Iman Itu Letaknya Di Hati

Jika seorang di antara mereka ditanya, mengapa dia tidak berhijab? Maka ukhti yang terhormat ini akan menjawab: “ Ah, iman itu letaknya di hati, yang penting perbaiki hati duli”.

Ini adalah jawaban yang paling sering dilontarkan oleh para wanita muslimah yang belum berhijab. Karena itu di bawah ini akan kita bahas syubhat tersebut.

1. Sumber Syubhat.
Mereka berusaha menafsirkan sebagian hadist, tetapi tidak sesuai dengan yang dimaksudkan, seperti dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

(( إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ ))

“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk-bentuk (lahiriah) dan harta kekayaanmu, tetapi Dia melihat pada hati dan amalmu sekalian.” (HR. Muslim No: 2564 dari Abu Hurairah).

Pengarang kitab "Nuzhatul Muttaqin" berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa pahala amal tergantung pada keikhlasan hati, kelurusan niat, perhatian terhadap situasi hati pelempangan tujuan dan kebersihan hati dari segala sifat tercela yang dimurkai Allah.


2. Definisi Iman.
Iman tidak cukup hanya dalam hati. Iman dalam hati semata tidak cukup untuk menyelamatkan diri dari neraka dan mendapatkan surga.

Definisi iman menurut jumhur ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah: “Keyakinan dalam hati, pengucapan dengan lisan, dan pelaksanaan dengan anggota badan”. Definisi ini terdapat dalam setiap buku aqidah (tauhid) kecuali buku-buku yang menyimpang dan tidak berdasarkan manhaj (methode) Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

3. Kesempurnaan Iman.
Dalam Tashawwur (gambaran) kita, orang yang mengatakan iman dengan lidahnya, tetapi tidak disertai dengan keyakinan hatinya, itu adalah keadaan orang-orang munafik. Demikian pula orang yang beramal hanya sebatas aktivitas tubuh anggota badan, tetapi tidak disertai keyakinan hati, itu merupakan keadaan orang-orang munafik.

Pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka senantiasa shalat bersama beliau, berperang, mengeluarkan nafkah, pulang pergi bersama kaum muslimin, tetapi hati mereka tidak pernah beriman kepada agama Allah. Kepada mereka, Allah menghukumi sebagai orang-orang munafik, dan balasan untuk mereka adalah berada di kerak neraka (dasar neraka).

Demikian pula orang yang beriman hanya dengan hatinya tapi tidak disertai amalan anggota badan. Ini adalah keadaan Iblis. Dia percaya pada kekuasaan Allah, Dzat yang menghidupkan dan mematikan, dia juga percaya terhadap adanya hari kiamat, tetapi dia tidak beramal dengan anggota tubuhnya. Allah berfirman:

“Ia (Iblis) enggan dan takabbur dan adalah dia termasuk golongan orang-orang kafir.” (QS. Al Baqarah: 34).

Dalam AL Qur’an: setiap kali disebutkan kata iman, selalu disertai dengan amal, seperti:
“Orang-orang yang beriman dan beramal shaleh …”

Amal selalu beriringan dan merupakan konsekwensi iman, keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan.

Kepada ukhti yang belum berhijab dengan alasan: "Iman itu letaknya dalam hati” kami hendak bertanya: “Andaikata seorang kepala sekolah memintanya membuat laporan, atau mengawasi murid-murid, atau memberi pelajaran ekstra kurikuler, atau menjadi petugas piket untuk menjadi guru yang berhalangan hadir atau pekerjaan lain, logiskah jika ia menjawab: “Dalam hati, saya percaya, dan belum mantap terhadap apa yang diminta oleh direktur kepadaku, tetapi aku tidak mau melaksanakan yang dikehendakinya dariku” Apakah jawaban ini bisa diterima? Lalu apa akibat yang bakal menimpanya?

Ini sekedar contoh dalam kehidupan manusia, lalu bagaimana jika urusan itu berhubungan dengan Allah, Tuhan manusia yang memiliki sifat yang Maha Tinggi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar