Sebentar lagi, usia sudah mendekati kepala empat. Anak pun sudah empat. Berumah tangga sudah empat kuadrat alias 16 tahun. Banyak hal dan banyak pencapaian yang sudah saya dapatkan dalam kurun waktu itu. Dengan rasa syukur yang mendalam, kiranya inilah karunia terindah yang dianugerahkan Allah kepada saya. Tak berbanding dan tak tertandingi. Alhamdulillah, tak ada yang pantas terucap kecuali pujian itu. Tinggal bagaimana mengelolanya sehingga nikmat itu menjadi berkembang dan berdaya guna keberadaannya. Tidak hilang, tidak rusak, namun justru mengembang, berbuah, berbarokah. Netepi dalil lain syakartum – la’azidannakum.
Maka tatkala, saya ketemu dengan para yunior yang sekarang punya kedudukan dan posisi kunci, dengan kehidupan yang mapan, godaan mulai berdatangan. Obrolan pun berkembang pada arti hidup. Masih banyak orang yang mengukur pencapaian hidup dengan sebuah kedudukan. Makin tinggi kedudukan berarti semakin sukses. Semakin bermartabat, semakin berkelas. Mereka sering berkata, “Wah, seharusnya Mas ini sudah jadi manager. Apalagi usia sudah hampir kepala empat.” Menanggapi hal itu saya hanya tersenyum dan diam saja. Lain lagi, godaan yang datang ketika saya ketemu dengan para senior. Secara tidak sengaja bincang – bincang pun mengarah pada ukuran kesuksesan hidup. Lain dengan para yunior yang masih banyak berlagak, para senior ini lebih bermutu, biasanya mereka bicara kesuksesan dari berbagai pandangan. Sebagian ada yang meneropong dari jenjang pendidikan. Secara tak sengaja mereka berseloroh, “Sudah rampung belum S3-nya?” Dengan polos dan lugunya, pernyataan itu saya balas dengan senyum dan diam saja.
Sebagian lagi ada yang memandang kesuksesan dari kaca mata kemandirian dan pemberdayaan. Mereka bilang, “Sekarang sudah usaha apa? Dan berapa orang pekerjanya?” Mendengar ucapan itu, saya pun tak kuasa, hanya tersenyum dan diam saja. Sebagain lainnya ada yang memandang kesuksesan hidup ini dari tingkat spiritualitasnya. Dengan enteng dan bangganya mereka berkata, “Sudah pergi ke Kulon belum?” Mendengar kalimat itu, saya pun hanya bisa tersenyum dan diam saja.
Lain lagi jika saya ketemu dengan para ustadz. Ketika mereka berbincang tentang al-ilmu, saya pun terdiam. Tatkala mereka bertanya, “Sudah sampai mana pencapaianmu?” Saya pun tersenyum menanggapinya. Banyak hal yang saya respon dengan senyum dan diam semata. Bukan karena mengiyakan atau menolak. Bukan pula membantah atau mendebat. Justru dengan tersenyum dan diam itulah, saya bisa melihat wajah nyata kehidupan dengan apa adanya. Semakin menenteramkan hati. Mempraktekkan panjangnya diam. Menerampilkan sodakoh senyuman. Dan menambah kedalaman syukur atas nikmat Allah yang telah diberikan kepada saya.
Ternyata dengan banyak senyum dan diam, semakin terkuak rahasia – rahasia hidup ini. Maksud – maksud yang tak terungkap, terkadang bisa tertangkap dengan sikap diam ini. Orang yang mau pamer, orang yang pengin dihormati, orang yang berniat baik, orang yang mau berbuat tidak baik, semua terekam dalam diam - sunyi dan senyum ini.
Pun halnya dengan diri sendiri. Dengan senyum dan diam, ternyata mampu mengobsesi diri menjadi lebih baik dan baik. Punya kekuatan dahsyat untuk berbuat baik untuk sesama dan sekitarnya. Memperbaiki diri dan terus berusaha baik selalu. Begitu elok ketika jiwa dan raga menyatu dalam kesatuan nuansa diam dan tersenyum ini. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” (Rowahu Bukhory (5672), Muslim dalam bab al-Luqothoh (14), Abu Dawud (91), An-Nasa’i (401) At-Tirmidzi (809)). Dan firman Allah:”Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” An-Nisaa : 114.
Maka, saya pun malu sejatinya, jika harus menjawab setiap pertanyaan itu semua - apalagi dengan maksud mengimbangi lawan bicara. Sebab bagi saya firman Allah dalam Surat Ali Imron 139 sudah mencukupinya. Allah berfirman, “Janganlah kamu merasa hina, dan janganlah kamu bersedih hati, sejatinya kamulah orang-orang yang paling mulia, jika kamu menjadi orang-orang yang beriman.” Apalagi yang mau dicari?
Tatkala kita sudah merasa berada di puncak, kemudian sekeliling kita ramai menawarkan dan membicarakan hal – hal yang banyak, berteriak, adakalanya baik dan kebanyakan angin lalu semata, tak lain sikap yang relevan adalah memberinya senyum dan diam saja. Sebab kalau direspon tak bakal cukup waktu. Tak bakal rampung urusannya. Termasuk ketika ada yang bertanya, “Sekarang istrinya sudah berapa?” Saya pun menoleh, menatap sang penanya, kemudian tersenyum dan diam saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar