“Ngapain mesti siap-siap nikah segala, entar kalau sudah waktunya, juga nikah?” Itulah nada pesimis yang sering kita dengar dari sebagian remaja, bila mereka diajak membahas tentang persiapan nikah..
“Ey kamu-kamu yang umurnya sudah menjelang nikah, aku mau berbagi pengalaman kepada kalian semua, mau?
Kata Utd. H.Subandi Baiturrahman, kepada remaja UNIK (Usia Nikah).
“Mau..mau…mauu!” Jawab sebagian mereka. “Au ah elap” Kata sebagian yang lain.
Itu hal biasa. Tantangan! Kata Ust. H.Subandi BR.
Coba, kalian tanyakan pada diri kalian! Apakah kita-kita mau termasuk remaja yang mendhzolimi masa depan Qur’an dan Hadits ini? Ngakunya sih, pengen mengubah dunia ini menjadi lebih baik, pengen melihat Indonesia maju, pengen membentuk generasi Robbani, pengen nggak menjadi orang yang egois, pengen menjadi remaja muslim-muslimat ini menarik, pengen keren tapi paham, nyatanya? Apa yang telah kita-kita perbuat untuk mewujudkan semua keinginan itu? Yuk mendingan kita-kita introspeksi bareng! Bagaimana dibilang nggak dhzolim?
Untuk menghadapi SPMB aja banyak yang melakukan persiapannya minimal 1 tahun belajar habis-habisan. Ada rukyah private aku mengatakan “nggak cukup hanya mengikuti satu bimbingan belajar saja” dia mengikuti berbagai bimbel, sehingga waktu yang dimiliki mulai dari Matahari terbit sampai larut malam berganti fajar yang terbit-full untuk try out dan mengikuti berbagai bimbel, bimbingan belajar tersebut.
Belum lagi membeli dan mengoleksi serta membaca setiap hari buku-buku kumpulan soal dan lembar-lembar soal. Sampai mata beler, otak mumet, sampai-sampai menolak semua aktivitas selain belajar dan persiapan SPMB. Waktunya ngaji desa, kelompokan dan remaja; bablaaas. Ada pengajian hari Minggu anjangsana remaja antar desa; sori-menyori. Ada seminar Narkoba, keputrian, motivasi; nanti dulu lah yau. Pokoknya kegiatan non SPMB no Way! Segitunya mantap hati, jiwa dan raga, sampai stress sendiri. Tujuannya? Lulus SPMB ke Perguruan Tinggi Negeri favorit, pastinya dong.
Coba perhatikan juga! Untuk masuk ke dunia kerja, ternyata banyak dari teman-teman kita yang telah melakukan persiapan selama minimal 16 tahun! Coba kita hitung! Pertama-tama SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun, di D3 atau S1 setidak-tidaknya 4 tahun, itu kalau cerdas? Coba, tanyakan sendiri ke Mbak-mbak atau Mas-mas kita! Begitu ijazah diperoleh, pinginnya sih mendapat pekerjaan yang layak, niatnya mulia, yaitu untuk mengganti jerih payah orangtua, mengamalkan ilmu, apa pun itu…ternyata maksudnya adalah kepingin masuk ke dunia kerja, berpakaian rapi, menerima gaji, punya kendaraan pribadi, rumah sendiri dan beristri. Wis, mantap man!
Coba perhatikan lagi! Membangun rumah pun demikian, yaitu butuh persiapan yang matang, setidaknya rancangan rumahnya harus dibuat oleh orang yang benar-benar memiliki keahlian di bidang itu, dibangun di atas lahan yang cocok, dengan proporsi penempatan ruang yang pas, ditangani oleh tukang bangunan yang handal, anggaran biaya yang telah dipersiapkan sejak awal dan seterusnya. Pokoknya persiapannya harus oke banget, deh. Biar nggak mengecewakan. Jika untuk pesta pernikahan saja perlu persiapan yang matang, tentu akan memasuki dunia baru pasca pernikahan sangat dibutuhkan persiapan yang jauh lebih matang. Kamu-kamu pingin kan menikah sekali untuk selamanya? Yang jelas sesuatu yang dipersiapkan dengan matang dengan sesuatu yang tidak ada persiapan bedanya jauh sekali.
Nach, yang lucu, untuk menikah boro-boro dipersiapkan dengan detail seperti mau persiapan SPMB, membangun rumah atau pesta perkawinan. Terkadang persiapan menikah hanya merupakan sebuah aktivitas sederhana, pokoknya yang penting calon sudah sama-sama cok ali gacok cocok, kira-kira usia sudah pantas, keluarga sudah saling diperkenalkan, ada dana buat penghulu dan syukuran walimahan kecil-kecilan, sudah jadilah dinikahkan. Nggak terlalu memperhatikan persiapan yang bersifat non fisik. Kesiapan mental, visi-misi setelah menikah, ilmu perkawinan, keterampilan, dan sebagainya, apakah sudah dengan sungguh-sungguh telah dipersiapkan? Banyak yang menjawab simple: Meneketehe’, EGP (baca: Emang Gua Pikirin), enjoy ajalah, kumaha engke, atau….that’s not of your business!
Terkadang malah usia yang dijadikan patokan kesiapan, baik usia si calon, maupun lamanya usia kedua calon itu berpacaran atau bertunangan. Nggak banget, deh! Memangnya lamanya waktu pacaran atau tunagan dapat memperlihatkan kesiapan mental seseorang untuk menikah dan berumah tangga? Apakah kedewasaan seseorang dapat dinilai dari usia maupun jumlah keriput kulit di wajah? Nggak kan?
Tahu nggak kamu-kamu, bahwa ibarat rumah pernikahan adalah pintunya. Hidup bersama suami dalam sebuah keluarga baru adalah inti sesungguhnya di balik pintu. Banyak bekal yang harus dipersiapkan bagi kamu-kamu yang belum banyak pengalaman untuk mengarungi bahtera rumah tangga ini. Banyak dari kamu-kamu yang bingung tentang apa yang mesti dilakukan pada hari pertama perkawinan dan hari-hari berikutnya. Apa yang harus dilakukan sebagai ibu rumah tangga baru. Bagaimana sikap terhadap mertua dan keluarga. Bagaimana jika nanti lahir anak mereka. Bagaimana jika tiba-tiba datang rindu pada orangtua dan saudara-saudara mereka. Belum lagi, bagi kamu-kamu yang tidak pandai memasak dan berdandan. Bahkan, tidak sedikit dari kamu-kamu yang tidak banyak tahu apa itu malam pertama.
Pernikahan adalah sebuah perjanjian yang bisa-bisa menggoncang Arsy Alloh, pernikahan langgeng maka Arsy anteng, tapi kalau terjadi putus di perempatan jalan, maka Arsy goncang. Hasil dari pernikahan pun nggak main-main, bukan boneka-bonekaan, tapi anak seorang manusia. Sebuah rumah tangga dengan anak-anak yang kemudian menjadi cabe rawit, generus potensial, remaja berkualitas yang akan menjadi pengganti generasi awal, kalau tidak mau dibilang generasi tua.
Kalau persiapan sebuah pernikahan kalah mantap dengan persiapan menghadapi SPMB, mencari kerja dan membangun rumah, bisa kita bayangkan generasi muslim-muslimat seperti apa yang akan terbentuk kelak? Generasi yang ….acak kadut, nggak banget deh!
Nah, kalau sudah begitu, tanggungjawab terletak pada siapa? Pemerintah atau tokoh masyarakat atau tokoh adat atau guru pendidik atau orangtua atau diri remaja itu sendiri?
Sekarang, sudah jelas-jelas bahwa banyak terjadi kedhzoliman dalam bentuk perselingkuhan, sampai ketingkat pelanggaran berat, yaitu had, perzinahan di masyarakat lingkungan kita, dan mungkin….naa ‘uudzu billaahi min dzaalik, kedhzoliman itu pun boleh jadi dalam keluarga dan kita sendiri yang melakukannya, dari akibat kurang matangnya persiapan pernikahan kita pada waktu itu.
Nasehat aku ini, aku tulis dan aku sampaikan bukan hanya khusus untuk remaja yang sudah “kebelet” nikah, tapi juga untuk kamu-kamu remaja usia menjelang nikah yang ingin memberi kontribusi untuk perbaikan anak muda sebagai generasi muslim-muslimat ini, juga untuk yang telah mempunyai do’i alias gebetan sebagai calon kekasih dalam pasangan hidup maupun bagi yang masih bertahan menjomblo sebagai bahan introspeksi bersama.
Pastinya aku dan keluarga aku pun bukan orang yang paling benar pandangannya tentang persiapan remaja usia nikah. Aku juga manusia, yang punya rasa, lupa dan salah, sama seperti kalian juga. Tapi kan, kita sama-sama ingin melihat perbaikan terjadi di tubuh remaja usia nikah ini, yang katanya sebagai generasi muda muslim-muslimat yang bermutu tinggi, pastinya. Dan oleh karena itu, para pengatur dan pengurus, wabil khusus aku sebagai muballigh dan sebagai orangtua dari seorang anak perempuan atu-atunya benar-benar sangat mengharapkan tulisan dari ungkapan isi hati aku ini nantinya dapat menjadi sarana untuk saling berpesan dalam hal kebenaran dan kesabaran.
Tujuan orangtua kalian pengumpulkan kamu-kamu, dan aku menulis nasehat ini bukannya ingin agar kamu-kamu habis ndengerin nasehat dari tulisan aku ini langsung nikah, bukan itu! Nasehat dari tulisan aku ini hanya ingin berbagi pengalaman dari orang-orang yang berkaitan dengan pernikahan yang sering curhat ke aku, kali aja ada manfa’atnya buat kamu-kamu yang lagi mendem cinta. Karena, banyak kisah dari mereka yang udah ngalami ngejalaninya dalam kisah nyata mereka, yang aku sajikan secara singkat, namun padat dan syarat dengan hikmahnya buat kamu-kamu sebagai remaja yang usianya menjelang nikah.
Aku tulis nasehat ini untuk kamu-kamu, karena banyaknya perbedaan motivasi orang dalam hal menikah. Nanti, aku ingin berbagi kepada kamu-kamu tentang persiapan apa saja yang perlu kamu-kamu ketahui, dan dilakukan jauh-jauh hari sebelum calon ditemukan. Sebelum muncul niat dan tanggal nikah ditentukan di hati kamu. Gimana? oke! Selamat mengikuti alur cerita aku ini. And jangan lupa, kamu-kamu jangan bilang ke ortu “masak tadi ngajinya pak ustadz ngajarin nyuruh kawin melulu” sebel Pah, Maah. Besok-besok aku nggak mau ikut lagi! ya Pah, Maah?
“Ampuun deh, malu aku”. Kata ustadz. H.Subandi Baiturrahman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar