Perbedaan Dalam Penetapan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha


Penetapan Berbeda Karena Tiada Definisi Tunggal tentang perbedaan penetapan awal Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri maupun Idul Adha.

Perhatikan Hadits di bawah ini :
Ummu Fadhal binti al Harits mengutus Kuraib kepada Mu'awwiyah (yang tinggal) di negeri Syam. Kuraib berkata, `Maka kami sampai di Syam. Saya pun menyelesaikan keperluan (di sana). Ketika itu tampak hilal ramadhan dan saya sedang berada di Syam. Saya melihat hilal itu di malam Jumat. Setelah itu saya kembali ke Madinah. Maka Abdullah bin Abbas bertanya padaku dan dia membicarakan hilal, "Kapan kamu melihat hilal?" "Kami melihat hilal pada malam Jumat." "Kamu melihat sendiri hilal itu?" "Ya, dan orang-oarng banyak pun melihatnya. Mereka lalu puasa, begitu pula dengan Mu'awiyah." "Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu," kata Abdullah bin Abbas, "Kami tidak puasa sebelum menggenapkan hitungan bulan (Sya'ban) hingga 30 hari atau kami melihat hilal itu." "Tidak cukupkah bagimu dengan ru'yahnya Mu'awiyyah kemudian berpuasa?" "Tidak, demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kepada kami." (shahih Muslim juz 1)


Karenanya seharusnya:
  1. dilihat/ dirukyat langsung. Kalau tidak terlihat karena mendung dan sebagainya maka digenapkan menjadi 30 hari
  2. gunakan hisab dan simulasi komputer untuk memperkirakan posisi bulan. Agar kita tidak salah melihat ke arah lain.
  3. untuk meminimalisir salah lihat/karena sugesti (merasa melihat karena punya motivasi kuat bisa melihat hilal), gunakan batas visibilitas hilal. Secara biologis jika memfokuskan penglihatan dan hanya melihat di satu arah saja, mata kita bisa melihat hingga kecerlangan 8 magnitudo atau setara dengan kecerlangan bulan 1%. Dengan memperhitungkan tinggi bulan dan jaraknya terhadap matahari, kita bisa membuat pedoman visibilitas hilal. Kalau bulan pada jarak segini dari matahari bisa terlihat mata atau tidak. Kesaksian yang tidak masuk akal (misal bulan terlalu dekat dengan matahari tapi ada orang yang mengaku bisa melihat hilal), maka kesaksian itu bisa kita tolak.
  4. jika di suatu tempat sudah terlihat hilal, hal ini hanya berlaku untuk daerah yang semathla'/di sekitarnya saja. Menilik hadits di atas, jarak makkah madinah masih jauh lebih kecil dari jarak sumatra papua. Kalau antara makkah madinah saja bisa beda hari, bagaimana dengan negara kita yang membentang luas?
  5. tapi kalau masyarakat kita masih sukar menerima perbedaan, mari kita lebaran sama-sama berdasarkan keputusan hakim/pemerintah. Kalau sudah ada keputusan pemerintah, ormas jangan ngeyel dan ngikut saja.

Dalam hadits riwayat Abu Daud, An Nasa'i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah: Seorang Badui datang kepada Nabi saw lalu berkata, "Saya telah melihat hilal." Nabi pun bertanya, "Apakah kamu bersaksi bahwa tiada Illah selain Allah?" Badui itu menjawab, "Ya." Nabi bertanya lagi, "Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?" Badui itu menjawab, "Ya." Kemudian Rasulullah berkata, "Ya Bilal, umumkanlah kepada manusia untuk berpuasa esok pagi."

Interpretasi hadits di atas, bukan sang Badui yang menetapkan awal bulan Ramadhan, melainkan Rasulullah sebagai Ulil Amri. Pendapat ini dianut oleh mazhab Syafi'i. Sedangkan 3 mazhab yang lain berpendapat, keputusan pemerintah tidak harus ada. Tapi seandainya keputusan itu ada, seluruh umat Islam yang berada di wilayah pemerintahan itu harus tunduk dan mematuhinya.


3 komentar:

  1. “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” [HR. Bukhari 4/106 dan Muslim 1081, dari Abu Hurairah ra.]

    BalasHapus
  2. Diriwayatkan dari Kuraib bahwasanya Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal (bulan sabit) pada malam Jum’at. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilan-gan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami’.(HR. Muslim 1087, at-Tirmidzi 647 dan Abu Dawud 1021. Riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi di shahih kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi 1/213)

    BalasHapus
  3. “Dari Ibnu 'Abbas ra dikatakan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, "Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.” [HR. Abu Dawud 2327, an-Nasa’i 1/302, at-Tirmidzi 1/133, al-Hakim 1/425, dan di shahih kan sanadnya oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi].

    BalasHapus