Gerakan ini dinamakan Wahhabiyah, muncul sekitar akhir abad 18. Pendirinya seorang ulama terkemuka di zamannya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan tujuannya memurnikan ajaran Islam yang sudah tercemar oleh praktik kemusyrikan, bid’ah dan khurafat. Dia dan para pengikutnya bercita-cita untuk mengembalikan ajaran Islam seperti yang dipraktikkan pada masa Rasul oleh generasi sahabat dan salaf al salih, karena dalam pandangan mereka hanya dengan cara ini masyarakat Islam bisa bangkit dari keterpurukan dan kemundurannya. Untuk itu mereka menyerukan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah, melakukan ijtihad, dan meninggalkan taqlid.
Mungkin disebabkan lokasi tempat berkembangnya yang strategis, yaitu Saudi Arabia, gagasan pembaharuan yang diusungnya segera menggema di seantero dunia. Kata Isma’il Raji al-Faruqi, ia menyebar bagaikan api liar (spread in the last century like wildfire throughout the Muslim world). Ia bergema di India, Sudan, tak terkecuali Indonesia. Bahkan di negara terakhir ini, gagasan pemurnian akidahnya telah menjadi pemicu lahirnya kaum Padri dan organisasi Muhammadiyah.
Wahhabiyah dan Jihad
Sangat disayangkan bahwa dalam wacana pemikiran hari ini gambaran di atas tadi hampir tak pernah kedengaran. Wahhabi lebih selalu diidentikkan dengan radikalisme, militanisme, dan fundamentalisme. Para pengikutnya dikatakan tidak toleran dan tidak bisa menghargai perbedaan, rigid (kaku) dan literalis, simplistik serta fanatik. Ia juga dikatakan anti sufisme dan hal hal yang bersifat filosofis-spekulatif. Bahasa mereka, kata pengkritiknya, adalah kekerasan dan kebencian. Bahkan mereka dikatakan sanggup melakukan pembunuhan terhadap orang yang berseberangan dengan prinsip dan akidah mereka.
Demikianlah gambaran yang terekam dalam buku orang-orang seperti Stephen Schwartz, The Two Faces of Islam:
The House of Sa’ud from Tradition to Terror, Nina Shea, direktur Center for Religious Freedom, Saudi Publication on Hate Ideology Fill American Mosques,” dan lain-lain.
Dengan gambaran seperti itu, tidak heran jika banyak para analis dan pengamat politik yang menuduh gerakan ini di balik peristiwa 11 September 2001, peristiwa bom London, Madrid, Bali, dan yang terakhir peristiwa Bom Kuningan, Juli 2009. Lebih jauh lagi, seorang muallaf Yahudi neo-con yang bergabung dengan kelompok sufi Naqsyabandiyah Hisyam Kabbani, Stephen Schwarts, dalam wawancaranya dengan National Review menyatakan bahwa gerakan Wahhabiyah inilah yang memberikan inspirasi kepada gerakan perlawanan di Afghanistan, Palestina, Irak, Kashmir hingga sampai ke Chechnya.
Politik Adu Domba
Dalam berhadapan dengan persoalan seperti ini, para tokoh masyarakat serta cerdik cendekia Muslim dituntut untuk lebih bijaksana, menghindar dan melakukan tuduhan secara sarkastik. Hal ini perlu dilakukan karena kita khawatir jangan-jangan isu Wahhabisme dan terorisme adalah bagian dan “fitnah atau perangkap” global yang sedang “dimainkan” oleh orang berkepentingan, yang ingin memecah kekuatan serta konsentrasi umat. Jangan sampai kita terjerumus dalam politik adu domba seperti yang pernah terjadi pada zaman penjajahan.
Kekhawatiran ini terdengar berlebihan, tapi ia bukan tanpa alasan. Mungkin menarik untuk membaca hasil penelitian yang dilakukan oleh Cheryl Benard dkk. yang berjudul Building Moderate Muslim Network (Membangun Jaringan Muslim Moderat). Penelitian ini diterbitkan oleh RAND Corporation tahun 2007, dan oleh Smith Richardson Foundation. Dan ia diharapkan bisa menjadi “road map” dalam berhadapan dengan kelompok yang mereka kategorikan fundamentalis.
Dalam penilitian ini disarankan agar pemerintah Amerika segera membangun hubungan baik dengan kelompok yang mereka sebut “potential partner.” Termasuk dalam kelompok ini adalah Muslim liberal dan sekuler, Muslim tradisionalis, dan kelompok sufis. Karena menurut penelitian ini hanya mereka yang bisa menahan gerak laju kelompok yang mereka namakan fundamentalis, yaitu mereka yang menolak pemisahan negara dan politik dan menuntut penerapan Syariat Islam. Dengan bahasa yang lugas para peniliti tersebut mengatakan bahwa Muslim tradisionalis dan kaum sufi adalah sekutu alaminya Barat, karena kelompok ini merupakan salah satu korbannya kaum Wahhabi, (Because of their victimization by Salafis and Wahhabis, traditionalists and Sufisare natural allies of the West to the extent that common ground can be found with them). Abdeslam M Maghraoui dalam makalahnya yang berjudul, American Foreign Policy and Islamic Renewal, mengafirmasi kesimpulan penelitian di atas.
Menurut Abdeslam pemerintah Amerika sudah sewajarnya untuk mengambil langkah penting dan strategik dengan memberi dukungan terhadap gerakan “pembaharuan Islam” seperti yang digelontorkan oleh JIL (Jaringan Islam Liberal) dan ICIP (International Center for Islam and Pluralism) di Indonesia atau Sister in Islam di Malaysia dalam usahnya untuk memenangkan pertarungan melawan terorisme. Jadi sesungguhnya tidak heran, jika di TV dan media
massa kita selalu mendengar teriakan kelompok “pembaharu” ini yang menyerang dan mengkritik habis-habisan kelompok Wahhabi dan salafi. Mungkin saja strategi yang disarankan ini sedang dimainkan di Indonesia.
Ibn Abdul Wahhab dan Jihad
Di tengah maraknya kecaman dan kritikan terhadap Abdul Wahhab, ada sebuah disertasi doktor dengan judul Muhammad bin Abdul Wahhab: An Intellectual Biography yang menarik untuk dicermati, Disertasi yang dibimbing oleh Prof. John L Esposito ini ditulis oleh Natana Delong-Bas diajukan pada Fakultas Sejarah, Georgetown University, pada November 2002. Penilitian ini sendiri dimulai sejak November 1998, jauh sebelum peristiwa 11 September 2001. Disertasi ini sudah dibukukan dan diberi judul Wahhabi Islam: From Revival and Reform to Global Islam (London: IB Tauris, 2004).
Berbeda dengan wajah seram yang selama ini dipertontonkan oleh media massa dan beberapa penulis tentang Abdul Wahhab dan gerakan pembaharuan yang dimotorinya, Delong-Bas ingin menguak wajah lain dan ajaran yang dibawa sang syekh. Dan itu dibuatnya berdasarkan tulisan tulisan Abdul Wahhab sendiri dan keterangan orang-orang yang sezamannya. Menurut Delong Bas, Abdul Wahhab mengembangkan sebuah pandangan hidup (worldview) didasarkan pada penjagaan dan pemeliharaan jiwa manusia (preservation of human life), mengembangkan sikap toleransi terhadap penganut agama lain, serta mendukung adanya keseimbangan hak antara laki laki dan wanita.
Menurut Delong-Bas jihad bukanlah tujuan utama dan pertama dari gerakan Wahhabi. Abdul Wahhab sendiri tidak mengajak pengikutnya untuk syahid atau jihad. Jihad menurutnya hanya fardhu kifayah bukan fard ‘ayn seperti yang diyakini kebanyakan para mufassir Muslim klasik. Jihad juga bukan dijalankan pada tataran individu, tapi negara. Dan oleh sebab itu hanya imamlah yang berhak untuk mendeklarasikan aksi militer, dan itupun harus atas alasan agama dan dengan maksud untuk mempertahankan din (self-defense), bukan untuk kepentingan pribadi atau mencari kekayaan. (Delong Bas, Muhammad bin Abdul Wahhab, 217).
Delong-Bas selanjutnya menjelaskan bahwa Abdul Wahhab tidak membenarkan melakukan kekerasan (violence) terhadap mereka yang berseberangan dengannya selama, orang tersebut tidak melakukan agresi terhadap umat Islam. Demikian juga Abdul Wahhab melarang melakukan penyerangan terhadap Muslim yang berbuat maksiat seperti minum khamar atau orang yang memiliki ikatan perjanjian atau hubungan bisnis dengan orang tersebut. Oleh sebab itu, jika musuh mengirimkan utusan dagangnya ke negara Muslim, orang tersebut berhak mendapatkan proteksi dari orang Islam, kecuali jika orang tersebut bekerja memata-matai, maka dia layak diperlakukan laiknya seorang musuh.
Apa yang lebih menarik adalah bahwa Abdul Wahhab juga tidak membenarkan memerangi kaum musyrik, penyembah berhala, orang Kristen atau Yahudi. Mereka haruslah terlebih dahulu didekati melaui pendidikan dan dialog. Karena hanya dengan cara demikian, hati mereka bisa ditaklukkan. Di samping itu dia juga percaya bahwa konversi agama tidak mungkin bisa dengan paksaan, tapi haruslah datang dari hati terdalam. Menurut Abdul Wahhab jihad mestilah didahului dengan dakwah. Kita tidak dibenarkan membunuh atau melakukan invasi Delong-Bas mengutip pernyataan Abdul Wahhab. Hal ini penting dilakukan karena jihad hanya dilancarkan terhadap orang yang menentang Islam. Dan musuh tersebut harus diberikan kesempatan untuk masuk Islam atau menolaknya sehingga dengan demikian ada alasan untuk memeranginya.
Disertasi Delong-Bas jelas merupakan satu terobosan baru dalam kajian tentang Abdul Wahhab dan gerakannya. Dan sudah pasti tidak semua kalangan terpuaskan. Karyanya ini pun menuai banyak kritik terutama mereka yang phobia dengan Islam. Oleh sebagian orang dia dijuluki dengan opologist Muslim karena dianggap tidak mewakili mainstream pemikiran yang ada di Barat.
Akan tetapi, paling tidak ini membuka nuansa baru tentang pemikiran Abdul Wahhab. Sayang kajian ini datang dari pusat orientalis dan dari tangan orang yang bukan seagama dengan Abdul Wahhab. Oleh sebab itu, adalah menjadi kewajiban kita sebagai Muslim untuk lebih intens melakukan kajian terhadap pikiran sang Pembaharu ini agar kita tidak ikut-ikutan dengan rentak orang lain yang memang sengaja membuat kekenuhan sesama kita. Wallahu a’lam.
(Catatan : Nama Wahhabi atau Wahabiyah sendiri diberikan oleh orang-orang yang tidak suka dengan gerakan dakwahnya untuk memberikan stigma yang negatif terhadap beliau dan pengikutnya meski keliru sebab wahhab adalah bagian dari nama bapaknya, Abdul Wahhab, jika mau fair seharusnya mereka memberikan nama Muhammadi atau Muhammadiyah tapi efeknya akan berbalik dari tujuan awal mereka).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar