Saya lagi gayeng diskusi tentang tawakal ini. Itung – itung ngangsu kaweruh. Teman bilang benchmarking. Keren istilahnya. Sama saja dengan meguru, atau ngenger, dalam kosa kata saya. Perasaan semua orang sering mengatakan kalimat itu. Kata yang jamak. Kayaknya semua orang tahu artinya. Kata yang semua orang kenal. Pasrah. Tawakal. Surrender. Itulah kira – kira padanannya. Ternyata saya sendiri masih malprakrik. Tak perlu malu ngaku, karena memang ingin memahami secara benar.
Pertama dan yang terpenting tentang tawakal ini adalah pemahaman bahwa Allah sangat menyukainya, sehingga dicukupilah kebutuhan orang yang tawakal itu. Banyak sekali, lebih dari tujuh ayat, yang menerangkan seruan tawakal ini. Wa’alallaahi falyatawakkalil mu’minuun – dan kepada Allahlah hendaknya tawakal orang – orang yang beriman, atau dengan kalimat semisalnya. Dengan kata lain tawakal adalah bentuk tertinggi kepercayaan ai keimanan. Semakin tinggi keimanan seseorang, semakin tinggi pula derajat ketawakalannya. Maka oleh Allah dicukupi segala kebutuhannya.
Allah berfirman; “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS ath-Thalaaq 3).
Kemudian kedua, pengertian dasarnya. Pengertian tawakal sendiri juga dijelaskan di ayat yang lain sebagai berikut; “Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: "Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman." (QS al-Maidah 23)
Tawakal itu usaha dulu, baru menyerahkan hasilnya kepada Allah. Orang sono bilang, Do the best and let God do the rest. Seperti ditunjukkan dalam ayat di atas, serbu dulu, hasilnya serahkan pada Allah. Jadi tak ada tawakal tanpa diawali usaha. Nah, sampai kapan usahanya itu? Yaitu sampai batas waktunya. Atau sampai terlaksana, seperti sejak pagi sampai petang. Hal yang demikian ini diterangkan dengan jelas dalam K. Ahkam halaman 41. Nabi Muhammad SAW menerangkan secara rinci masalah tawakal ini dengan penggambaran seperti seekor burung yang pergi dalam keadaan lapar di pagi hari dan pulang dalam keadaan kenyang di waktu sore hari. Dari pagi sampai petang, sampai tidak bisa melihat lagi keadaan karena gelap terus pulang. Dan harus istirahat. Begitu seterusnya sampai dapat atau sampai ketentuan bagi kita terkuak. Berhasil atau gagal. Itulah pilihan terbaik yang diberikan Allah kepada makhluknya.
Jadi dengan usaha sak pol kemampuan kita, bukan berarti harus sesuai dengan yang diingini. Justru dengan usaha itu, kita tahu bahwa kita sedang menuju ketentuan yang terbaik buat kita yang telah ditentukan oleh Allah. Sebab apa yang kelihatan baik menurut kita, belum tentu baik di mata Allah. Allahlah yang lebih tahu. Demikian juga dengan yang jelek. Sesuatu yang jelek dan membencikan belum tentu jelek buat kita. Juga dengan usaha ini, dengan kata lain, merupakan lahan bagi Allah untuk bekerja. Menjadi sebab untuk menentukan pilihannya. Jadi nyambung kan?
Dari Abi Tamim al-Jaisyaniyyi, dia berkata aku mendengar Umar ra.,berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Seandainya sesungguhnya kalian tawakal kepada Allah dengan sebenar – benarnya tawakal, niscaya Allah member rejeki kepada kalian seperti Allah member rejeki kepada burung dimana pagi – pagi ia lapar tapisore hari dalam keadaan kenyang.” (Rowahu Ibnu Majah K. Zuhdi)
Masih banyak orang yang memahami dalil ini (termasuk saya) yang kurang sempurna. Padahal dari sinilah penggambaran tawakal yang sebenarnya dan paripurna.
Ketiga, juga gandengannya tawakal yaitu sabar, sebagaimana firman Allah, “(yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal.” (QS an-Nahl 42).
Dengan sabar ini ada beberapa hal pula yang harus dan bisa dilakukan dalam rangka mengiringi kepasrahan. Pertama mengetahui hal – hal yang dapat kita ubah. Dalam hal ini contohnya seperti orang yang meninggalkan ontanya dengan diikat, kemudian baru pasrah. Tidak dibenarkan, onta dibiarkan dan dilepas, dengan dalih pasrah. Itu prakek yang salah. Jangan menyuruh Allah mengerjakan sesuatu yang dapat kita kerjakan. Kedua mempunyai ketenangan untuk menerima apa yang tidak bisa diubah. Artinya sudah sak pol kemampuan atau di luar kemampuan manusia. Contoh sepeda sudah dikunci tapi hilang juga. Sudah usaha tapi hasilnya beda. Atau ada gunung meletus. Siapa bisa mencegahnya? Dan yang ketiga adalah kebijaksanaan untuk mengetahui dan memahami perbedaannya. Kebijaksanaan ini menuntun orang untuk terus berusaha, melupakan kegagalan dan menikmati hidup. Menyerahkan semuanya kepada Allah membuat hidup tenang dan rilek, seperti air mengalir. Dan kita akan menerima apapun yang dihadiahkan oleh Hidup ini kepada kita.
Namun dalam kehidupan nyata, masih saja tumpang - tindih. Ada kegamangan dalam praktik. Kadang orang sudah menyudahi usahanya dengan bilang tawakal. Padahal sedikit lagi akan berhasil. Akhirnya usaha tersebut benar – benar gagal karena kurang usaha sedikit lagi dan hanya butuh secuil kesabaran. Di sinilah kita bisa melihat dan mengukur seberapa tinggi derajat keimanan kita. Sering orang bilang iman, iman dan iman, namun sebenarnya mereka hanya punya sedikit kepasrahan saja. Hanya kulitnya atau bahkan sak ledoke biji kurma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar