istilah tersebut dikaburkan pengertiannya oleh 'ulama-ulama tertentu menjadi presiden dan gubernur, dicampur-adukkan antara perkara agama dan politik. Sehingga umat Islam tidak lagi menyadari ada sesuatu dari haknya yang telah hilang, yaitu berjama'ah, beramir, berbai'at dan taat kepada Amir. Kini umat merasa asing ketika mendengar istilah-istilah tersebut, padahal dulu dizaman Rosululloh dan para sahabatnya serta para tabi'in dan tabi'ut-tabi'in lazim memakainya, seperti lazimnya menyebut; muslim, mu'min, sholat, zakat, shoum, haji, shodaqoh, jihad, hijroh, dll. Itulah di antara upaya-upaya mereka memadamkan sunnah. Ada yang melakukannya dengan unsur kebodohan, ada juga yang sebab dengki terhadap golongan Islam yang telah lebih dulu mendapatkan bayyinah, keterangan-keterangan yang datangnya dari Alloh dan Rosululloh yang tertuang di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits, yang samasekali belum terkontaminasi oleh ro'yi, penafsiran-penafsiran ulama kekinian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar