Sebagai orang iman, ada ketentuan yang
harus diikuti dalam menyembelih hewan ternak. Di antaranya adalah
hadits Rosulullohi shollallohu ‘alaihi wasallam, yang artinya:
“Sesungguhnya Alloh menetapkan ihsan (kebaikan) pada segala sesuatu.
Maka jika kalian membunuh hendaklah kalian berbuat ihsan dalam membunuh
dan apabila kalian menyembelih, maka hendaklah kalian berbuat ihsan
dalam menyembelih, (yai...tu) hendaklah salah seorang dari kalian
menajamkan pisaunya agar meringankan binatang yang disembelihkan.” (HR.
Muslim)
Kandungan hadits ini agaknya “sulit” untuk dijelaskan kepada orang non-Muslim. Betapa tidak, di dalamnya terdapat ungkapan kata seakan-akan Alloh memerintahkan kita untuk “membunuh”. Apalagi secara eksplisit disebutkan pengertian “...tajamkanlah pisaunya...!” Bukankah ini menunjukkan bahwa umat Islam memang disuruh dan dilatih untuk membunuh dengan “kejam”. Namun terdapat pula ungkapan yang mungkin dianggap aneh, “...meringankan binatang yang disembelih...” (Apakah tidak aneh, membunuh kok menggunakan ungkapan basa-basi, “meringankan binatang yang disembelih...” Padahal jelas, disembelih itu kan tentu menimbulkan rasa sakit yang sangat, bahkan sampai menyebabkan kematian!)
Bagi kita, umat Islam, apa pun haditsnya, isinya, dan konteksnya, yang jelas itu adalah sebuah riwayat yang shohih, oleh Imam Muslim. Seorang ulma’ hadits yang telah teruji kebenarannya. Dan sebagai umat Islam, kita tentu meyakini bahwa Syari’at Islam, seperti yang terkandung dalam hadits tersebut, adalah syari’at yang “ya’lu wa laa yu’la ‘alaihi” (yang terbaik serta paling tinggi, dan tidak ada yang dapat menandingi keunggulannya).
Tetapi, keyakinan kita ini sangat berbeda dengan pendapat orang-orang Barat. Menurut mereka, Syari’at Islam itu merupakan contoh nyata betapa ajaran Islam sangat tidak manusiawi, dan kelompok/umat Islam adalah umat yang bengis. Diajarkan dan dilatih untuk suka berbuat bengis dan suka menganiaya binatang ternak. Di antara buktinya, masih menurut merekalagi, setiap tahun umat Islam mengikat hewan ternak, kemudian menyembelih/membantainya secra beramai-ramai. Ternak-ternak itu tidak berdaya, hanya bisa meronta-ronta dan mengerang kesakitan saat disembelih. Betapa teganya orang Islam.
Menurut mereka lagi, kalau ingin mengkonsumsi daging binatang ternak, maka haruslah dengan cara yang baik. Bukan menyembelihnya secara kejam. Dan cara yang baik itu, merurut mereka adalah dengan memingsankan hewan ternak itu terlebih dahulu, baru disembelih (dalam keadaan pingsan). Dalam hal ini pemingsanan itu dapat dilakukan dengan berbagai alat, seperti stunning gun, pembiusan, atau menggunakan arus listrik. Selain itu, metode pemingsanan terbaik yang sering mereka lakukan adalah dengan cara memukul bagian tertentu di kepala ternak dengan alat tertentu, dengan beban dan kecepatan yang tertentu pula. Alat yang dipakai untuk memingsankan ternak itu, di antaranya adalah Captive Bolt Pistol (KBP). Menurut mereka, 8inilah cara yang terbaik dan lebih “manuasiawi”. Cara ini juga, menurut mereka lagi, dapat melindungi pekerja dari kemungkinan kecelakaan karena hewan meronta-ronta ketika disembelih. Setelah pigsan, menurut mereka juga, hewan itu tidak akan merasa kesakitan bila disembelih. Carqa seperti ini mereka yakini sebagai cara yang terbaik. Karena hewan tidak meronta-ronta, tidak tampak kesakitan, dan ‘sepertinya’ tidak merasakan sakit (karena telah pingsan).
Begitulah tuduhan dan hujatan mereka. Memang tamapknya sangat sulit bagi kita untuk ‘membela diri’, walau sekedar untuk berargumentasi. Boleh jadi pula kita memang tidak bisa mengelak atas tuduhan itu, atau bahkan sebagian kita malah membenarkan tuduhan miring itu?
Lantas bagaimana kita menyikapi tuduhan miring itu? Menolak tanpa bisa memberi argumentasi (bantahan) yang rasional atau menerima saja tuduhan itu dengan setengah hati, yang berarti ‘membenarkan’ tuduhan mereka itu? Apakah memang sangat sulit bagi kita yang orang iman untuk meyakinkan diri sendiri bahwa Syari’at Islam adalah yang terbaik?
Di tengah-tengah kegundahan karena tundingan dan tantangan itu, melalui penelitian ilmiah yang dilakukan oleh dua staf ahli peternakan dari Hannover University, sebuah universitas terkemuka di Jerman, yaitu Prof. Dr. Scultz dan koleganya, Dr Hazim. Keduanya memimpin satu tim penelitian terstruktur untuk menjawab pertanyaan, “manakah yang lebih baik dan paling tidak sakit, penyembelihan secara Syari’at Islam yang murni (tanpa proses pemingsanan) ataukah penyembelihan dengan cara Barat (dengan cara pemingsanan)?
Keduanya merancang penelitian sangat canggih, mempergunakan sekelompok sapi yang telah cukup umur (dewasa). Pada permukaan otak kecil sapi-sapi itu dipasang elektroda (microchip) yang disebut Electro-Encephalograph (EEG). Microchip EEG dipasang dipermukaan otak yang menyentuh titik (panel) rasa sakit di permukaan otak, untuk merekan dan mencatat derajat rasa sakit sapi ketika disembelih. Di jantung sapi-sapi itu juga dipasang Electro Cardiograph (ECG) untuk merekam aktivitas jantung saat darah keluar karena disembelih.
Untuk menekan kesalahan, sapi dibiarkan beradaptasi dengan EEG maupun ECG yang telah terpasang di tubuhnya selama beberapa minggu. Setelah masa adaptasi dianggap cukup, maka separuh sapi disembelih sesuai dengan syari’at Islam yang murni, dan seperuh sisanya disembelih dengan menggunakan metode pemingsanan yang diadopsi Barat.
Dalam syari’at Islam, penyembelihan dilakukan dengan menggunakan pisau yang tajam, dengan memotong tiga saluran pada leher bagian depan, yakni saluran makanan, saluran nafas serta dua saluran pembuluh darah, yaitu arteri karotis dan vena jugularis.
Patut pula diketahui, syari’at Islam tidak merekomendasikan metoda atau teknik pemingsanan. Sebaliknya, Metode Barat justru mengajarkan atau bahkan mengharuskan agar ternak dipingsankan terlebih dahulu sebelum disembelih.
Selama penelitian. EEG dan ECG pada seluruh ternak sapi itu dicatat untuk merekam dan mengetahui keadaan otak dan jantung sejak sebelum pemingsanan (atau penyembelihan) hingga ternak itu benar-benar mati. Nah, hasil penelitian inilah yang sangat ditunggu-tunggu!
Dari hasil penelitian yang dilakukan dan dilaporkan oleh Prof. Sehultz dan Dr. Hazim di Hannover University Jerman itu dapat diperoleh beberapa hal, sbb:
Penyembelihan menurut Syari’at Islam
Hasil penelitian dengan menerapkan praktek penyembelihan menurut Syar’at Islam menunjukkan:
Pertama, pada 3 detik pertama setelah ternak disembelih (dan ketiga saluran pada leher sapi bagian depan terputus), tercatat tidak ada perubahan pada grafik EEG. Hal ini berarti bahwa pada 3 detik pertama setelah disembelih itu tidak ada indikasi rasa sakit.
Kedua, pada 3 detik berikutnya, EEG pada otak kecil merekam adanya penurunan grafik secara bertahap yang sangat mirip dengan kejadian deep sleep (tidur nyenyak) hingga sapi-sapi itu benar-benar kehilangan kesadaran. Pada saat tersebut, tercatat pula oleh ECG bahwa jantung mulai meningkat aktivitasnya.
Ketiga, setelah 6 detik pertama itu, ECG pada jantung merekam adanya aktivitas luar biasa dari jantung untuk menarik sebanyak mungkin darah dari seluruh anggota tubuh dan memompanya keluar. Hal ini merupakan refleksi gerakan koordinasi antara jantung dan sumsum tulang belakang (spinal cord). Pada saat darah keluar melalui ketiga saluran yang terputus di bagian leher tersebut, grafik EEG tidak naik, tapi justru drop (turun) sampai ke zero level (angka nol). Hal ini diterjemakan oleh kedua peneliti ahli itu bahwa: “No feeling of pain at all!” (tidak ada rasa sakit sama sekali)
Keempat, karena darah tertarik dan terpompa oleh jantung keluar tubuh secara maksimal, maka dihasilkan healthy meat (daging yang sehat) yang layak dikonsumsi bagi manusia. Jenis daging dari hasil sembelihan semacam ini sangat sesuai dengan prinsip Good Manufacturing Practise (GMP) yang menghasilkan Healthy food.
Penyembelihan Cara Barat
Pertama, segera setelah dilakukan proses stunning (pemingsanan), sapi terhuyung jatuh dan collaps (roboh). Setelah itu, sapi tidak bergerak-gerak lagi, sehingga mudah dikendalikan. Oleh karena itu, sapi dapat pula dengan mudah disembelih tanpa meronta-ronta, dan (tampaknya) tanpa (mengalami) rasa sakit. Pada saat disembelih, darah yang keluar hanya sedikit, tidak sebanyak bila disembelih tanpa proses stunning (pemingsanan).
Kedua, segera setelah proses pemingsanan, tercatat adanya kenaikan yang sangat nyata pada grafik EEG. Hal itu mengindikasikan adanya tekanan rasa sakit yang diderita oleh ternak (karena kepalanya dipukul sampai jatuh pingsan).
Ketiga, grafik EEG meningkat sangat tajam dengan kombinasi grafik ECG yang drop ke batas paling bawah. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan rasa sakit yang luar biasa. Sehingga jantung berhenti berdetak lebih awal. Akibatnya, jantung kehilangan kemampuannya untuk menarik dari seluruh organ tubuh, serta tidak lagi mampu memompanya keluar dari tubuh.
Keempat, karena darah tidak tertarik dan tidak terpompa keluar tubuh secara maksimal, maka darah itu pun membeku di dalam urat-urat darah dan daging, sehingga dihasilkan unhealty meat (daging yang tidak sehat), yang dengan demikian menjadi tidak layak untuk dikonsumsi oleh manusia. Disebutkan dalam khazanah ilmu dan teknologi daging, bahwa timbunan darah beku 9yang tidak keluar saat ternak mati/disembelih) merupakan tempat atau media yang sangat baik bagi tumbuh-kembangnya bakteri pembusuk, yang merupakan agen utama merusak kualitas daging.
Bukan Ekspresi Rasa Sakit!
Meronta-ronta dan meregangkan otot pada saat ternak disembelih ternyata bukanlah ekspresi rasa sakit! Sangat jauh berbeda dengan dugaan kita sebelumnya! Bahkan mungkin sudah lazim menjadi keyakinan kita bersama, bahwa setiap darah yang keluar dari anggota tubuh yang terluka, pastilah disertai rasa sakit dan nyeri. Terlebih lagi yang terluka adalah leher dengan luka terbuka yang menganga lebar...!
Hasil penelitian Prof. Schultz dan Dr. Hazim justru membuktikan yang sebaliknya. Yakni bahwa pisau tajam yang mengiris leher (sebagai syari’at Islam dalam penyembelihan ternak) ternyata tidaklah “menyentuh” syaraf rasa sakit. Oleh karenanya kedua peneliti ahli itu menyimpulkan bahwa sapi meronta-ronta dan meregangkan otot bukanlah sebagai ekspresi rasa sakit, melainkan sebagai ekspresi ‘keterkejutan otak dan syaraf’ saja (yaitu pada saat darah mengalir keluar dengan deras). Mengapa demikian? Hal ini tentu tidak terlalu sulit untuk dijelaskan, karena grafik EEG tidak membuktikan juga tidak menunjukkan adanya rasa sakit itu!
Disadur dan diringkas oleh Usman Effendi AS., dari makalah tulisan Nanung Dananr Dono, S.Pt., M.P., Sekretaris Eksekutif LP.POM-MUI Propinsi DIY dan Dosen Fakultas Peternakan UGM Yogyakarta.
Kandungan hadits ini agaknya “sulit” untuk dijelaskan kepada orang non-Muslim. Betapa tidak, di dalamnya terdapat ungkapan kata seakan-akan Alloh memerintahkan kita untuk “membunuh”. Apalagi secara eksplisit disebutkan pengertian “...tajamkanlah pisaunya...!” Bukankah ini menunjukkan bahwa umat Islam memang disuruh dan dilatih untuk membunuh dengan “kejam”. Namun terdapat pula ungkapan yang mungkin dianggap aneh, “...meringankan binatang yang disembelih...” (Apakah tidak aneh, membunuh kok menggunakan ungkapan basa-basi, “meringankan binatang yang disembelih...” Padahal jelas, disembelih itu kan tentu menimbulkan rasa sakit yang sangat, bahkan sampai menyebabkan kematian!)
Bagi kita, umat Islam, apa pun haditsnya, isinya, dan konteksnya, yang jelas itu adalah sebuah riwayat yang shohih, oleh Imam Muslim. Seorang ulma’ hadits yang telah teruji kebenarannya. Dan sebagai umat Islam, kita tentu meyakini bahwa Syari’at Islam, seperti yang terkandung dalam hadits tersebut, adalah syari’at yang “ya’lu wa laa yu’la ‘alaihi” (yang terbaik serta paling tinggi, dan tidak ada yang dapat menandingi keunggulannya).
Tetapi, keyakinan kita ini sangat berbeda dengan pendapat orang-orang Barat. Menurut mereka, Syari’at Islam itu merupakan contoh nyata betapa ajaran Islam sangat tidak manusiawi, dan kelompok/umat Islam adalah umat yang bengis. Diajarkan dan dilatih untuk suka berbuat bengis dan suka menganiaya binatang ternak. Di antara buktinya, masih menurut merekalagi, setiap tahun umat Islam mengikat hewan ternak, kemudian menyembelih/membantainya secra beramai-ramai. Ternak-ternak itu tidak berdaya, hanya bisa meronta-ronta dan mengerang kesakitan saat disembelih. Betapa teganya orang Islam.
Menurut mereka lagi, kalau ingin mengkonsumsi daging binatang ternak, maka haruslah dengan cara yang baik. Bukan menyembelihnya secara kejam. Dan cara yang baik itu, merurut mereka adalah dengan memingsankan hewan ternak itu terlebih dahulu, baru disembelih (dalam keadaan pingsan). Dalam hal ini pemingsanan itu dapat dilakukan dengan berbagai alat, seperti stunning gun, pembiusan, atau menggunakan arus listrik. Selain itu, metode pemingsanan terbaik yang sering mereka lakukan adalah dengan cara memukul bagian tertentu di kepala ternak dengan alat tertentu, dengan beban dan kecepatan yang tertentu pula. Alat yang dipakai untuk memingsankan ternak itu, di antaranya adalah Captive Bolt Pistol (KBP). Menurut mereka, 8inilah cara yang terbaik dan lebih “manuasiawi”. Cara ini juga, menurut mereka lagi, dapat melindungi pekerja dari kemungkinan kecelakaan karena hewan meronta-ronta ketika disembelih. Setelah pigsan, menurut mereka juga, hewan itu tidak akan merasa kesakitan bila disembelih. Carqa seperti ini mereka yakini sebagai cara yang terbaik. Karena hewan tidak meronta-ronta, tidak tampak kesakitan, dan ‘sepertinya’ tidak merasakan sakit (karena telah pingsan).
Begitulah tuduhan dan hujatan mereka. Memang tamapknya sangat sulit bagi kita untuk ‘membela diri’, walau sekedar untuk berargumentasi. Boleh jadi pula kita memang tidak bisa mengelak atas tuduhan itu, atau bahkan sebagian kita malah membenarkan tuduhan miring itu?
Lantas bagaimana kita menyikapi tuduhan miring itu? Menolak tanpa bisa memberi argumentasi (bantahan) yang rasional atau menerima saja tuduhan itu dengan setengah hati, yang berarti ‘membenarkan’ tuduhan mereka itu? Apakah memang sangat sulit bagi kita yang orang iman untuk meyakinkan diri sendiri bahwa Syari’at Islam adalah yang terbaik?
Di tengah-tengah kegundahan karena tundingan dan tantangan itu, melalui penelitian ilmiah yang dilakukan oleh dua staf ahli peternakan dari Hannover University, sebuah universitas terkemuka di Jerman, yaitu Prof. Dr. Scultz dan koleganya, Dr Hazim. Keduanya memimpin satu tim penelitian terstruktur untuk menjawab pertanyaan, “manakah yang lebih baik dan paling tidak sakit, penyembelihan secara Syari’at Islam yang murni (tanpa proses pemingsanan) ataukah penyembelihan dengan cara Barat (dengan cara pemingsanan)?
Keduanya merancang penelitian sangat canggih, mempergunakan sekelompok sapi yang telah cukup umur (dewasa). Pada permukaan otak kecil sapi-sapi itu dipasang elektroda (microchip) yang disebut Electro-Encephalograph (EEG). Microchip EEG dipasang dipermukaan otak yang menyentuh titik (panel) rasa sakit di permukaan otak, untuk merekan dan mencatat derajat rasa sakit sapi ketika disembelih. Di jantung sapi-sapi itu juga dipasang Electro Cardiograph (ECG) untuk merekam aktivitas jantung saat darah keluar karena disembelih.
Untuk menekan kesalahan, sapi dibiarkan beradaptasi dengan EEG maupun ECG yang telah terpasang di tubuhnya selama beberapa minggu. Setelah masa adaptasi dianggap cukup, maka separuh sapi disembelih sesuai dengan syari’at Islam yang murni, dan seperuh sisanya disembelih dengan menggunakan metode pemingsanan yang diadopsi Barat.
Dalam syari’at Islam, penyembelihan dilakukan dengan menggunakan pisau yang tajam, dengan memotong tiga saluran pada leher bagian depan, yakni saluran makanan, saluran nafas serta dua saluran pembuluh darah, yaitu arteri karotis dan vena jugularis.
Patut pula diketahui, syari’at Islam tidak merekomendasikan metoda atau teknik pemingsanan. Sebaliknya, Metode Barat justru mengajarkan atau bahkan mengharuskan agar ternak dipingsankan terlebih dahulu sebelum disembelih.
Selama penelitian. EEG dan ECG pada seluruh ternak sapi itu dicatat untuk merekam dan mengetahui keadaan otak dan jantung sejak sebelum pemingsanan (atau penyembelihan) hingga ternak itu benar-benar mati. Nah, hasil penelitian inilah yang sangat ditunggu-tunggu!
Dari hasil penelitian yang dilakukan dan dilaporkan oleh Prof. Sehultz dan Dr. Hazim di Hannover University Jerman itu dapat diperoleh beberapa hal, sbb:
Penyembelihan menurut Syari’at Islam
Hasil penelitian dengan menerapkan praktek penyembelihan menurut Syar’at Islam menunjukkan:
Pertama, pada 3 detik pertama setelah ternak disembelih (dan ketiga saluran pada leher sapi bagian depan terputus), tercatat tidak ada perubahan pada grafik EEG. Hal ini berarti bahwa pada 3 detik pertama setelah disembelih itu tidak ada indikasi rasa sakit.
Kedua, pada 3 detik berikutnya, EEG pada otak kecil merekam adanya penurunan grafik secara bertahap yang sangat mirip dengan kejadian deep sleep (tidur nyenyak) hingga sapi-sapi itu benar-benar kehilangan kesadaran. Pada saat tersebut, tercatat pula oleh ECG bahwa jantung mulai meningkat aktivitasnya.
Ketiga, setelah 6 detik pertama itu, ECG pada jantung merekam adanya aktivitas luar biasa dari jantung untuk menarik sebanyak mungkin darah dari seluruh anggota tubuh dan memompanya keluar. Hal ini merupakan refleksi gerakan koordinasi antara jantung dan sumsum tulang belakang (spinal cord). Pada saat darah keluar melalui ketiga saluran yang terputus di bagian leher tersebut, grafik EEG tidak naik, tapi justru drop (turun) sampai ke zero level (angka nol). Hal ini diterjemakan oleh kedua peneliti ahli itu bahwa: “No feeling of pain at all!” (tidak ada rasa sakit sama sekali)
Keempat, karena darah tertarik dan terpompa oleh jantung keluar tubuh secara maksimal, maka dihasilkan healthy meat (daging yang sehat) yang layak dikonsumsi bagi manusia. Jenis daging dari hasil sembelihan semacam ini sangat sesuai dengan prinsip Good Manufacturing Practise (GMP) yang menghasilkan Healthy food.
Penyembelihan Cara Barat
Pertama, segera setelah dilakukan proses stunning (pemingsanan), sapi terhuyung jatuh dan collaps (roboh). Setelah itu, sapi tidak bergerak-gerak lagi, sehingga mudah dikendalikan. Oleh karena itu, sapi dapat pula dengan mudah disembelih tanpa meronta-ronta, dan (tampaknya) tanpa (mengalami) rasa sakit. Pada saat disembelih, darah yang keluar hanya sedikit, tidak sebanyak bila disembelih tanpa proses stunning (pemingsanan).
Kedua, segera setelah proses pemingsanan, tercatat adanya kenaikan yang sangat nyata pada grafik EEG. Hal itu mengindikasikan adanya tekanan rasa sakit yang diderita oleh ternak (karena kepalanya dipukul sampai jatuh pingsan).
Ketiga, grafik EEG meningkat sangat tajam dengan kombinasi grafik ECG yang drop ke batas paling bawah. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan rasa sakit yang luar biasa. Sehingga jantung berhenti berdetak lebih awal. Akibatnya, jantung kehilangan kemampuannya untuk menarik dari seluruh organ tubuh, serta tidak lagi mampu memompanya keluar dari tubuh.
Keempat, karena darah tidak tertarik dan tidak terpompa keluar tubuh secara maksimal, maka darah itu pun membeku di dalam urat-urat darah dan daging, sehingga dihasilkan unhealty meat (daging yang tidak sehat), yang dengan demikian menjadi tidak layak untuk dikonsumsi oleh manusia. Disebutkan dalam khazanah ilmu dan teknologi daging, bahwa timbunan darah beku 9yang tidak keluar saat ternak mati/disembelih) merupakan tempat atau media yang sangat baik bagi tumbuh-kembangnya bakteri pembusuk, yang merupakan agen utama merusak kualitas daging.
Bukan Ekspresi Rasa Sakit!
Meronta-ronta dan meregangkan otot pada saat ternak disembelih ternyata bukanlah ekspresi rasa sakit! Sangat jauh berbeda dengan dugaan kita sebelumnya! Bahkan mungkin sudah lazim menjadi keyakinan kita bersama, bahwa setiap darah yang keluar dari anggota tubuh yang terluka, pastilah disertai rasa sakit dan nyeri. Terlebih lagi yang terluka adalah leher dengan luka terbuka yang menganga lebar...!
Hasil penelitian Prof. Schultz dan Dr. Hazim justru membuktikan yang sebaliknya. Yakni bahwa pisau tajam yang mengiris leher (sebagai syari’at Islam dalam penyembelihan ternak) ternyata tidaklah “menyentuh” syaraf rasa sakit. Oleh karenanya kedua peneliti ahli itu menyimpulkan bahwa sapi meronta-ronta dan meregangkan otot bukanlah sebagai ekspresi rasa sakit, melainkan sebagai ekspresi ‘keterkejutan otak dan syaraf’ saja (yaitu pada saat darah mengalir keluar dengan deras). Mengapa demikian? Hal ini tentu tidak terlalu sulit untuk dijelaskan, karena grafik EEG tidak membuktikan juga tidak menunjukkan adanya rasa sakit itu!
Disadur dan diringkas oleh Usman Effendi AS., dari makalah tulisan Nanung Dananr Dono, S.Pt., M.P., Sekretaris Eksekutif LP.POM-MUI Propinsi DIY dan Dosen Fakultas Peternakan UGM Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar