Teror di Negeri Ini

Nasruddin  sedang  bersungut-sungut terhadap dirinya sendiri. Melihat gelagat itu kawan setianya bertanya apa yang ia risaukan. Begitu beratkah masalah yang dihadapinya?
Padahal biasanya dia selalu bisa menyelesaikan setiap masalah yang dihadapinya dengan jitu, walau penuh aroma canda.
Nasruddin berkata, "Ahmad yang  goblok  itu  selalu  menabok punggung  saya  setiap
kali  ia melihat saya. Padahal saya tidak suka diperlakukan begitu. Maka, hari ini saya menaruh satu dinamit di bawah jaket  saya.  Kalau  kali ini ia menabok saya, ia akan kehilangan tangannya!"


Lelucon di atas sangat mengena, baik untuk bahan tertawaan atau untuk kita pahami sebagai bahan pembelajaran bersama. Bahwa
dalam kehidupan ini, tidaklah mungkin merugikan orang lain tanpa  merugikan  dirinya sendiri. Demikian juga sebaliknya, tidak mungkin membantu  orang  lain  tanpa  membantu  diri sendiri.  Makanya Allah selalu mengingatkan dengan indah dalam firmanNya: “Barangsiapa yang beramal baik, maka bermanfaat untuk dirinya, dan barangsiapa yang beramal jelek, maka berat atas dirinya. Dan Tuhanmu tidaklah pernah menganiaya terhadap seorangpun hambaNya.” (QS  Fushilat : 46)

Sehari setelah membaca cerita Nasruddin di atas, saya terkejut luar biasa demi mendengar  berita bom bunuh diri di Masjid Ad-dzikra Mapolresta Cirebon.  Di Masjid. Di markas Polisi lagi. Kalau dulu sasaran ledakkannya di tempat – tempat ‘maksiat’, sekarang sudah masuk ke wilayah suci pelaku itu sendiri. Sebuah pukulan telak buat institusi yang bernama islam. Sebuah penodaan terhadap kesucian agama sebagai jalan kedamaian. Sebuah pelecehan terhadap rumah ibadah
yang selama ini diagungkan sebagai rumah Allah. Sandaran nurani. Hati jadi pilu. Tak ada kata tepat yang bisa mewakili ungkapan hati waktu itu, kecuali hanya frustasi - kebodohan yang telah meraja. Runtuh sudah bangunan logika bermasyarakat dan bernegara.

Kolam kebencian memang tak bertepi. Jurang gelap dendam selalu dalam dan tak kenal dasar. Semakin dimasuki semakin kelam. Semakin diselami semakin  menjadi. Apalagi ditaburi dengan bumbu kebodohan yang
meraja, adalah paduan yang sempurna. Klop. Kebenaran menjadi milik diri sendiri. Selanjutnya hukum seolah berpindah tangan, aturan menjadi monopoli dan norma cuma penghias belaka.  Tuhan seolah menjelma dalam diri manusia di bumi memberikan titah tak terbantah. Perbedaan diberangus. Keberagaman dibinasakan. Tidak sesuai berarti harus disingkirkan, bagaimanapun caranya. Sunnguh sebuah anomaly - pemahaman yang menyesatkan.  Memilih hukum hanya yang sesuai dan sejalan dengan alam pikirannya. Dan urat dadanya dipenuhi dengan kebanggaan berlebih. Akhirnya, ketika ketemu jalan buntu perjuangan – karena tak kunjung ada hasil sesuai keinginannya - yang ada hanya rasa frustasi dan menghukum diri sendiri. Bunuh diri pun menjadi sebuah pilihan.

Perbedaan memang mempunyai factor besar dalam hidup ini. Siapapun yang bisa mengelola perbedaan dengan baik maka dia akan berhasil. Barangsiapa yang bisa menghormati perbedaan dia akan mulya. Namun ketika memandang perbedaan sebagai kendala dan hambatan, maka dia akan terjebak dalam lingkaran setan kesesatan. Karena itu berarti melawan hukum Allah di bumi ini. Perhatikanlah ada siang – ada malam, ada lelaki – ada perempuan, ada naik ada turun, ada bukit, ada lembah dan ada iman ada kafir. Tidaklah mungkin seluruh bumi ini iman semua, kecuali sehabis banjir Nuh. Namun toh akhirnya kembali menuju keseimbangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar