Pembagian Pusaka Tinggi, Sudah Sesuaikah Dengan Syariat Islam ?


Di Minangkabau dikenal ada tiga macam harta, yaitu :
* harta pusaka tinggi,
* harta pusaka rendah, dan
* harta milik pribadi, atau harta pencaharian.
Harta Pusaka Tinggi, biasanya selalu berupa barang tidak bergerak, seperti perumahan, perkolaman, persawahan, perladangan, perkampungan, perhutanan, dsb, bersalin secara kolektif-alami turun temurun menurut garis ibu (matrilineal), menurut jalur kaum, suku ataupun nagari, dan tidak dibagi.
Fungsinya adalah sebagai harta waqaf : harta waqaf kaum, suku ataupun nagari. Jadi harta pusaka tinggi yang fungsinya sebagai harta waqaf tidak dimakan bagi. Kalau dibagi justeru salah.
Harta pusaka rendah, tadinya adalah harta milik pribadi, berupa barang tidak bergerak, seperti perumahan, persawahan, perladangan, dsb., yang dihibahkan untuk menjadi harta kaum, suku ataupun nagari, untuk tujuan kesejahteraan kolektif, dan tidak dibagi menurut jalur hukum faraidh.
Harta milik pribadi, apapun bentuknya, dan didapatkan dari hasil jerih payah pencaharian oleh seseorang, ketika meninggalnya, dibagi menurut hukum Faraidh.
Bertentangankah ketentuan adat ini dengan syariat Islam?
Jawabnya: Tidak! Sebab kalau di-ubah, maka harta pusaka tinggi dibagi secara hukum faraidh, justeru salah dan bersalahan!
Yang dibagi itu adalah harta milik si mayit! ( almarhum/almarhumah). Dan si almarhum itu, ketika hidupnya, punya tanggung jawab sosial untuk membagi-bagikan harta yang ditinggalkannya itu untuk tujuan sosial secara faraidh.
Mengenai harta pusaka rendah, masih ada lorong untuk bisa berbagi pendapat. Coba angkatkan dalam forum seperti ini.
Jadi baik harta pusaka tinggi, rendah, maupun pencaharian, semua bertujuan sosial.
Dan ini semua sudah ditetapkan oleh Pertemuan para Ninik Mamak, Alim Ulama dan cerdik pandai Minangkabau di Bukittinggi, kalau tidak salah tahun 1956, di mana juga hadir Inyiak H Agus SalimSyekh Jamil JambekSyekh Sulaiman Ar Rasuli CanduangSyekh Ibrahim Musa ParabekBuya HamkaDt Palimo Kayo, dsb.
Dari segi ini, belum lagi ada konstitusi dan undang2 dari negara manapun di dunia ini yang mengatur tentang harta kekayaan, Islam telah lebih dahulu mengatur sistem kesejahteraan sosial, yang dimulai dari diri pribadi, keluarga, nagari dan negara, dalam bentuk hukum faraidh, di mana juga dikenal yang namanya harta hibah dan waqaf.
Tegasnya, harta pusaka tinggi adalah milik kaum, suku ataupun nagari yang dimiliki secara kolektif dan berfungsi sebagai harta wakafHarta wakaf secara hukum faraidh tidak boleh dibagi. Karena harta pusaka tinggi yang adalah harta bersama kaum/suku/nagari bukanlah milik dari si mayit yang baru meninggal, untuk kemudian lalu dibagi-bagi, tapi harta bersama yang berfungsi sebagai waqaf yang sifatnya sosial itu.
Masalah terkait yang perlu diangkatkan adalah: masalah tanah ulayat.
Dalam Seminar Kebudayaan Minangkabau beberapa waktu yang lalu, sudah disepakati untuk dikembalikan kepada kaum/suku/nagari pemilikannya, tetapi yang pengoperasiannya bisa dilanjutkan oleh perusahaan swasta ataupun negara yang sudah mengelolakannya dengan rakyat dalam lingkup kaum/suku/nagari itu berhak mendapatkan bagi hasil yang sepadan dengan nilai tanah itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar