Buddha Meramalkan Kedatangan Muhammad

Buku kecil – Muhammad Dalam Kitab Suci Dunia- ini telah menemukan dari kepustakaan Buddhist suatu rahasia mendalam yang akan merombak pandangan keagamaan dari sepertiga penduduk dunia yang memeluk keimanan kepada Gautama Buddha. Ini adalah nubuatan dalam bahasa seterang mungkin mengenai kedatangan dari Guru besar dunia, digambarkan sebagai Maitreya Buddha, yang berarti “Rahmat kepada seluruh bangsa-bangsa”, suatu terjemahan harfiah dari gambaran al-Quran atas Nabi Suci Muhammad sebagai Rahmatan-lil-‘alamien. Al-Quran mengklaim bahwa kedatangan Nabi Suci telah diramalkan oleh setiap Guru agama dunia dan dimasukkan dalam masing-masing Kitab sucinya. Nubuatan dalam Injil telah diketemukan yang menekankan tergenapinya dalam pemunculan diri Nabi Suci. Nubuatan dalam Weda, Kitab suci agama Hindu, juga telah membawa ke tempat terang penemuan terpenuhinya kedatangan Nabi Suci secara ajaib.

Penemuan kini tentang nubuatan yang sama dari Buddha, memberikan nyaris setiap gambaran yang menonjol dari tata aturan Nabi Suci, yang membubuhkan segel penutup atas pembenaran dari klaim al-Quran. Pengarangnya, Maulana Abdul Haque Vidyarthi yang adalah seorang pakar Sanskerta yang besar, melakukan perjalanan panjang untuk melengkapi penelitiannya, mendalami arsip dari British Museum di London dan perpustakaan Buddhist di Ceylon untuk mencari tahu Kitab-kitab asli yang sangat langka. Kitab ini, di samping mengusung persamaan yang kuat antara ajaran Islam dan Buddha, masih harus menempuh perjalanan panjang  dalam membawa umat Muslim dan Buddha lebih erat di dunia.
Muhammad Yakub Khan Editor The Civil and Military Gazette Lahore, December 22, 1955.

BUDDHA MERAMALKAN KEDATANGAN MUHAMMAD
Sekarang sampailah kita kepada agama Buddha, yang mempunyai lebih banyak pemeluk dibanding setiap agama lain di dunia. Jumlah penganutnya adalah sepertiga dari penduduk bumi. Karena itu, adalah benar­-benar tidak adil pada fihak Tuhan bila Dia meninggalkan begitu besar komunitas tanpa seorang saksi. Jika memang benar bagi bangsa Yahudi, bahwa bila mereka percaya kepada Tuhan dan para rasul-Nya, lalu mengapa kaum Hindu dan Buddha tidak memiliki nabi-nabi di antara mereka sehingga mereka bisa beriman kepada Tuhan dan Utusan-Nya serta mengikuti jalan yang lurus, sebagaimana dicantumkan dalam al-Quran. Beberapa ulama Muslim mengira bahwa Quran Suci hanya menyebutkan para nabi Bani Israil. Ini adalah benar-benar kesalah-fahaman. Yakinlah bahwa ada nabi-nabi yang tidak termasuk dalam Rumah Israil. Ini dinyatakan dengan kata-kata yang jelas:
“Dan (Kami telah mengutus) para Utusan, yang sebelumnya telah Kami kisahkan kepada engkau, dan para Utusan yang tak Kami kisahkan kepada engkau”. (Q.S. 4:164).

Pada akhir ayat ini, Tuhan Sendiri menekankan:
“Para Utusan, mereka mengemban kabar baik dan memberi peringatan, agar manusia tak mempunyai alasan untuk menentang Allah setelah (datangnya) para Utusan. Dan Allah itu senantiasa Yang Maha-perkasa, yang Maha-bijaksana” (Q.S. 4:165).
Manifestasi dari kebijaksanaan Tuhan ini adalah bahwa perlu juga dalam hal bangsa-bangsa lain sebagaimana dalam hal bangsa Yahudi. Dinyatakan dalam al-Quran bahwa Hud telah dikirim ke kaum Ad. Bangsa ini tinggal di gurun Al-Ahqaf yang memanjang dari Oman sampai Hadramaut, di Arabia selatan.
Nabi saleh dikirim ke kaum Tsamud. Ini tidak hanya para nabi yang disebutkan dalam al-Quran yang sama sekali tak terdapat dalam Alkitab. Dia juga menyebutkan nabi-nabi non-Israil yang bersamaan waktunya dengan Musa dan kepada siapa Musa pergi mencari ilmu. Dia tinggal di pertemuan kedua Sungai Nil yakni di Khartoum. Lagi pula, al-Quran juga membicarakan Darius, Raja Persia, yang disebut Dzulqarnain, atau seorang yang bertanduk dua, berdasarkan rukyah Nabi Daniel. Ada juga surat dalam Quran Suci yang mengandung nama Luqman (al-Quran surat 31). Luqman adalah seorang Ethiopia dan meskipun demikian dia adalah seorang nabi, meski mufassir berbeda masalah identitasnya, beberapa mengatakan bahwa dia seorang Yunani, yang lain menyatakan bahwa dia termasuk kaum ‘Ad, namun tetap yang lain menyatakan bahwa dia seorang Ethiopia. Sebagai tambahan atas hal ini dalam surat berjudul “Para Nabi” (al-Anbiyya) dinyatakan:
“Dan Ismail dan Idris dan Dhul-Kifli; semua itu orang yang sabar. Dan mereka Kami masukkan    dalam rahmat Kami, sesungguhnya mereka golongan orang yang saleh” (Q.S. 21:85-86).

Di sini, setelah menyatakan penderitaan, cobaan dan kesukaran yang datang menimpa Ayub dari Tuhan, dikatakan bahwa dia menghadapkan diri kepada Tuhan bagaikan bayi ketika dipukul oleh ibunya. Sang bayi menangis namun lari kepada ibunya minta perlindungan. Demikianlah maka para Nabiyullah lari kepada Tuhan untuk mohon perlindungan bahkan ketika tahu dari Tuhanlah suatu cobaan tertentu itu datang menimpa mereka. Ismail dan ibunya, misalnya, hidup dalam kesunyian mutlak di tanah yang asing di bawah perintah Tuhan yang diberikan kepada Ibrahim, namun mereka tidak pernah mengeluh kepada Tuhan dan tetap bersabar serta penuh yakin kepada-Nya seperti saat-saat sebelumnya. Terlebih lagi, Ismail dalam pengabdiannya kepada Tuhan menyerahkan sepenuh hidup dan pengorbanannya. Dan Idris, nabi Tuhan yang lain, menyerahkan seluruh hidupnya, yakni tigaratus tahun, dalam mempelajari jalan-jalan Tuhan. Setelah ini Tuhan menyebut seorang nabi yang membawa nama Dzulkifli yang jelas bukan dari ras Israil. Adalah suatu pemutar-balikan sejarah para nabi yang mengatakan bahwa dia seorang nabi Israili. Kisah Dzulkifli sebagaimana diberikan oleh Ibnu Abbas tidak ada sebutannya dalam tradisi Yahudi dan Kristiani serta Kitab-kitab suci mereka. Di sisi lain, Mujahid mengira bahwa Dzulkifli adalah nama lain dari Ilyas, dan Abu-Musa Asy’ari berkata bahwa Dzulkifli bukanlah seorang nabi. Tetapi Hasan mengatakan kepada kita bahwa dia adalah seorang nabi karena dia telah disebutkan dalam surat ‘Para Nabi’ (Al-Anbiyya). Kedua, dia telah digabungkan dengan Ismail dan Idris dan mereka itu diakui adalah nabi, yang menunjukkan bahwa dia seorang nabi juga. Ketiga, Tuhan Sendiri berfirman:
“Dan Ismail dan Idris dan Dhul-Kifli; semua itu orang yang sabar” (Q.S. 21:85).
Rahmat ini (rahmatina) adalah nama lain dari kenabian. Ke empat, Dzulkifli begitu pun Ismail dan Idris adalah teladan kesabaran; yakni keteguhan hati mereka inilah yang menunjukkan bahwa mereka itu nabi.
Tak seorangpun dari kita tanpa kesulitan. Kita harus merasakan kesedihan dan penderitaan serta tunduk kepada nasib yang kurang beruntung. Tetapi hanya ketika kehilangan ini diderita dengan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan maka hal ini baru menjadi punya nilai spiritual. Terlebih lagi, kesucian didapat oleh dia yang berduka tidak untuk dirinya sendiri melainkan demi derita orang-orang lain dan yang mengabdikan kehidupannya demi kesejahteraan orang lain, tidak pernah mempedulikan kepentingan dirinya sendiri. Penuh kehormatanlah dia yang mencintai umat manusia dan menunjukkan kasih-sayangnya dengan tindak pertolongan serta kedermawanan. Tak diragukan lagi, dia adalah benar-benar sedih tetapi tak pernah mengeluh. Kata Arab sabar yang, memberi arti berlainan tergantung penggunaannya, dalam terminologi teologi Islam ini berarti:

Menghindari berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kebijaksanaan dan hukum.
Tidak menjerit dan menangis pada waktu kesulitan. Dalam medan perang atau waktu agresi, sabar berarti keberanian dan ketegaran, sebagaimana Quran Suci telah berkata:
“Keberanian sejati itu adalah mereka yang berdiri teguh dan berlaku sabar di bawah sakit dan kesulitan kesabaran mereka hanyalah demi Tuhan, dan tidak memperagakan keberaniannya”.
Keberanian sejati terletak dalam kesabaran serta ketegaran dalam menahan nafsu, dan berdiri tanpa takut untuk menyokong kebaikan dan mencegah kejahatan. Jika seseorang itu sabar dalam pengertian yang benar, dia bertindak sebagai pembaharu dan pemimpin dari komunitas yang lebih besar dan tetap bertambah demikian bila dia kelihatan tidak hanya mencari makan untuk dirinya sendiri melainkan juga untuk memberi makan orang-orang yang menderita kelaparan. Sesungguhnya dia adalah putera langit yang terilham.
Buddha meninggalkan mahkota dan istana serta segala kesenangan hidup demi orang-orang yang terlantar dan mengalami kesulitan untuk membawa mereka keluar dari penderitaan dan kesedihan. Meskipun dia seorang pangeran, dia tidak pernah menangisi rasa sakit dan kesukarannya sendiri melainkan tetap sabar dalam menghadapinya. Dia menahan marahnya terhadap musuh-musuhnya dan mengajari para pengikutnya moral yang tinggi. Dia teguh dalam kebenaran bila kehormatan bahkan kehidupan dalam bahaya. Orang-orang mempercayai kejujurannya. Ada kisah yang diceriterakan oleh Ibnu Abbas bahwa ada seorang nabi yang Tuhan memberinya kerajaan. Tiada berapa lama, Dia mewahyukan kepadanya:
“Aku akan mematikan engkau segera, karena itu serahkanlah kerajaan itu kepada orang lain, yang akan menjadi pewarismu, dia harus menyembah Tuhan pada waktu malam dan menjalani puasa sepanjang hari. Dia tidak boleh marah selagi mengadili orang”.
Atas pariwara sebagai nabi, seorang lelaki menyerahkan dirinya mengaku bahwa dia adalah orang yang dimaksud. Setan datang mencobainya dengan keras tetapi dia terbukti sempurna dan bersyukur kepada Tuhan. Sesuai dengan itu, Tuhan berkenan kepadanya dan memberi nama Dzulkifli (Razi jilid 6 halaman 136). Perawi yang lain Mujahid menceriterakan kisah ini untuk Ilyas. Dari kisah ini bila kita hilangkan namanya, jelaslah bahwa kisah ini hanya punya sedikit sekali perbedaan dengan riwayat Buddha, yang meninggalkan kerajaannya dan menjalani praktek hidup bertapa yang keras. Mara (setan) mencobainya tetapi dia tetap teguh dalam menolak bisikan jahat dari setan. Dia menghilangkan kecemburuan dan kemarahan, meskipun musuh-musuhnya membencinya dengan sengit. Mereka yang telah mempelajari riwayat hidup Buddha, kenal benar bahwa dia memiliki semua sifat moral yang tinggi. Sekarang, menyimpulkan bahwa Buddha adalah seorang yang terilham.
Quran Suci berulang-ulang berfirman (FIRMAN ALLAH):
“Dan bagi tiap-tiap umat ada Utusan. Maka apabila Utusan mereka datang, perkara akan diputuskan antara mereka dengan adil, dan mereka tak akan dianiaya” (Q.S.10:47).

Orang-orang dari Timur Jauh, Cina, Jepang, dan Tibet, membentuk sejumlah besar mayoritas populasi dunia. Bagaimana ini bisa masuk di akal untuk mengira bahwa sejumlah besar umat semacam itu tidak mendapatkan juru ingat atau utusan yang dikirimkan kepada mereka, dan kemudian mereka bisa menegakkan suatu agama yang mengaku mempunyai penganut yang lebih besar dari umat lain. Pada hari pengadilan ketika hukum pembalasan Ilahi akan mengadili di antara umat sesuai dengan kitab wahyunya masing-masing, jika tidak ada kitab atau hukum yang pernah diturunkan kepada suatu umat tertentu melalui utusan-Nya, lalu atas dasar apa mereka akan diadili? Hendaknya dicatat bahwa umat Buddha bukanlah suku terasing melainkan bangsa yang beradab. Dinyatakan dalam Quran Suci(FIRMAN ALLAH):
“Dan orang-orang yang berjuang untuk Kami, Kami pasti akan memimpin mereka di jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah itu menyertai orang yang berbuat baik”. (Q.S. 29:69).
Dan siapakah yang mengingkari bahwa Buddha berjuang keras untuk mengenal jalan yang lurus dan menderita dirinya demi mencari cahaya ruhani. Perkara revolusioner pertama dalam kehidupan gautama yalah bahwa dia mendapat julukan ‘Buddha’ yang berarti ‘seorang yang tercerahkan’. Dia duduk di bawah satu Pohon tertentu (belakangan disebut pohon ilmu). Dia memutuskan bahwa dia tak akan berdiri sebelum menerima pencahayaan. Dia memiliki kemauan baja; sehingga dia lebih disukai dengan gelar ‘Buddha’ (seorang yang mendapat pencerahan) dari langit. Dia langsung kembali kepada para pertapa yang mengutuknya dan kini mereka berlari menemuinya dan memanggilnya “Saudara”. Untuk itu, dia menjawab:
“Wahai pertapa, jangan tujukan seorang yang sempurna sebagai ‘Saudara’, seorang yang sempurna adalah Buddha(yang tercerahkan) yang suci dan utama”.
Dan tertulis dalam Quran Suci:
“Apakah orang yang telah mati, lalu Kami hidupkan lagi, dan kepadanya Kami beri cahaya yang dengan itu dia berjalan di antara manusia” (Q.S. 6:123).
Buddha telah bangkit dari kematiannya menuju hidup; dia sekarang telah membawa cahaya dengan mana dia menunjukkan jalan kepada orang-orang lain.
Suatu hari setelah enam tahun dengan bertapa menahan diri yang sangat ketat yang telah menurunkan dirinya hingga berubah tinggal tulang, dia diserang penyakit keras dan jatuh pingsan. Maka dia tiba pada kesimpulan bahwa dia harus menggunakan suatu ‘jalan tengah’(majjhima pad), langkah antara penolakan diri dari seorang pertapa dengan keinginan sensual, dan inilah jalan yang lurus.”jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat” (Q.S. 1:5, 4:69). Dikatakan dalam Quran Suci: “Dan tiada suatu umat, melainkan telah berlalu di kalangan mereka seseorang juru ingat” (Q.S. 35:24).
Alasan yang diberikan adalah: “agar manusia tak mempunyai alasan untuk menentang Allah setelah (datangnya) para Utusan” (Q.S. 4:165). Jika tak seorangpun juru ingat telah datang di kalangan bangsa India, maka alasan mereka pada hari pengadilan terhadap Tuhan adalah bahwa Dia tidak mengirim utusan seorangpun kepada mereka sehingga mereka bisa beriman kepada rasul-Nya dan beriman kepada-Nya. Adalah masuk akal untuk berpendapat bahwa suatu komunitas yang besar semacam itu tersisih dari “Rahmat bagi segala bangsa” s.a.w., bahwa dia tidak membenarkan Buddha atau ‘cahaya Asia’, maupun Buddha menubuatkan “demi kehendak dari segala bangsa” (Kejadian 49:10, Yesaya 2:2, 11:10, 42:1,4). Dalam ayat yang dikutip di atas, disebutkan tiga nabi besar – Ismail, Idris dan Dzulkifli dalam satu kategori yang sama dan dinyatakan bahwa mereka itu sabar dalam segala keadaan. Ismail telah menyerahkan dirinya dalam ketaatan kepada Tuhan. Idris (Henokh) membaktikan seluruh hidupnya dalam mempelajari sifat-sifat Tuhan dan berjalan bersamanya selama tigaratus tahun (Enokh dalam bahasa Ibrani berarti ‘seorang yang sangat berbakti’, Kejadian 5:22-24). Yang ketiga adalah Dzulkifli, kifl berarti ‘dua kali, dua­kelipatan pahalanya’. Karena itu, Dzulkifli berarti, ‘Seorang yang telah diberi pahala dua kali lipat’. Ada juga ayat lain yang menerangi arti dari kata sifat ini. Bahwa ahli Kitab bila mereka percaya kepada Nabi Suci, maka mereka akan dihadiahi Tuhan pahala dua kali:
“Dan apabila dibacakan kepada mereka, mereka berkata: Kami beriman kepadanya; sesungguhnya itu Kebenaran dari Tuhan kami. Sesungguhnya sebelum itu kami orang yang berserah diri.   Mereka akan diberi ganjaran lipat dua, karena mereka sabar, dan menolak kejahatan dengan   kebaikan, dan membelanjakan sebagian yang Kami rezekikan kepada mereka” (Q.S. 28:53-54).
Alasan untuk memberikan pahala dua kali lipat diberikan dengan kata-kata: “Karena mereka menolak kejahatan dengan kebaikan”.
Orang-orang yang disebutkan dalam ayat-ayat ini adalah “ahli kitab”, yang beriman kepada kitab-kitab suci mereka maupun kepada Nabi Suci s.a.w. Jelaslah bahwa Buddha atau Dzulkifli adalah salah-satu dari mereka, dia beriman kepada kitabnya sendiri dan meramalkan datangnya Maitreya Buddha yang mirip dirinya. Karena itu, Tuhan menghadiahi dia dengan pahala berlipat dua sesuai dengan gelarnya yakni ‘Dzulkifli’.
Sebagai penutup, boleh saya katakan bahwa Islam meletakkan landasan universalisme. Ini terbukti tidak saja yang terbesar melainkan juga tenaga yang mempersatukan elemen kemanusiaan yang berbenturan. Untuk pertama kalinya diumumkan bahwa kepada setiap bangsa itu dikirim seorang utusan dan Nabi Suci kita yalah yang membenarkan semua nabi. Sekarang buku berjudul “Muhammad dalam Kitab-kitab Suci Dunia” adalah suatu bukti tercatat, yang diterbitkan untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, mengenai fakta skriptural yang besar yang diperkuat dalam al-Quran bahwa semua nabi, mereka yang muncul sebelum Nabi Suci Muhammad s.a.w. telah meramalkan kedatangannya yang diberkahi.
Buku berjudul Muhammad dalam Kitab Suci Dunia karya Maulana Abdul Haque Vidyarthi (1888 – 1978)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar