Mempererat Tali Kerukunan

Tindakan anarkis serta kekerasan pada masyarakat sepertinya sudah menjadi cara akhir dalam menyelesaikan segenap permasalahan. Padahal, jika kita renungkan, permasalahan yang terjadi hanya dipicu oleh persoalan sepele.

Memang jika kita jujur, tindak kekerasan terjadi di kota-kota besar dan bahkan di daerah-daerah lainnya di Indonesia. Baik yang terjadi di masyarakat sipil, Aparat Kepolisian hingga Aparat Negara. Yang kita takutkan adalah, mengutip Ariyanto Nurcahyono dalam artikel ”Kekerasan sebagai fenomena budaya”, yang sangat mengkhawatirkan tindakan kekerasa sudah dianggap suatu kewajaran.

Gejala ini terlihat ketika mayoritas media massa kita senang menayangkan tema-tema kekerasan. Kecenderungan itu berlangsung secara terus-menerus dan setiap saat maka akibatnya manusia menjadi tidak peka bahkan menjadi mati rasa terhadap gejala serta prilaku kekerasan. Ditambah masih adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap Aparat Penegak Hukum.

Jadi cara main ’hakim sendiri’ yang kian marak di masyarakat kita merupakan gejala yang sangat mengkhawatirkan. Padahal ketika masyarakat sudah menganggap wajar tindakan kekerasan maka itu harus dilihat sebagai gejala krisis sosial, krisis kemanusiaan, dan krisis moralitas.


Satu hal yang mungkin dapat dipakai untuk pokok bahan renungan kita semua tanpa kecuali rasa persaudaraan sesama anak bangsa saat ini sudah memudar. Ikatan-ikatan persaudaraan sesama anak bangsa sedikit demi sedikit kian hilang. Egoisme dan fanatisme sempit kian menguat. Sehingga memporak-porandakan ikatan persaudaraan antar sesama warga.

Tali persaudaraan akan tercapai apabila jalinan persaudaraan sesama warga, mahluk ciptaan Allah SWT, terbina. Persaudaraan yang dimaksud bukan hanya sebatas antar sesama muslim akan tetapi dengan seluruh warga masyarakat yang boleh jadi sangat plural. Maka sikap terbuka dan toleran menjadi sebuah keniscayaan. Sebuah ungkapan yang populer namun sering mendapat pemaknaan yang keliru adalah ukhuwah Islâmiyyah. Ungkapan ini sering dipahami sebagai “persaudaraan antar sesama muslim”. Hal ini jelas tidak sesuai dengan Alquran.

Persaudaraan yang diajarkan Alquran tidak sebatas sesama Muslim, namun juga ukhuwah ‘ubudiyyah (persaudaraan dalam ketundukan kepada Allah), ukhuwah insāniyyah/basyariyyah (persaudaraan antar sesama manusia), ukhuwah wathaniyyah wa al-nasab (persaudaraan sebangsa dan seketurunan) dan ukhuwah fī dīn al-Islām (persaudaraan antar sesama). Agar tercipta suatu masyarakat rukun ialah yang terpenting adalah peranan dari pemerintah langsung dan partisipasi masyarakat itu sendiri sehingga terciptanya suatu konsep masyarakat ideal.

Masyarakat rukun juga dipahami segenap tingkah laku manusia yang dianggap sesuai; tidak melanggar norma-norma umum dan adat istiadat serta terintegrasi langsung dengan tingkah laku umum, dan terpenting tidak adanya kekerasan di ranah publik.

Dalam konteks membangun kehidupan masyarakat sipil yang berahlak mulia  dengan prinsip saling menghormati dan saling menghargai adalah dengan mengakui adanya perbedaan suku, agama, keyakinan, etnis dan latarbelakang masyarakat itu sendiri. Termasuk juga menghargai cara pandang dan cara pikir antar satu masyarakat dengan masyarakat lain. Meski berbeda-beda, tetap satu.

Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan dan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan serta mendukung keberadaan dan berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Pendidikan multikultural di sini sangat penting, agar rasa fanatisme tidak berkembang di tengah-tengah masyarakat. Karena patut kita akui, rasa fanatisme berlebihan itu kerap menimbulkan sesama warga saling ejek, saling merendahkan. Akibatnya, terjadi tindak kekerasan yang berujung pada kerusuhan. Rasa fanatisme boleh saja, asal diimplementasikan dalam bentuk karya kreativitas. Misalnya, dengan membuat kerajinan, atau produk-produk unggulan lainnya.

Tentunya melalui pendidikan multikulturalisme menjadi suatu kebutuhan. Pemberian materi-materi multikulturalisme di setiap sekolah bisa menjadi pintu masuk untuk memperkuat fondasi dan ideologi multikulturalisme. Pelajaran multikulturalisme di sekolah-sekolah juga sebagai pencegah terjadinya konflik sosial antar sukubangsa dan tindak kekerasan yang berbau etnis ataupun berbau organisasi etnis. Sehingga warga memiliki kesadaran tanggung jawab sebagai orang warga negara, sebagai warga sukubangsa dan kebudayaannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar