A. Pengertian Istinbat
Secara etimologi istinbath berarti penemuan, penggalian, pengeluaran
(dari asal). Sedangkan hukum mempunyai arti hukum, peraturan dan
kekuasaan. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa istinbath
hukum Al-Qur'an adalah menemukan dan mengambil hukum dari Al-Qur'an.
Sedangkan menurut istilah berarti mengeluarkan makna-makna dari
nash-nash yang terkandung didalamnya dengan cara mengerahkan kemampuan
atau potensi naluriyah.
Dari nash tersebut terbagi menjadi dua macam, yaitu yang berbentuk
bahasa (lughawiyah) yang biasa disebut lafdhiyah dan adakalanya tidak
berbentuk bahasa, yang biasa disebut maknawiyah. Dalam pembahasan
berikutnya akan kami jelaskan tentang pembagian masing-masing.
B.Istinbath Lafdzi
Yaitu mengistinbathkan hukum atau mengambil suatu hukum ditinjau dari
segi lafadznya. Para ulama’ Ushul memakai kaidah bahasa berdasarkan
makna tujuan ungkapan-ungkapan yang telah ditetapkan oleh para ahli
bahasa Arab, sesudah diadakan penelitian-penelitian yang bersumber dari
kesusasteraan Arab.
Ada tiga cara untuk mengetahui makna yang tepat dari suatu lafadz atau uslub-nya:
1) Berdasarkan pengertian banyak orang yang telah mutawatir, telah
terkenal serta telah menjadi kebiasaan dalam percakapan dan pergaulan
sehari-hari, yang mana Imam Syafi’i menyebutnya dengan Ilmu al-’Ammah.
Yaitu sesuatu yang sudah menjadi maklum (umum).
2) Berdasarkan pengertian orang-orang tertentu dan tidak diketahui oleh
kelompok lain. Hal ini dapat kita jumpai dalam istilah-istilah ilmiah.
yang menurut Imam Syafi’i disebut ilmu al-khasshah.
3) Berdasarkan hasil pamikiran akal nalar terhadap suatu lafadz.
Namun demikian tidaklah semua orang dapat menetapkan pengertian
kata-kata itu berdasarkan hasil pemikiran akal setiap orang, tetapi
haruslah oleh yang ahlinya dalam bahasa itu, dan mengerti tentang
perkembangan pemakainnya di kalangan masyarakat.
C. Macam-macam Istinbath Lafdzi:
1. Khash
Dalam mendefinisikan kata khash para Ulama’ Ushul berbeda pendapat.
Namun, pada hakikatnya definisi tersebut memiliki pengertian yang sama.
Hukum Lafadz Khash.
Suatu lafadz dalam nash hukum syara’ yang menunjukan suatu lafadz
tertentu adalah qath’i bukan dhanny, selama tidak ada dalil-dalil lain
yang mengubah maknanya. Oleh karena itu, apabila lafadz khash
dikemukakan dalam bentuk mutlak, tanpa batasan apapun maka lafadz itu
memberi faedah ketetapan hukum secara mutlak, selama tidak ada dalil
yang membatasinya. Dan bila lafadz itu dikemukakan dalam bentuk
perintah, maka ia memberikan faedah berupa hukum wajib bagi yang
diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkan
pada makna yang lain. Demikian juga apabila lafadz itu dikemukakan
dalam bentuk larangan (nahi), ia memberikan faedah berupa hukum haram
terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah atau indikasi
yang memalingkan dari hal itu.
2. ’Amm
Lafadz ’Amm adalah suatu lafadz yang menunjukan suatu makna yang
mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu
(global). Tidak ada perbedaan dalam pengertian ’amm tersebut apakah
dinyatakan dengan lafadz plural (jamak) atau singular (tunggal). Para
Ulama’ Ushul memberikan definisi ’amm salah satunya adalah menurut
ulama’ Syafi’iyah, yang berpendapat bahwa ’amm adalah : ”satu lafadz
yang dari satu segi menunjukan dua makna atau lebih.” Hukum berhujjah
dengan ’Amm:
Jumhur Ulama’ Ushul berpendapat bahwa dalalah menunjukan seluruh
satuannya secar dzanniyah, karena apa yang terkandung didalam lafadz
’amm itu kebanyakan yang dikehendaki adalah beberapa atau sebagian dari
satuan-satuannya saja. Karena itu dikalangan ulama’ terkenal adanya
kaidah :
”tidak ada satupun dari yang umum melainkan ia di takhsiskan (dibatasi).”
Jadi, tidak diperkenankan langsung berhujjah dengan dalil ’amm dalam
menetapkan hukum. Karena itu para mujtahid diwajibkan meneliti lebih
dahulu apakah ada pen-takhsis-nya atau tidak.
3. Amr (perintah)
Definisi amr menurut Jumhur Ulama’ adalah suatu permintaan dari atasan
kepada bawahan untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Bentuk Amr dan
hakikatnya
Menurut Jumhur Ulama’, amr secara hakikat menunjukan wajib dan tidak
bisa berpaling pada arti lain. Kecuali bila ada qarinah. Pendapat ini
dipegang oleh al-hamidi, As-Syafi’i, para Fuqaha, kaum mutakallimin,
seperti Al-Husein Al-Basari dan Al-Juba’i.
Golongan kedua, yaitu mazhab Abu Hasyim dan sekelompok ulama’
mutakallimin dari kalangan Mu’tazilah menyatakan bahwa hakikat amr
adalah nadb (Sunnah).
Golongan ketiga berpendapat bahwa amr itu musytarak antara wajib dan nadb, pendapat ini dipengaruhi oleh Abu Mansur Al-Maturidi.
Pendapat keempat, Qadi Abu Bakr, Al-Gazali, dan lain-lain, menyatakan
bahwa amr itu maknanya bergantung pada dalil yang menunujukan maksudnya.
• Perintah sesudah larangan
Ada perbedaan pendapat ulama’ tentang dalalah amr sesudah nahi. Ada
yang mengatakan bahwa amr itu tetap wajib dikerjakan walaupun
sebelumnya ada larangan untuk berbuat. Namun demikian yang masyhur
dikalangan ulama’ Ushul ialah amr sesudah nahi adalah ibahah
(Kebolehan).
• Perintah dan waktu mengerjakannya
Lafadz amr baik dalam Al-qur’an maupun al-Hadis pada hakikatnya adalah
untuk mengerjakan apa yang disuruh. Suruhan itu tidak harus segera
dilaksanakan dalam waktu yang cepat ataupun ditangguhkan. Semuanya itu
dapat dipahami dengan adanya qarinah-qarinah (argumen) lain.
4. Nahi (larangan)
Definisi nahi adalah kebalikan dari amr yaitu lafadz yang menunjukan
tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan.
Makna Sighat Nahi :
a. Menurut Jumhur Ulama, pada dasarnya adalah menunjukan kepada tahrim,
seperti firman Allah SWT yang artinya : ”janganlah kamu mendekati
zina”. (al-Isra’: 32) Dari pernyataan diatas dapat disimpulakan bahwa,
pada dasarnya larangan itu untuk mengharamkan (sesuatu perbuatan yang
dilarang).
b. Pendapat kedua, menyatakan bahwa pada dasarnya nahyi itu menunjukan
pada karahah saja. Mereka memiliki kaidah, pada dasarnya nahi itu
menunujukan kepada karahah (perbuatan yang dibenci). Alasan mereka
larangan itu karena buruknya perbuatan yang dilarang dan tidak mesti
harus haram. Diantara yang haram dan yang makruh, yang paling diyakini
adalah yang makruh bukan yang haram, apalagi pada dasarnya segala
perbuatan itu adalah boleh dikerjakan.
5. Muthlaq dan Muqayyad
Muthlaq adalah suatu lafadz yang menunjukan hakikat sesuatu tanpa
pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya. Sedangkan Muqayyad
adalah suatu lafadz yang menunjukan hakikat sesuatu yang dibatasi
dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinnya.
Bentuk-bentuk Mutlaq dan Muqayyad :
• Suatu lafadz dipakai dengan mutlaq pada suatu nash, sedangkan pada
nash lain digunakan dengan Muqayyad, keadaan ithlaq dan taqyid-nya
bergantung pada sebab hukum.
• Lafadz mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.
• Lafadz mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya ataupun sebab hukumnya.
• Mutlaq dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya sama.
Mutlaq dan muqyyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.
Hukum lafadz mutlaq dan muqayyad: Lafadz mutlaq dan muqayad,
masing-masing menunjukan kepada makna yang qath’i dalalah-nya. Karena
itu apabila lafadz tersebut mutlaq maka harus diamalkan sesuai dengan
muthlaq-nya. Dan apabila lafadz itu muqayyad, maka harus diamalkan
sesuai dengan muqayyad-nya. Yang demikian itu berlaku selama belum ada
dalil yang memalingkan artinya dari muthlaq ke muqayyad dan dari
muqayyad ke mutlaq.
D. Istinbath Maknawi
a) Makna Dhahir
Penjelasan tentang dhahir atau (dhahirud dalalah) adalah termasuk
pembicaraan tentang lafadh ditinjau dari segi terang atau tidaknya arti
yang terkandung di dalamnya.
Menurut para ulama ushul fiqh, dhahirud dalalah atau juga disebut
dengan wadlihud dalalah ialah lafadh yang menunjukkan kepada ketegasan
arti yang dimaksudkan secara jelas dalam lafadh itu sendiri, tidak
tergantung kepada sesuatu hal di luar lafadh tersebut. Dengan kata
lain, dhahirud dalalah adalah lafadh yang terang arti yang ditunjuki,
sehingga untuk sampai kepada arti tersebut tidak perlu adanya sesuatu
bantuan di luar lafadh itu.
Dilihat dari tingkat terangnya lafadh itu dalam menunjukkan kepada arti
yang dimaksudkan, maka dhahirud dalalah adalah dibagi menjadi empat
macam, sedangkan urutan tingkat empat macam tersebut dari yang terang
kemudian yang lebih terang dan seterusnya meningkat kepada yang lebih
terang lagi, adalah sebagai berikut : dhahir, nash, mufassar kemudian
muhkam.
1. Dhahir
Dhahir ialah suatu lafadh yang jelas dalalahnya menunjukkan kepada
suatu arti asal tanpa memerlukan factor lain diluar lafadh itu dan
mungkin dapat ditakwilkan dalam arti yang lain, dan mungkin juga
dimasukkan.
Hukum dhahir adalah wajib diamalkan menurut arti yang ada pada lafadh
itu kecuali ada dalil lain yang men-ta’wil-kannya. Jika dhahir berupa
lafadh mutlak harus diamalkan menurut mutlaknya sampai ada dalil yang
men-taqyid-kan (membatasi) kemutlakan tersebut, dan jika dhahir itu
berupa lafadh ’amm, maka harus diamalkan menurut keumumannya, sampai
ada dalil lain yang men-takhsis-kan (mengkhususkan) berlakunya keumuman
tersebut atau diamalkan menurut arti yang ada pada lafadh itu sampai
ada dalil yang me-mansukh-kannya.
2. Nash
Nash ialah suatu lafadh yang tidak mungkin mengandung pengertian lain,
selain yang ditunjukkan oleh lafadh itu sendiri yang dapat ditakwilkan.
Sebagaimana hukum dhahir, nash juga harus diamalkan menurut arti yang
ada pada nash tesebut sampai ada dalil yang men-takwil-kan, yaitu kalau
lafadh itu berupa lafadh mutlak harus diamalkan atas kemutlakannya
sampai ada dalil yang men-taqyid-kannya. Dan kalau nash itu berupa
lafadh ’amm harus diamalkan atas keumumannya sampai ada dalil yang
mengkhususkan atau diamalkan menurut arti yang ada pada lafadz tersebut
sampai ada dalil yang me-mansukh-kan.
3. Mufasshar
Mufasshar ialah suatu lafadh yang terang petunjuknya kepada arti yang
dimaksud dengan disusunnya lafadh itu yang tidak mungkin di-takwil-kan
kepada yang lain, akan tetapi dapat menerima nasakh (penghapusan) pada
masa Rasulullah saw. Mufasshar dibedakan menjadi dua macam, yaitu
mufassar lidzatihi dan mufassar bighoirihi.
a. Mufasshar lidzatihi yaitu lafadh yang tidak membutuhkan penjelasan
dari yang lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksudkan
b. Mufasshar bighoirih, yaitu lafadh yang membutuhkan penjelasan dari
yang lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksudkan.
4. Muhkam
Muhkam ialah lafadh yang terang petunjuknya kepada arti yang
dimaksudkan (dengan disusunnya) lafadh itu, dengan tidak mungkin
ditakwilkan dan tidak dimansukhkan pada masa Rasulullah saw. Tidak
di-mansukh-kannya muhkam, karena hukum-hukum yang tersebut merupakan
hukum-hukum yang pokok dalam agama, seperti ibadah hanyalah kepada
Allah swt dll.
b) Makna Khafi
Pembicaraan tentang khafi atau lengkapnya disebut dengan khafiyud
dalalah juga merupakan bagian dari pembiraan tentang lafadh ditinjau
dari segi terang atau tidaknya petunjuknya kepada arti yang
dimaksudkan. Khafiyud oleh para ulama ushul fiqh diartikan dengan :
lafadh yang tertutup (tidak terang) aartinya, oleh karena itu keadaan
lafadh itu sendiri atau karena hal-hal lain.
Para ulama membagi khafiyud dalalah menjadi empat macam, yaitu : Khafi, musykil, mujmal dan mutasyabih.
1. Khafi
Khafi ialah suatu lafadh yng terang maknanya secara lahiriah tetapi
pemakaiannya kepada sebagian lafadhnya tidaklah mudah memerlukan
pemikiran yang mendalam.
Sebab timbulnya khafi, ialah karena adanya sebagian satuan yang
terkandung dalam lafadh itu yang mempunyai nama tersendiri atau
mempunyai nama tersendiri atau mempunyai sifat-sifat tertentu yang
membedakan dengan satuan yang lain.
2. Musykil
Musykil ialah lafadh yang terang petunjuknya kepada arti yang
dimaksudkan, untuk menjelaskan maksudnya harus dibantu. Arti tidak
mungkin diketahui kecuali dengan adanya dalil-dalil lain yang
menjelaskan maksudnya. Sebab terjadinya musykil yaitu, karena lafadh
tersebut mempunyai lebih dari satu arti yang berbeda, baik arti hakiki
maupun arti majazi, dan lafadz itu sendiri tidak menentukan salah satu
arti yang dimaksudkan. Atau terjadi pertentangan pemahamannya dengan
pemahaman lain, maka tidak akan dapat dipahami arti yang dimaksudkan,
kecuali dengan adanya dalil-dalil lain yang menjelaskannya.
3. Mujmal
Mujmal ialah lafadh yang terang arti yang dimaksudkan oleh karena
keadaan lafadh itu sendiri, dan tidak mungkin dapat diketahui arti yang
dimaksudkan itu kecuali dengan adanya penjelasan dari syara’.
4. Mutasyabih
Mutasyabih ialah lafadh yang tidak terang arti yang dimaksudkan karena
pada lafadh itu sendiri dan tidak dapat qarinah yang menjelaskannya.
E. Fiqh Imam Abu Hanifah dan Metodologinya dalam Istinbat hukum
Fiqh Imam Abu Hanifah memiliki cara yang modern dan manhaj
tersendiritersendiri dalam kancah perfiqihan dan tidak ada sebelumnya.
Imam Asy Syafi’i berkata, “Semua orang dalam hal fiqh bergantung pada
imam Abu Hanifah berkata, sungguh seorang yang ahli fiqh.”
Imam Abu Hanifah memiliki manhaj tersendiri dalam meng-istinbat hukum.
Beliau pernah berkata, “Saya mengambil dari kitab Allah, jika tidak ada
maka dari sunnah Rasulullah dan jika tidak ada pada keduanya saya akan
mengambil pendapat sahabat. Saya memilih salah satu dan meninggalkan
yang lain, dan saya tidak akan keluar dari pendapat mereka dan
mengambil pendapat orang lain. Dan jika sudah sampai kepada pendapat
Ibrahim, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Sa’id bin Al Musayyib
maka saya akan berijtihad seperti mereka berijtihad”
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa manhaj Imam Abu Hanifah dalam meng-istinbat hukum adlah sebagai berikut;
a. Alquran, merupakan sumber utama syari’at dan kepadanya dikembalikan
semua hukum dan tidak ada sumber hukum satu pun, kecuali dikembalikan
kepadanya.
b. Sunnah, sebagai penjelas kandungan Alquran , menjelaskan yang global
dan alat dakwah bagi Rasuluiiah SAW dalam menyampaikan Risalah
Tuhannya. Maka barang siapa yang tidak mengamalkan sunnah, sama artinya
ia tidak mengakui Risalah Tuhannya.
c. Pendapat Sahabat, karena mereka hidup satu zaman dengan Rasulullah
SAW, lebih memahami sebab turunnya ayat, kesesuaian setiap ayat dan
hadis, dan merekalah yang membawa ilmu Rasulullah SAW kepada umatnya.
d. Qiyas, beliau menggunakan qiyas ketika tidak ada nash Alquran atau
sunnah atau ucapan sahabat, beliau menggali illat dan jika menemukannya
ia akan mengujinya terlebih dahulu, lalu menetapkan dan menjawab
masalah yang terjadi dengan menerapkan illat yang ditemukannya.
e. Al-Istihsan, yang meninggalkan qiyas zhahir terkadang tidak dapat
diterapkan dalam sebagian masalah. Oleh karena itu, perlu mencari illat
lain dengan cara qiyas khafi, atau karena qiyas zhahir bertentangan
dengan nash sehingga harus ditinggalkan.
f. Ijma’, yang menjadi hujjah berdasarkan kesepakatan ulama walaupun
mereka berbeda pendapat apakah ijma’ ini pernah ada setelah Rasulullah
SAW.
g. Al-‘Urf (adat istiadat), yaitu perbuatan yang sudah menjadi
kebiasaan kaum muslimin dan tidak ada nash, baik dari Alquran, sunnah,
atau pertbuatan sahabat, dan berupa adat yang baik, serta tidak
bertentangan dengan nash sehingga dapat dijadikan hujjah.
Kesimpulan
Jadi istinbat hukum adalah menemukan dan mengambil hukum dari dari nash yang ada. Di dalam Istinbat hukum terdiri dari Istinbat Lafdzi yang berarti mengambil suatu hukum ditinjau dari segi lafadznya dan Istinbat Maknawi yang berarti mengambil suatu hukum ditinjau dari segi maknanya. Dan Manhaj dalam mengistinbat-kan hukum ada 7 ; Alquran, Sunnah, Pendapat Sahabat, Qiyas, Al-Istihsan, Ijma’, Al-‘Urf (adat istiadat).
Bagus alhamdulillah bermanfaat
BalasHapus