Tuhan terlalu cepat semua
Kau panggil satu-satunya yang tersisa
Proklamator tercinta…
Jujur lugu dan bijaksana
Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa
Rakyat Indonesia…
Hujan air mata dari pelosok negeri
Saat melepas engkau pergi…
Berjuta kepala tertunduk haru
Terlintas nama seorang sahabat
Yang tak lepas dari namamu…
Terbayang baktimu, terbayang jasamu
Terbayang jelas… jiwa sederhanamu
Bernisan bangga, berkapal doa
Dari kami yang merindukan orang
Sepertimu…
Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di
kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan
keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta
berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara
perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya.
Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan.
Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong
Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk
ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.
Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti
keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari
iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau
para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa
tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat
Mohammad Hatta.
Masa Studi di Negeri Belanda
Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels
Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische
Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi
Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan
Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia
(PI).
Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit
secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924
majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada
tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu
ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif
dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan
hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh
minatnya yang besar di bidang politik.
Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi
Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia
mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan
kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan
berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif.
Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi
Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan
mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya
politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan
Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan
dari pergerakan nasional yang berada di Eropa.
PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap
kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan
ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi.
Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta
memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di
Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi
diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia
Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan
organisasi-organisasi internasional.
Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di
Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres
internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di
kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh
seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian
menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru
(India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan
pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.
Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan
ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan"
di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I'
Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).
Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul
Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan.
Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan
keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta
mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian
diterbitkan sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul
Indonesia Merdeka.
Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta
penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De
Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan
tahun 1932.
Kembali ke Tanah Air
Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri
Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun
1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel
politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan
politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan
Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada
kader-kadernya.
Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan
penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan
pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya
di Daulat Ra’jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933),
"Tragedi Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10
Desember 1933).
Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah
Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan
Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia
ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah
tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir,
dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin,
Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir
setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok,
Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.
Masa Pembuangan
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah,
Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen,
menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah
40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal,
atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan
tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia
mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti
telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia
ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.
Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk
surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah
Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel
dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16
peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk
memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu
ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di
kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).
Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen,
memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke
Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka
bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di
Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk
setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang
sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.
Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi.
Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada
Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke
Jakarta.
Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai
penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk
merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia?
Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab
bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa
Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan
pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu
bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang
fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau?
Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan
tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944.
Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato
yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada
tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan,
“Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh
karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan
ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat
Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai
jajahan orang kembali."
Proklamasi
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai
Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh
Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau
Jawa.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda
(JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi
keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu
Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri
ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno
meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan
agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah
pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para
anggota lainnya menanti.
Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh
dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut
dengan bertepuk tangan riuh.
Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh
Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam
10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.
Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik
Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden
Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden
dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.
Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah
Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia
pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda
menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi
selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda.
Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke
India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar
sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik
yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana
Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia
dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.
Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI
melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan
agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka.
Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan
terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan
memimpin perjuangan bersenjata.
Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai
Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima
pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.
Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia
Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.
Periode Tahun 1950-1956
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan
ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap
menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan
koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan
cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta
mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia.
Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada
tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada
Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta
mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul
Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).
Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan
konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri
sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu
diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr.
Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah
Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta
mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956
ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden
Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada
pendiriannya.
Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis
yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada
di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato
pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”.
Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI,
beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan
tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta
sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas
Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam
bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris
Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul
“Menuju Negara Hukum”.
Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah
Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan
pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di
Indonesia waktu itu.
Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus.
Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa
Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri,
yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang
putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi
Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta
sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum
Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.
Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada
Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang
Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana
Negara.
Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik
Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto
Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah
Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.
Kesederhanaan Bung Hatta
Bung Hatta dan Kisah Sepatu Bally
Pada tahun 1950-an, Bally adalah sebuah merek sepatu yang bermutu
tinggi dan tidak murah. Bung Hatta, Wakil Presiden pertama RI, berminat
pada sepatu itu. Ia kemudian menyimpan guntingan iklan yang memuat
alamat penjualnya, lalu berusaha menabung agar bisa membeli sepatu
idaman tersebut. Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi
karena selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu
kerabat dan handai taulan yang datang untuk meminta pertolongan. Hingga
akhir hayatnya, sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli
karena tabungannya tak pernah mencukupi.
Yang sangat mengharukan dari cerita ini, guntingan iklan sepatu Bally
itu hingga Bung Hatta wafat masih tersimpan dan menjadi saksi keinginan
sederhana dari seorang Hatta. Pada hal, jika ingin memanfaatkan
posisinya waktu itu, sangatlah mudah bagi beliau untuk memperoleh
sepatu Bally. Misalnya, dengan meminta tolong para duta besar atau
pengusaha yang menjadi kenalan Bung Hatta. “Namun, di sinilah letak
keistimewaan Bung Hatta. Ia tidak mau meminta sesuatu untuk kepentingan
sendiri dari orang lain. Bung Hatta memilih jalan sukar dan lama, yang
ternyata gagal karena ia lebih mendahulukan orang lain daripada
kepentingannya sendiri,”. Pendeknya, itulah keteladanan Bung Hatta,
apalagi di tengah carut-marut zaman ini.
Bung Hatta meninggalkan teladan besar, yaitu sikap mendahulukan orang
lain, sikap menahan diri dari meminta hibah, bersahaja, dan membatasi
konsumsi pada kemampuan yang ada. Kalau belum mampu, harus berdisiplin
dengan tidak berutang atau bergantung pada orang lain. Seandainya
bangsa Indonesia dapat meneladani karakter mulia proklamator
kemerdekaan ini, seandainya para pemimpin tidak maling, tidak mungkin
bangsa dengan sumber alam yang melimpah ini menjadi bangsa terbelakang,
melarat, dan nista karena tradisi berutang dan meminta sedekah dari
orang asing.
Pendapat Meutai Hatta (Salah satu anak Bung Hatta)
KESEDERHANAAN keluarga Bung Hatta serta sangat kokohnya mantan wakil
presiden itu berpegang pada prinsip mungkin dapat disimak dari
penuturan Meutia mengenai kisah sebuah mesin jahit. Sewaktu ayahnya
masih menjadi orang nomor dua di republik ini, ternyata untuk membeli
sebuah mesin jahit pun tidak bisa dilakukan begitu saja.
Menurut antropolog dari Universitas Indonesia tersebut, ibunya -Rahmi
Hatta- harus menabung sedikit demi sedikit dengan cara menyisihkan
sebagian dari penghasilan yang diberikan Bung Hatta.
Namun rencana membeli terpaksa ditunda, karena tiba-tiba saja
pemerintah waktu itu mengeluarkan kebijakan sanering (pemotongan nilai
uang) dari Rp 100 menjadi Rp 1. Akibatnya, nilai tabungan yang sudah
dikumpulkan Rahmi menurun dan makin tidak cukup untuk membeli mesin
jahit. “Karena ikut terkena dampak adanya keputusan sanering tersebut,
Ibu kemudian bertanya pada Ayah kok tidak segera memberi tahu akan ada
sanering. Dengan kalem Ayah menjawab, itu rahasia negara jadi tidak
boleh diberitahukan, sekalipun kepada keluarga sendiri” kata istri
ekonom Prof Dr Sri-Edi Swasono itu.
Pendapat Ny. Rahmi Hatta (Istri Bung Hatta)
Di tahun 1950-an, ketika Bung Hatta masih menjabat sebagai wakil
presiden Republik Indonesia, keteguhan prinsipnya kembali tercermin
dalam kehidupan keluarga. Pada saat sekarang, mungkin saja peristiwa
yang saya alami itu dapat direnungkan kembali.
Pada suatu waktu, uang Republik Indonesia (ORI) mengalami pemotongan.
Seperti halnya para ibu rumah tangga lainnya, di masa itu saya sedang
menabung karena saya berniat untuk membeli sebuah mesin jahit. Tentu
dapat dibayangkan betapa kecewanya hati saya saat itu. Ketika Bung
Hatta pulang dari kantor, saya mengeluh,
?Aduh, Ayah ?! Mengapa tidak bilang terlebih dahulu, bahwa akan
diadakan pemotongan uang ? Yaaa, uang tabungan kita tidak ada gunanya
lagi! Untuk membeli mesin jahit sudah tidak bisa lagi, tidak ada
harganya lagi.?
Keluhan wanita mungkin mempunyai alasan tersendiri. Tetapi seorang pejabat negara seperti Bung Hatta menjawab,
?Yuke, seandainya Kak Hatta mengatakan terkebih dahulu kepadamu, nanti
pasti hal itu akan disampaikan kepada ibumu. Lalu kalian berdua akan
mempersiapkan diri, dan mungkin akan memberi tahu kawan-kawan dekat
lainnya. Itu tidak baik! Kepentingan negara tidak ada sangkut-pautnya
dengan usaha memupuk kepentingan keluarga. Rahasia negara adalah tetap
rahasia. Sunggguhpun saya bisa percaya kepadamu, tetapi rahasia ini
tidak patut dibocorkan kepada siapapun. Biarlah kita rugi sedikit, demi
kepentingan seluruh negara. Kita coba menabung lagi, ya??
Akhirnya sebagai seorang istri saya sepenuhnya dapat memahami prinsip
suami saya itu. Berkat pengalaman hidup bersama bertahun-tahun,
keyakinan saya terhadap prinsip Bung Hatta makin besar pula. Prinsip
itu juga yang menyadarkan saya, agar saya tidak perlu menghalangi
sikapnya ketika Bung Hatta berniat untuk meletakkan jabatannya sebagai
wakil presiden Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar