Takut Kaya - (Siapa Takut ?)

Terasa ironis, kalau kita membaca judul itu. Dan mungkin sikap sinis akan lebih pas untuk menghadapinya. Sebab ditengah hingar-bingar dunia dimana orang berlomba menjadi kaya ada orang yang punya semangat : takut kaya. Aneh? Tapi tunggu dulu, kita simak uraian berikut.

Saya masih teringat cerita Pak Thoyib Blawe (salah satu mentor saya), buat apa sih kita takut miskin? Ingat kita itu dilahirkan dalam keadaan miskin. Tidak punya apa-apa. Tidak berbaju. Nggak pakai celana. Tidak berdaya dan tidak bisa apa-apa. Seandainya dibiarkan tergeletak, pasti mati dirubung semut. Jadi gawan bayi kita itu miskin. Oleh karenanya kita tidak perlu lagi takut miskin, tapi taklutlah dengan kaya. Sebab kita belum pernah merasakannya.

Tutur yang lentur yang dibawakan khas almarhum waktu itu, terasa manjur. Suasana begitu mengemuka. Tentram. Padang. Pituahnya mengena. Mengisi relung-relung hati yang terbuka. Termasuk saya yang waktu itu bercita-cita jadi orang kaya.

Pada kesempatan yang lain, salah seorang teman saya yang kaya (aghnia) bercerita bahwa betapa terharunya dia melihat kegiatan istrinya yang begitu sibuk dari waktu ke waktu untuk mengurusi urusan rumah tangga. Ternyata tugas seorang istri itu berat. Sebelah saya bilang tugas istri itu dari matahari terbit sampai mata suami terpejam. Bukan sampai matahari tenggelam, sebab jamnya beda. Ternyata dia selama ini tidak memperhatikan. Luput. Hanya perintah-perintah saja. Semua serba tersedia, cumepak. Cemawis. Dia baru meresapi dan merasakan ketika libur lebaran kemarin. Tatkala tidak ada lagi pembantu di rumah. Apa yang selama ini dia anggap ringan, enteng dan gampang ternyata begitu berat melakukan. Memang bisa tapi tidak sesuai dengan standar. Malah ngacau, kata istrinya. Itulah salah satu konsekuensinya – menjadi orang kaya.

Teman dekat saya juga bercerita bahwa istrinya sering mengeluh; saya jangan diasingkan dong, katanya. Masak pergi petang pulang malam. Sendirian terus dengan anak-anaknya. Keluhan yang beralasan. Sering ditinggal untuk mencari maisyah dan pengin menjadi kaya. Sayangnya kaya itu belum juga datang.

Kaya hampir identik dengan uang. Siapa yang punya uang banyak dia akan mudah mendapatkan yang dia suka. Dan orang-orang berlomba memburu uang untuk menjadi kaya. Namun dalam perburuan itu ada pengorbanan. Ada modal, yaitu waktu. Orang yang sibuk mencari uang pasti akan mengalokasikan waktu yang lebih banyak untuknya. Akibatnya waktu untuk yang lain akan berkurang. Oleh karena itu berhati-hatilah. Sudah banyak contoh di sekitar kita ini. Rumah tangga yang hancur gara-gara ditinggal sibuk mencari uang. Anaknya keperosok narkoba, istri selingkuh dan rumah tangga yang acuh tak acuh. Pendidikan anak kacau. Kebersamaan hancur. Tak ada cukup waktu untuk berbagi.

Jadi, saya kira tepat idiom Pak Thoyeb almarhum agar dalam diri kita ada spirit takut kaya. Dalam arti kita mempersiapkan diri dengan baik dalam meraih dan menjadi orang kaya. Tidak ada larangan menjadi kaya. Sebagaimana kata Nabi SAW, la ba’sa bil ghina – tak mengapa menjadi kaya, asal bisa dan siap menerima konsekuensinya. Bisa menjaga sikap, mengatur waktu dan tatakrama. Siap membelanjakan harta itu di jalan yang benar sesuai Qur’an dan Hadist (QH). Bahkan contoh iri juga salah satunya pada orang yang kaya yang bisa membelanjakan hartanya sampai habis dalam Sabilillah untuk ini, ini dan ini.

Spirit takut kaya ini juga seiring dengan redaksi hadist, bahwa nanti orang yang kaya tertunda masuk surga selama 500 tahun dari pada orang miskin di akhirat nanti. Padahal, suruh menunggu 10 menit saja, bagi orang kaya di dunia ini, rasanya sudah lama sekali. Semua urusan harus serba cepat. Sebab dia kaya. Apalagi harus menunggu selama 500 tahun. Jadi inilah pilihannya.

Bagaimana dengan miskin? Hadist menyatakan, kadal faqru aiyakunna kufron. Hampir kefakiran itu mendekatkan pada kekufuran. Dari bahasa, hampir itu sama dengan tidak, dan hadist di atas (masalah kaya) lebih masyhur daripada hadist di bawah (masalah miskin) ini. Oleh karena itu berhati-hatilah. Siapkan diri, mental dan ilmunya sebelum menjadi orang kaya.

Jadi sekarang : masih takut kaya atau takut miskin? Atau siapa takut? Atau takut siapa? Dilarang bingung sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar