Perang Kamang 1908


Perang Kamang 1908 adalah perang terbuka yang meledak pada 15 Juni 1908 dan merupakan salah satu puncak dari kemelut suasana anti penjajahan rakyat Sumatera Barat dalam menentang penjajahan Belanda. Di sini akan terlihat gambar nyata dari bentuk semangat dan pengorbanan rakyat Kamang, baik kalangan adat, agama, cerdik pandai, pemuda, bahkan kaum ibu dalam menulangpunggungi perlawanan mengusir Belanda, yang dari segi politis dapat dikatakan sebagai bukti sumbangan yang pernah ditujukan kepada Bangsa Indonesia

Hal ini tercermin dari kunjungan Menko Keamanan dan Pertahanan Jendral A.H.Nasution tanggal 15 Juni 1963, yang sekaligus meresmikan Makan ahlawan Perang Kamang. Juga dari sambutan Wakil Perdana Menteri Pertama/Ketua MPRS Chairul Saleh tanggal 15 Juni 1962 dan Menteri Penerangan DR.H.Abdul Gani tanggal 15 Juni 1964.

Namun sebelum masuk pada uraian detik-detik jalannya Perang Kamang 15 Juni 1908 dalam bentuk penyerbuan besar-besaran pasukan rakyat terhadap Belanda, terlebih dahulu ada hal yang sangat penting digarisbawahi:

- Bahwa apa yang akan dikemukakan di sini, adalah semata-mata berdasarkan data dan fakta yang terkumpul, khusus yang berkaitan dengan perlawanan rakyat Kamang (Kamang Hilir sekarang)
- Bahwa dengan tujuan sengaja tidak ingin keluar dari pokok tulisan semula yaitu memproyeksikan setiap rangkaian peristiwa pada Kamang sebagai subyek sejarah, maka sasaran intinya lebih dititikberatkan, ke arah bentuk eksistensi seluruh rakyat Kamang dan pimpinanya menghadapi penjajahan.

Jadi bukan Kamang sebagai lokasi/orang dari mana saja yang mungkin ikut langsung sebagai pendukung peristiwa. Masalah ini perlu ditekankan, mengingat kelarsan Kamang mempunyai kawasan meliputi Kanagarian Kamang (sekarang Kamang Hilir), Kanagarian Surau Koto Samiak (sekarang Kamang Mudiak), Suayan dan Sungai Balantiak, dengan pusat pemerintahan kelarasan dimana seluruh aktivitas kepemimpinan lembaga adat, keagamaan dan lain-lain diatur, terletak di Tangah Kanagarian Kamang Hilir. Dengan demikian, semoga tidak akan timbul salah pengertian apalagi versi mengenai gambaran yang ingin diuraikan berikut ini:

J. Westernnenk secara berturut-turut masih berusaha mendatangi rakyat Kamang, bahkan tak terhitung lagi. Tetapi perundingan-perundingan atau lebih tepat disebut perdebatan mengenai persoalan itu ke itu juga, malah lebih menambah kebencian dan memperkukuh semangat aksi rakyat terhadap Belanda, yang pada masa itu sebenarnya sedang mengalami goncangan politik, yang rata-rata melanda negara-negara Eropah Barat.

Di samping kropos dalam tubuh sendiri, kritik sebagian kaum militan dan rakyat progresif Belanda terhadap pelaksanaan peraturan blasting di Indonesia, berangsur menjurus ke arah kampanye-kampanye kemanusiaan yang dimotori golongan liberal. Dari berbagai tuntutan yang muncul kemudian tergambar, sebagian dari masyarakat Belanda cenderung kurang setuju atas sikap pemerintah dalam menangani masalah-masalah tanah jajahan sebarang lautan, termasuk Indonesia. Semua ini sering menjadi bahan pertengkaran sengit di Parlemen Belanda dan sangat membuat pusing pemerintah. Kemudian ditambah lagi oleh pengaruh politik militerasme Jerman, yang seakan membuat seluruh Eropah Barat terpanggang dalam tungku pemanas, gelisah dan senantiasa diliputi pikiran curiga satu sama lain.

Tetapi bagi Belanda tidak mungkin lagi menarik garis politik lain di tengah suasana demikian, lebih lagi disebabkan oleh kian tajamnya gerakan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri. Di sinilah dalam keadana yang selama ini telah menukar manusia jadi hewan, dihargai sikap rakyat yang mulai menyadari kemampuan mereka yang tersembunyi untuk menghadapi segala rintangan, sehingg dengan sendirinya mulai menghargai kehormatan diri dan bangsa. Sedikit demi sedikit malah kini siap berbalik untuk menginjak-nginjak lawan.

Di Kamang, kesibukan terlihat dimana-mana. Siang dan malam merek terus memasang telinga atas setiap perkembangan yang terjadi, kemudian membicarakannya pada setiap kesempatan yang ada sebelum tiba pada kesimpulan akhir. Seluruh dusun seakan dipenuhi musik dencingan golok yang sedang diasah. Dari yang kecil sampai yang tua, laki-laki dan perempuan semuanya bermandi peluh karena mesti menggunakan seluruh tenaga untuk dapat menyelesaikan pekerjaan membuat senjata tradisional, sementara kaum ibu saling berbisik memandang bangga ke arah suami atau anak-anak mereka. Dan para pemuda pilihan terus melatih diri dengan giat, tanpa kenal lelah. Pada pokoknya masa itu suasana Kamang benar-benar dipenuhi warna perang yang kalau dituliskan satu persatu niscaya tidak akan habis-habisnya.

Namun, ada sebuah adegan yang sangat mengesankan ketika seorang anak berumur 6 tahun bertanya kepada ibunya yang saat itu sedang istirahat setelah berlatih silat di halaman masjid Taluak: “Kalau ibu dan ayah pergi berperang mati, dengan siapakah saya tinggal lagi? Sang ibu yang bernama Siti Anisah, termenung sejurus, memandang pada tubuhnya yang bermandikan keringat, kemudian pada suaminya Nan Basikek yang masih berlatih di tengah gelangang dan mengelus kepala si Anak dengan kasih sayang, seolah terbayang akan hari depan yang gelap, lalu menjawab: “Semua orang akan menjadi ayah ibumu, selagi dia membenci penjajahan.” Si anak bingung, tapi siti Anisah cepat-cepat mendekapnya, takut timbul pertentangan di dalam bathinnya. Sebutir air mata jatuh tanpa disadarinya di atas kepala si anak. Dan kemudian benar begitulah kenyataanya, dalam pertempuran 15 Juni 1908, Siti Anisah tersebut gugur sebagai Kesuma Bangsa.

Si anak yang bernama Ramaya inilah nantinya yang pada tahun 1926 tampil sebagai pemimpin pemberontakan bersejarah yang terkenal dengan “Pemberontakan Kamang 1926”. Semetnara itu Kari Mudo sebagai pelopor generasi muda, juga tidak tinggal diam. Secara berturut-turut dalam waktu berjarak lama, dia mengadakan pertemuan-pertemuan dengan pemuka masyarakat Kamang, termasuk Laras Garang Dt. Palindih, Penghulu Kepala Dt. Siri Marajo, pemimpin perlawanan Dt.Rajo Penghulu, Dt.Mangkudun, St.Pamernan dan banyak lagi yang lain-lain, bahkan pernah dihadiri oleh J.Wstennenk sendiri. Dan pada kesempatan lain dia juga berusaha memenuhi Dt. Mudo di Payakumbuh, Syekh Koto Baru, Pado Kayo di Suayan untuk meminta petuah sekaligus penangkal untuk persiapan menghadapi perperangan yang diperkirakan tidak lama lagi. Akhirnya saat ituun tiba. Tetapi apa yang menajdi penyulut perang ini, terdapat berbagai versi yang agak berbeda. Oleh karena itu kita cenderung berpegang pada Buku Pemberontakan Pajak 1908 karangan Rusli Amran.

Hari Senin pagi tanggal 15 Juni 1908, sebagai hari perlawanan paling hebat di Sumatera Barat dalam menentang sistem blasting telah diawali ketika seorang warga masyarakat Magek datang ke kantor Laras Warido dengan maksud untuk membayar blasting. Dia langsung dihadang serombongan warga setempat dan diancam akan dibunuh kalau rencana itu diteruskan juga, karena perbuatan ini terang-terangan melanggar tekad bersama untuk menentang Belanda. Mengetahui duduk masalahnya, Laras Kenagarian Magek Warido sangat marah, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Dia langsung berangkat ke Bukittinggi untuk melaporkan peristwia itu kepada J.Westennenk dn meminta supaya para pembangkang segera ditangkap. Hari itu juga melalui telepon, J.Westennenk menghubungi Gubernur Sumatera Barat Hecler untk mohon petunjuk mengenai tindakan yang harus diambil. Hanya sepatah kata yang dicetuskan Hecler sesuai dengan penggarisan Gubernur General Van Heutez yaitu, serbu! J.Westennenk lantas mengumpulkan 160 orang pasukan pilihan yang kemudian dibagi menjadi 3 kelompok.

Menjelang sore mereka segera bergerak dari Bukittinggi menuju Kamang dari tiga jurusan:

1. Pasukan pertama yang terdiri dari 30 orang, masuk dari Gadut terus menuju Pauh, dipimpin dua orang letnan yaitu Heine dan Cheriek.

2. Pasukan kedua, yang terdiri dari 80 orang serdadu dipimpin J.Westennenk bersama Kapten Lutsz, Letnan Leroux, Letnan Van Keulen, Dahler dan Aspiran Kontrolir Beeuwkes, masuk dari Tanjung Alam terus ke Tilatang.

3. Sedangkan pasukan ketiga yang berkekuatan 50 orang serdadu di bawah pimpinan Letnan Boldingh dan Letnan Schaap, masuk lewat Biaro dan terus menuju Salo.

Di sepanjang jalan terjadilah perlawanan rakyat di antaranya yang cukup hebat dalah yang dilakukan Dt.Parpatiah di Magek, dimana dalam pertempuran itu Dt. Parpatiah sendiri tewas ditembus senjata lawan. Pasukan yang masuk dari Tanjung Alam dan Gadut bertemu di Kamang Mudiak Sekarang, sedangkan yang datang dari Biaro, sesampai di Kubualah membelok ke Magek, dimana ikut pula Warido, Kepala Penghulu Tigo Lurah, Laras Banuhampu, Menteri Klas I dan seorang polisi, untuk memudian bergabung ke Kamang Mudik. Pasukan inilah yang terlihat pertempuran dengan pasukan rakyat di bawah pimpinan Dt. Parpatiah. Dalam pertempuran D. Parpatiah berhasil membunuh Laras Warido sebelum dia sendiri tewas sebagaimana di sebutkan di atas.

Pada senja hari, Belanda mulai bergerak mengepung rumah H. Abdul Manan untuk menangkapnya, karena pada masa itu mereka beranggapan, yang menjadi dalang pergolakan adalah kaum agama. Tetapi H. Abdul Manan berhasil meloloskan diri dan segera menemui Dt. Rajo Penghulu di Kamang (sekarang Kamang Hilir) untuk berkonsultasi. Akhirnya bertiga dengan Kari Mudo dan beberapa orang pemuka lainya, mereka langsung mengadakan rapat kilat untuk membahas perkembangan yang sangat kritis dan menyusun kesiagaan seluruh rakyat guna mengobarkan perang sabil.

Pukul 12.00 diterima informasi, pasukan Belanda berkumpul di suatu tempat perbatasan Kamang dan Kamang Mudik sekarang, yang bernama Kampuang Tangah, menunggu hari siang, selain dikelilinggi pesawahan yang membuat pandangan bebas ke arah jalan raya satu-satunya, juga penduduknya tidak seberapa. Ini disadari benar oleh Dt. Rajo Penghulu. Setelah ditinggal pergi H. Abdul Manan yang kembali ketempat semula, dia mulai menyiapkan pasukan tempur, Beduk, tong-tong dan puput tanduk berkumandangan di tengah malam sunyi pertanda perang bakal dimulai.

Pasukan rakyat langsung dipimpin Dt. Rajo Penghulu, terlebih dahulu berkumpul di Masjid Taluak untuk menerima penjelasan dan beberapa instruksi penting, sebelum membaginya dalam beberapa kelompok. Kelompok yang paling besar adalah yang dipimpin Khadi Abdul Gani. Setelah selesai sembahyang berjamaah, lalu ditutup dengan pekik Allahu Akbar dan Laailahillah, mereka pun berangkatlah menuju Kampung Tangah.

Jadi di sini jelaslah apa yang disebut dengan Perang Kamang itu ialah suatu pertempuran rakyat yang datang menyerbu. Realitasnya memang begitu dan tidak mungkin diubah-ubah lagi. Kembali kepada pasukan rakyat yang meninggalkan Masjid Taluak menurut catatan yang diperoleh dari berabagai sumber yang dapat dipercaya dan sampai tulisan ini disusun masih hidup, bahkan ikut dalam pertempuran itu, menyebutkan sesampai mereka di Kampuang Tangah, mereka segera bersembunyi di rumpun padi yang sedang menguning sambil merayap mendekati pasukan Belanda.
J.Westennenk dari tempatnya berdiri dengan pasukannya, di antara remang-remang malam telah melihat semua ini, bahkan juga sudah mengenal bayangan Dt. Rajo Penghulu bersama dengan pemimpin lainya. Tetapi dia masih belum mau bertindak karena dia masih punya harapan untuk membujuk rakyat. Lantas dia berteriak menyuruh supaya pasukan rakyat pulang kembali mengingat kekuatan kompeni cukup banyak dengan personil dan senjatanya. Dia juga mengingatkan segala kemungkinan yang bisa terjadi, sekiranya pasukan rakyat masih bermakud terus maju. Tetapi seruan itu segera pula dijawab Dt.Rajo Penghulu, pasukan rakyat tidak akan mundur setapakpun dan bersedia mati syahid.

Dalam kesimpulan salah satu laporan resmi J.Westennenk kepada Gubernur Jendral Ven Heutsz di Batavia melalui surat kawat tanggal 17 Juni 1908, disusul laporan pada Gubernur Sumatera Barat Heckler No.1012 tanggal 25 Juni 1908, dia melukiskan suasana malam itu, seumpama satu malam dimana jurang antara ras manusia dengan segala kekuasaanya, sudah tidak ada lagi. Yang ada, cuma kelompok kemarahan yang saling bertentangan di dalam diri manusia-manusia yang bertatap dengan buas melalui kerlipan bintang-bintang di langit, siap untuk saling bunuh. Dari arah segerombolan orang-orang yang berdiri di pinggir jalan raya, sekali-sekali terdenar gemuruh suara Ratib dan Allahu Akbar, yang semuanya berjumlah tidak kurang dari lima ratus orang. Sedangkan beberapa orang lagi yang sedang merayap dalam padi, tidak dapat dihitung. Tapi pasti meliputi ratuan orang pula.
J.Westennenk datang mendekati Sersan Booman yang sedang mengawasi kegelapan. Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Sersan Boorman yang bertugas mengawasi wilayah timur, hampir bersamaan dengan J.Westennenk mencabut pistol, ketika gelombang serbuan pertama begitu saja sudah muncul di depanya. Orang-orang itu bagai datang dari balik kegelapan disertai pekik kalimat-kalimat Tuhan yang mendirikan bulu roma. Di tangan mereka berkilauan berbagai macam senjata, mulai dari pisau, parang, lembing dan beberapa jenis senjata lainya. Dalam beberapa jam saja, terjadilah perang basosoh yang dahsyat, karena serdadu Belanda banyak yang tidak sempat menembakkan senjatanya.
Gemercing senjata, letusan senapan, jerit kesakitan dan rintih kematian memenuhi udara malam maka dalam sekejap Kampuang Tangah yang tenang itu berubah menjadi medan bangkai dan telaga darah.

Dalam laporan resmi J. Westennenk tersebut, juga dijelaskan, telah terjadi lebih dari delapan kali serangan serupa dalam waktu hampir berturut-turut dan semakin mengerikan. Ratusan orang penyerbu terus saja maju sekalipun dihujani tembakan. Kegelapan malam menyebabkan sulit bagi serdadu Belanda membidik sasaran secara tepat, sehingga sebahagian besar dari mereka yang berhasil tiba di tempat para serdadu bertahan, langsung membabat lawan bagai kesetanan. Satu demi satu prajurit Belanda tewas dengan tubuh penuh luka-luka mengerikan. Sersan Boorman tak henti-hentinya berteriak membangkitkan semangat anak buahnya yang semakin kendor. Di antara kepulan asap mesiu, Dr.Justesen kelihatan merunduk-runduk ke arah beberapa orang serdadu yang merintih akibat luka-luka yang di deritanya. Tetapi dari arah tidak kurang dari 50 meter, lagi-lagi puluhan penyerbu sudah datang pula. Kelihatan dua orang serdadu mengacungkan senjata dalam jarak beberapa langkah menyongsong mereka, namun sebelum sempat melepaskan tembakan kedua serdadu itu terjungkal di tengah kilauan senjata tajam. Perwira kesehatan Dr.Justesen dan sersan Boorman secara bersama-sama berusaha keras mencegah serdadu yang sudah mulai mundur, ketika menyaksikan seseorang penyerang membelah kepala seorang sersan. Sementara itu dari arah lain, beberapa orang penyerbu berhasil memasuki sekelompok tentara. Terdengar beberapa kali tembakan disusul jatuhnya empat orang di antara mereka. Tetapi belasan orang yang luput, langsung menghabiskan para serdadu Belanda tanpa ampun.

Demikian pada pertempuran yang berlangsung sampai pukul 2.00 dini hari itu, bintang J Westennenk sebgai pelaksana kolonial terlindung oleh bintang M. Saleh Dt. Rajo Penghulu sebagai pemuka perang. Pasukan rakyat memperoleh kemenangan gemilang lantaran semangat dan koordinasi yang tinggi. Tentara Belanda berhaisl dibuat kucar kacir. Tetapi J.Westennek sempat meloloskan diri dan minta bantuan ke Bukittinggi. Pasukan inilah nantinya yang telah menimbulkan malapetaka terhadap pasukan rakyat, karena bertepatan fajar menyingsing mereka datang dalam jumlah yang sangat besar, sehingga babak kedua perang basosoh, segera meledak kembali. Akan tetapi lantaran pasukan itu terlalu banyak dan segar-segar, dilengkapi pula dengn senjata modern, akhirnya pasukan rakyat terpaksa mengundurkan diri. Dan bersamaan itu, berhentilah kegaduhan suasana perang bagai disapu dari bumi Kampung Tangah. Yang tinggal hanyalah keheningan yang ditingkah erangan suara manusia yang luka-luka di tengah desau angin dedaunan. Nun di ufuk timur, warna keemasan kelihatan menebari permukaan langit dan burung-burungpun mulai berkicau seperti hari-hari sebelumnya. Maka tercatatlah pagi itu sebagi sejarah berkabut di hati setiap bangsa Indonesia di dalam menentang kolonis Belanda.
M.Saleh Dt. Rajo Penghulu bersama lebih 70 angot pasukan rakyat, syahid sebagai pahlawan bangsa, di antaranya terdapat dua orang srikandi yaitu Siti Anisah dan siti Asiah. Selain itu yang mengalami cacat, tercatat 20 orang.

Siti Asiah

Mengenai tragedi gugurnya Siti Asiah, salah seorang penyerbu yang luput dari maut, bernama Makih Mangiang Suku Guci berasal dari dusun Solok Kamang, menceritakan kepada salah seorang anaknya yang hingga saat ini masih hidup, bahwa: Dia melihat Siti Asiah yang berada tidak jauh dari tempatnya berada, sedang istirahat setelah beberapa kali bertempur, tiba-tiba melompat bangunan, berlari dengan rambut tergerai menyerbu ke arah tiga orang serdadu Belanda yang berdiri di kegelapan. Dt. Rajo Penghulu berteriak memperingatkan, tapi wanita itu tidak peduli terantuk pada sebuah benggolan tanah pematang dan terjatuh masuk selokan. Dia berusaha bangun secepatnya tapi tahu-tahu dua orang serdadu Belanda sudah berdiri mengacungkan laras senjata ke arahnya. Dalam keadaan terlentang tak berdaya, Siti Asiah hanya mengelijang sebentar ketika salah seorang dari kedua serdadu itu memasukkan moncong senapan kemulutnya dan menarik pelatuknya. Terdengar sebuah ledakan dan terkaparlah srikandi perkasa Siti Asiah dalam sebuah wajah yang penuh keringat, namun diliputi ketenangan.

Dt.Rajo Penghulu yang sedang bertempur menghadapi dua orang Belanda, lantas berpaling dan berbalik kearah istrinya. Namun sebelum berhasil ia mencapai tubuh istrinya itu, kembali terdengar sebuah letusan senjata api. Dt. Rajo Penghulu terhuyyung-huyung beberapa langkah kemudian jatuh tepat disamping tubuh Siti Asiah dan gugur sebagai pahlawan bangsa. Akan halnya Haji Abdul Manan, menurut buku Pemberontakan Pajak karangan Rusli Amran, beliau ditangkap Belanda keesokan harinya (16 Juni 1908) dan langsung ditembak mati dikampugn kelahiran beliau, Bansa. Jadi ibandingkan dengan 425 orang tentara Belanda yang mati maka kekalahan tragis dalam memperjuangkan hak dari kekuasaan penjajah ini dapat dianggap sebagai bukti bahwa dinamika revolusi telah menumbuh suburkan kodrat yang pantas dinilai ole sejarah dunia.

Dipandang secara lahir, meandang dalam satu pertempuran tidak ada batas bunuh membunuh, tapi apa yang telah ditunjukkan rakyat Kamang yang rela memilih mati daripada dijajah, jelas ikut sebagai pendorong dlaam meneruskan cita-cita perjuangan yang belum selesai. Namun dipandang dari sudut batin, kehilangan pemimpin-pemimpin yang punya semangat revolusi seperti Dt.Rajo Penghulu itu adalah pukulan yang sedikit banyaknya mempengaruhi warna perjuangan dimasa yang akan datang, karena kemauan yang mempunyai dasar yang kokoh, tidak akan pernah berhenti sebelum seluruhnya berhasl dicapai. Hal yang terakhir akan terlihat nyata dalam jalannya perjuangan rakyat Kamang dibelakang peristiwa bersejarah ini.

Akhirnya semua jenazah pahlawan perang Kamang, kembali dibawah ke Kamang (Kamang Hilir sekarang) dan di makamkan di komplek Masjid Taluak, sementra beberapa orang pejuang lianya Kari Mudo, Garang Dt. Palidih, Dt. Siri Marajo, Pedeka Sumin, Dt. Manguhudun, Haji M. Amin dan lain-lain, ditangkap Belanda pada keesokan harinya. Bagi mereka yang tidak mau mengakui atau bersumpah stia kepada bendera Belanda seger dikirim ke berabgai penjara seperti penjara Padang Batavia, Magelang, Makasar, dan sebagainya. Sebagaimana diketahui, Dt.Siri Marajo akhirnya meninggal dunia di penjara glodok Batavia, sedangkan Pendeka Sumin dibuang ke Makasar dan meninggal disana. Begitu pula A. Walid Kari Mudo, setelah menjalani masa pembangunan selama 27 tahun di Makasar, dipindahkan ke Jakarta sampai beliau meninggal dunia disana pada tahun 1952. Mengenai jumlah korban Perang Kamang yang meninggal di kedua belah pihak, ternyata kemudian banyak terdapat spekulasi angka, baik yang bersal dari statement Balanda sendiri, atau yang di muat berbagai koran setempat waktu itu seperti de Padanger, maupun berdasarkan taksiran-taksiran tidak resmi. Tetapi satu hal yang perlu dikethaui adalah bahwa Belanda dalam mengumumkan angka-angka itu sengja mengecilkan dengan alasan politik.

Sedangkan jumlah yang gugur dipihak pasukan rakyat semua tercatat tujuh puluh orang (70 orang) lebih, dapat sma-sama dibuktikan di Makam Perang Kamang 1908 Taluak, yang sampai sekarang masih dirawat baik. Begitu juga mengenai 425 orng tentara Belanda yang mati, tercatat berdasarkan keterangan beberapa orang saksi mata yang ikut terjun dalam pertempuran itu (yang pada waktu penyusunan buku ini masih hidup) sesuai jumlah pedati dan ukuran tubuh manusia yang dapat dimuat didalamnya. Waktu itu pihak Belanda membawa mayat-mayat pasukanya keesokan hari dengan semacam pedati, gerobak sapi yang biasa digunakan para petani untuk membawa hasil panen.

Dalam satu revolusi memang ada yang perlu diumumkan, adapula yang hanya dibisikkan antara awak sama awak saja dan adapula yang hanya perlu disimpan sebagai rahasia. Namun dari kesimpulan uraian di atas, dapat dikatkan bahwa apa yang terjadi pada malam 15 Juni 1908 itu, adalah merupakan mata rantai usaha bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan yang perlu diumumkan. Dari sikap rakyatnya memadu alam yang kontradiktif dan sebagai dreamers akan adanya yang bebas, merdeka, secara berani yang nyaris tanpa perhitungan menentang kekuatan negara maju, dapatlah di yakini bahwa rakyat Kamang punya semangat revolusioner dan selalu siap menghadapi sebarang halangan.

Kamang Dalam Pertumbuhan dan
Perjuangan Menentang Kolonialis
Karangan: A.utan M. Indo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar