Zakat, Infaq & Shodaqoh

Zakat menurut bahasa artinya adalah “berkembang” (an namaa`) atau “pensucian” (at tath-hiir). Adapun menurut syara’, zakat adalah hak yang telah ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan pada harta-harta tertentu (haqqun muqaddarun yajibu fi amwalin mu’ayyanah).

Dengan perkataan “hak yang telah ditentukan besarnya” (haqqun muqaddarun), berarti zakat tidak mencakup hak-hak berupa pemberian harta yang besarnya tidak ditentukan, misalnya hibah, hadiah, wasiat, dan wakaf. Dengan perkataan “yang wajib (dikeluarkan)” (yajibu), berarti zakat tidak mencakup hak yang sifatnya sunnah atau tathowwu’, seperti shadaqoh tathowwu’ (sedekah sunnah). Sedangkan ungkapan “pada harta-harta tertentu” (fi amwaalin mu’ayyanah) berarti zakat tidak mencakup segala macam harta secara umum, melainkan hanya harta-harta tertentu yang telah ditetapkan berdasarkan nash-nash syara’ yang khusus, seperti emas, perak, onta, domba, dan sebagainya.


Bagaimana kaitan atau perbedaan definisi zakat ini dengan pengertian infaq dan shadaqoh? Infaq adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan (shorful maal ilal haajah). Dengan demikian, infaq mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding zakat. Dalam kategorisasinya, infak dapat diumpamakan dengan “alat transportasi” yang mencakup kereta api, mobil, bus, kapal, dan lain-lain, sedang zakat dapat diumpamakan dengan “mobil”, sebagai salah satu alat transportasi.
Maka hibah, hadiah, wasiat, wakaf, nadzar (untuk membelanjakan harta), nafkah kepada keluarga, kaffaroh (berupa harta), karena melanggar sumpah, melakukan zhihar, membunuh dengan sengaja, dan jima’ di siang hari bulan Romadhoon, adalah termasuk katagori infaq. Bahkan zakat itu sendiri juga termasuk salah satu kegiatan infaq. Sebab semua itu merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan pihak pemberi maupun pihak penerima.
Dengan kata lain, infaq merupakan kegiatan penggunaan harta secara konsumtif, yakni pembelanjaan atau pengeluaran harta untuk memenuhi kebutuhan bukan secara produktif, yaitu penggunaan harta untuk dikembangkan dan diputar lebih lanjut secara ekonomis (tanmiyatul maal).

Adapun istilah shodaqoh, maknanya berkisar pada 3 (tiga) pengertian berikut ini :
Pertama, shodaqoh adalah pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shodaqoh, tanpa disertai imbalan. Shodaqoh ini hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Karena itu, untuk membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha dari ahli ilmu menggunakan istilah shodaqoh tathowwu’ atau ash- shodaqoh an nafilah. Sedang untuk zakat, dipakai istilah Ash-Shodaqoh Al-Mafrudhoh. Namun hokum sunnah ini bisa menjadi harom, bila diketahui bahwa penerima shodaqoh akan memanfa’atkannya pada yang harom, sesuai kaidah syara’: “Al wasilatu ilal haram haram”, artinya: “Segala perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram pula”.

Bisa pula hukumnya menjadi wajib, misalnya untuk menolong orang yang berada dalam keadaan terpaksa (mudhthor) yang amat membutuhkan pertolongan, misalnya berupa makanan atau pakaian. Menolong mereka adalah untuk menghilangkan dhoror (izalah adh-dhoror) yang wajib hukumnya. Jika kewajiban ini tak dapat terlaksana kecuali dengan shodaqoh, maka shodaqoh menjadi wajib hukumnya, sesuai kaidah syara’: “ Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib”, artinya: “Segala sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tak terlaksana sempurna, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya”

Dalam ‘urf (kebiasaan) para fuqaha/ahli hadits, sebagaimana dapat dikaji dalam kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, jika disebut istilah shodaqoh secara mutlak, maka yang dimaksudkan adalah shodaqoh dalam arti yang pertama ini, yang hukumnya sunnah, bukan zakat.

Kedua, shaodaqoh adalah identik dengan zakat. Ini merupakan makna kedua dari shodaqoh, sebab dalam nash-nash syara’ terdapat lafadhz “shodaqoh” yang berarti zakat. Misalnya firman Allah Ta’alaa: “Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat …” (QS At-Taubah, ayat : 60)

Dalam ayat tersebut, “zakat-zakat” diungkapkan dengan lafadhz “ash-shodaqoot”. Begitu pula sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam kepada Mu’adz bin Jabal Rodhiyallohu ‘Anhu ketika dia diutus Nabi ke Yaman: Yang artinya: “…beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Alloh telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada hadits di atas, kata “zakat” diungkapkan dengan kata “shodaqoh”.

Berdasarkan nash-nash ini dan yang semisalnya, shodaqoh merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian, penggunaan kata shodaqoh dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak. Artinya, untuk mengartikan shodaqoh sebagai zakat, dibutuhkan qorinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kata shodaqoh dalam konteks ayat atau hadits tertentu, artinya adalah zakat yang berhukum wajib, bukan shodaqoh tathowwu’ yang berhukum sunnah. Pada ayat ke-60 surat At-Taubah di atas, lafadhz “ash- shodaqoot” diartikan sebagai zakat (yang hukumnya wajib), karena pada ujung ayat terdapat ungkapan “faridhotan minalloh” (sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Alloh). Ungkapan ini merupakan qorinah, yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan lafadhz “ash-shodaqoot” dalam ayat tadi, adalah zakat yang wajib, bukan shodaqoh yang lain-lain.

Begitu pula pada hadits Mu’adz, kata “shodaqoh” diartikan sebagai zakat, karena pada awal hadits terdapat lafadhz “iftarodho” (mewajibkan/mem-fardhu-kan). Ini merupakan qorinah bahwa yang dimaksud dengan “shodaqoh” pada hadits itu, adalah zakat, bukan yang lain. Dengan demikian, kata “shodaqoh” tidak dapat diartikan sebagai “zakat”, kecuali bila terdapat qorinah yang menunjukkannya.

Ketiga, shodaqoh adalah sesuatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syara’). Pengertian ini didasarkan pada hadits shohih riwayat Imam Muslim, bahwa Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda: “Kullu ma’rufin shodaqotun”, artinya: “Setiap kebajikan, adalah shodaqoh.

Berdasarkan ini, maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah shodaqoh, memberi nafkah kepada keluarga adalah shodaqoh, berammar ma’ruf nahi munkar adalah shodaqoh, menumpahkan syahwat kepada isteri adalah shodaqoh, dan tersenyum kepada sesama muslim pun adalah juga shodaqoh.

Shodaqoh adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari Alloh Ta’alaa. Pemberian (al-‘athiyah) di sini dapat diartikan secara luas, baik pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang berupa suatu sikap atau perbuatan baik.

Jika demikian halnya, berarti membayar zakat dan bershodaqoh (harta) pun bisa dimasukkan dalam pengertian di atas. Tentu saja, makna yang demikian ini bisa menimbulkan kerancuan dengan arti shodaqoh yang pertama atau kedua, dikarenakan maknanya yang amat luas. Karena itu, bahwa shodaqoh di sini memiliki arti majazi (kiasan/metaforis), bukan arti yang hakiki (arti asal/sebenarnya). Segala perbuatan baik dihitung sebagai shodaqoh, karena disamakan dengan shodaqoh (berupa harta) dari segi pahalanya (min haitsu tsawab). Misalnya, mencegah diri dari perbuatan dosa disebut shodaqoh, karena perbuatan ini berpahala sebagaimana halnya shodaqoh. Ammar ma’ruf nahi munkar disebut shodaqoh, karena aktifitas ini berpahala seperti halnya shodaqoh. Dan lain sebagainya.

Walhasil, sebagaimana halnya makna shodaqoh yang kedua, makna shodaqoh yang ketiga ini pun bersifat tidak mutlak. Maksudnya, jika dalam sebuah ayat atau hadits terdapat kata “shodaqoh”, tak otomatis dia bermakna segala sesuatu yang ma’ruf, kecuali jika terdapat qorinah yang menunjukkannya. Sebab sudah menjadi hal yang lazim dan masyhur dalam ilmu ushul fiqih, bahwa suatu lafadhz  pada awalnya harus diartikan sesuai makna hakikinya. Tidaklah dialihkan maknanya menjadi makna majazi, kecuali jika terdapat qorinah. Sebagaimana sebuah kaidah ushul menyebutkan: “Al-Ashlu fil kalaam al-haqiqoh.”, artinya: “Pada asalnya suatu kata harus diartikan secara hakiki (makna aslinya).” Namun demikian, bisa saja lafadhz  “shodaqoh” dalam satu nash bisa memiliki lebih dari satu makna, tergantung dari qorinah yang menunjukkannya. Maka bisa saja, “shodaqoh” dalam satu nash berarti zakat sekaligus berarti shodaqoh sunnah. Misalnya firman Alloh: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (At-Taubah, ayat: 103)

Kata “shodaqoh” pada ayat di atas dapat diartikan “zakat”, karena kalimat sesudahnya “kamu membersihkan dan mensucikan mereka” menunjukkan makna bahasa dari zakat yaitu “thot-hiir” (mensucikan). Dapat pula diartikan sebagai “shodaqoh” (yang bersifat sunnah), karena asbabun nuzulnya berkaitan dengan harta shodaqoh, bukan zakat. Menurut Ibnu Katsir, ayat ini turun sehubungan dengan beberapa orang yang tertinggal dari Perang Tabuk, lalu bertobat seraya berusaha menginfakkan hartanya. Jadi penginfakan harta mereka, lebih bermakna sebagai “penebus” dosa daripada zakat.

Karena itu, Ibnu Katsir berpendapat bahwa kata “shodaqoh” dalam ayat di atas bermakna umum, bisa shodaqoh wajib (zakat) atau shodaqoh sunnah. Atau “shodaqoh” dalam ayat di atas dapat bermakna zakat yang wajib, maupun shodaqoh tathowwu’. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar